|
REPUBLIKA,
25 Juli 2013
Ritual
kenaikan harga menjelang Ramadan kembali berulang. Sama seperti tahun-tahun
sebelumnya, kehadiran bulan suci bagi umat Islam itu selalu diiringi
melentiknya harga sejumlah kebutuhan pokok. Hari berganti bulan, bulan berganti
tahun, tetapi instabilitas harga tak bisa dijinakkan, bahkan kini menjadi
rutinitas tahunan. Tak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini
kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk menga- tasi hal-hal rutin saat
puasa yang mestinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas.
Penyebab
kenaikan harga pangan sebetulnya sudah diketahui dengan baik oleh pemerintah.
Penanganannya, mestinya, jauh lebih mudah. Pertanyaannya, mengapa masalah ini
selalu berulang? Ini terjadi karena pemerintah tidak pernah mau menyentuh akar
persoalan. Solusi yang dilakukan hanya menyentuh level permukaan.
Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan.
Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi, pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan serta pemburu rente yang berulah nakal.
Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi, pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan serta pemburu rente yang berulah nakal.
Penyebab
instabilitas harga pangan bersifat struktural. Tanpa menyentuh masalah struktural
itu, instabilitas selalu berulang. Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan
pangan. Banyak komoditas pangan, termasuk kedelai, daging, dan bawang,
diserahkan mekanisme pasar. Kalaupun diatur hanya waktu dan kuota impor.
Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan
pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persayaratan
itu belum terpenuhi.
Kedua,
konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku.
Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur
distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan
pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas
yang volume dan nilai impornya amat tinggi, seperti gandum, gula, kedelai,
beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan
sudah menjadi political rent-seeking.
Ketiga, instrumen
stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami `setengah privatisasi' menjadi
perum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar
menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus
enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilege kini semua itu telah
dipreteli. Kini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas
terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata
tujuh-delapan persen. Dengan kondisi seperti itu, Bulog tidak memiliki kapasitas
besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak.
Dalam
stabilisasi kebutuhan pokok, Malaysia jauh lebih baik. Malaysia memiliki The Price Control Act untuk mengontrol
harga barang-barang yang kebanyakan berupa makanan sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang berlaku
1961. Undang-undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan.
Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25 komoditas dikontrol
pada hari-hari besar. Ada pula Majelis
Harga Negara yang bertugas memonitor harga barang, menerima keluhan
masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Ditopang beleid yang komprefensif dan kelembagaan
yang kredibel, inflasi di Malaysia bisa ditekan rendah.
Keempat,
absennya kelembagaan pangan. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada
1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan,
mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Otonomi daerah membuat
produksi pangan domestik diurus daerah.
Padahal, elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Padahal, elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Hasil
akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot
diiringi melonjaknya pa ngan impor. Pada 2012, nilai impor pangan mencapai Rp
63,9 triliun, hortikultura Rp 12,9 triliun, dan peternakan Rp 15,4 triliun.
Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan. Saat krisis
pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru 3,178 miliar dolar AS,
tahun 2011 defisit meledak lebih dua kali lipat (6,439 miliar dolar AS). Nilai
impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, ja gung, gula, susu,
daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan, dan bawang putih.
Saat ini
Indonesia bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 78 persen kedelai, 72
persen susu, 54 persen gula, 18 persen daging sapi, dan 95 persen bawang putih.
Sebagian besar diimpor dari negara-negara maju. Sampai seka- rang belum ada
tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan
terus melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87 persen per tahun.
Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari
permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih dari
lima persen per tahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi pangan lebih
dari lima persen per tahun.
Untuk
mengurai berbagai problem struktural itu diperlukan sejumlah kebijakan.
Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas dan efisiensi usaha tani serta
tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya
lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada.
Kedua,
merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya
mengurus beras, tetapi beberapa komoditas penting lain disertasi instrumen yang
lengkap, seperti cadangan, harga, pengaturan impor (waktu dan kuota), dan
anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan
swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan
mengeliminasi kuasa swasta dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente
politik.
Ketiga,
segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126 UU
No 18/2012 tentang Pangan. Kelembagaan baru ini diharapkan tak hanya berkutat
pada perumusan kebijakan, dan koordi- nasi pembangunan pangan, tetapi juga
menuntaskan prahara harga pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar