|
KOMPAS,
29 Juli 2013
Benarkah perekonomian kita sudah memasuki fase lampu
kuning? Apa saja indikasinya dan bagaimana antisipasi kebijakannya? Pelemahan
nilai tukar dan inflasi sering disebut sebagai indikasi memburuknya situasi.
Namun, sebenarnya, keduanya hanyalah simtom atas persoalan yang lebih serius.
Jika kita bisa bergerak cepat mengatasi persoalan fundamentalnya, kita bisa
selamat.
Dua tantangan pokok yang harus dilihat secara lebih cermat
adalah penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan defisit neraca pembayaran.
Situasi global membuat tantangan keduanya kian sulit ke depan. Sama sekali tak
benar menganggap tekanan kali ini lebih ringan dari sebelumnya.
Dari sisi tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar, kita
pernah mengalami situasi jauh lebih sulit tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun
2005, misalnya, kenaikan rata-rata harga premium dan solar sebesar 126 persen
mengakibatkan inflasi tahunan mencapai 17 persen. Sementara tahun 2008,
kenaikan rata-rata harga energi 30 persen, inflasi mencapai 11 persen. Tahun
ini, kenaikan rata-rata harga bensin dan solar 33 persen, inflasi diperkirakan
sekitar 8,5 persen.
BI Rate tahun 2005 pernah mencapai level tertinggi 12,75
persen dan tahun 2008 mencapai 9,5 persen. Tahun ini, BI Rate diproyeksikan
paling tinggi 7 persen, tergantung dari situasi pasar. Dari sisi likuiditas,
situasi tahun 2008 juga mengalami tekanan jauh lebih buruk. Nilai tukar rupiah
terdepresiasi 16 persen, sementara pasar saham terkoreksi lebih dari 50 persen,
dihitung dari penutupan akhir tahun terhadap pembukaan awal tahun. Sementara
kali ini, nilai tukar terdepresiasi 3-4 persen dan pasar masih akan tumbuh
positif.
Jadi, apa yang lebih buruk dari situasi lalu? Meskipun
memberi pukulan berat bagi kita, setelah itu krisis tahun 2008 memberikan
banyak berkah. Pertama, harga komoditas cenderung naik sehingga perekonomian
domestik begitu bergairah ditopang dua sektor utama, pertambangan (batubara)
dan perkebunan (kelapa sawit). Kedua, memburuknya perekonomian negara maju yang
diiringi program stimulus ekonomi masif telah menimbulkan ekses likuiditas yang
mengalir ke pasar domestik.
Jujur diakui, melonjaknya harga komoditas dan derasnya
likuiditas adalah dua faktor utama penyumbang pertumbuhan ekonomi kita.
Bagaimana setelah keduanya tak lagi bergairah? Itulah masalah perekonomian kita
hari ini. Proyeksi pertumbuhan 2013 terus dikoreksi. Bank Dunia memperkirakan
tahun ini kita hanya tumbuh 5,9 persen, sementara Bank Indonesia mengoreksi
proyeksi dari sebelumnya 6,3-6,8 persen menjadi 5,8-6,2 persen.
Pemerintah masih mempertahankan proyeksi 6,3 persen, tetapi
kita tahu target itu sulit dicapai. Bahkan, beberapa lembaga investasi asing
begitu pesimistis dengan prospek perekonomian kita. Natixis Asia, Morgan
Stanley, dan BNP Paribas menaksir pertumbuhan ekonomi kita tahun ini 5,6 persen
dan 6 persen tahun depan.
Mengapa ibarat balon, perekonomian kita mengempis, setelah
tampak begitu optimistis? Perekonomian memang bergerak dari fase
optimis (boom) menuju pesimis (burst). Siklus tersebut semakin hebat
ketika dipacu faktor likuiditas. Kapital keuangan berfungsi sebagai akselerator,
baik pada fase booming maupun bursting. Ben S Bernanke, Ketua
The Fed, adalah salah satu teoretisi yang memformulasikan konsep financial
accelerator tersebut. Jadi, dia sangat paham, stimulus likuiditas yang
begitu besar justru akan menanam benih krisis lebih hebat di masa depan. Dan
karena itu, cukup jelas program stimulus akan segera memasuki fase akhir.
Upaya-upaya menenangkan pasar pasti dilakukan, tetapi aksi penghentian program
stimulus tak bisa dihindari.
Proyeksi Bank Dunia juga menunjukkan prospek aliran likuiditas
dari negara maju ke kawasan Asia Pasifik akan menurun paling drastis
dibandingkan ke kawasan lain. Selama ini, Asia Pasifik menikmati aliran modal
asing masuk paling besar dan ketika terkoreksi akan berdampak paling berat.
Persoalan mendasar ekonomi kita adalah terlalu bergantung
pada komoditas primer dan menikmati aliran modal asing masuk, tanpa diberengi
transformasi fundamental pada sisi domestik. Akibatnya, kita begitu rentan
terhadap siklus likuiditas global. Ketergantungan pada sektor komoditas tidak
saja memengaruhi ekspor, tetapi juga investasi. Ketika harga komoditas di pasar
dunia naik, penerimaan ekspor kita tinggi.
Pada sisi domestik, nilai investasi
di sektor pertambangan dan perkebunan juga naik sehingga menopang prospek
pertumbuhan tinggi. Investor global juga memburu saham-saham berbasis komoditas
primer.
Kini, ketika harga komoditas turun, kita terpukul dari
berbagai sisi sekaligus. Pertama, penerimaan ekspor dan pajak menurun,
mengingat perusahaan batubara dan kelapa sawit termasuk penyumbang pajak
terbesar. Kedua, investasi di sektor berbasis komoditas primer merosot. Impor
barang modal berupa mesin dan perlengkapan alat berat turun drastis. Penanaman
modal asing di kedua sektor juga turun. Di pasar saham, indeks pertambangan dan
perkebunan merosot lebih drastis dari indeks pasar IHSG.
Lalu apa yang bisa kita lakukan kini? Saat ekspor dan
investasi tertekan penurunan harga komoditas dan permintaan domestik dihantui
tingginya inflasi, satu-satunya sumber pertumbuhan yang masih bisa dimaksimalkan
adalah pengeluaran pemerintah. Jika kita fokus pada komponen ini sehingga
belanja pemerintah bisa lebih cepat terserap baik, akan muncul dampak lanjutan.
Pemerintah dan sektor swasta domestik perlu merapatkan
barisan untuk mengeksekusi proyek-proyek infrastruktur dan upaya perbaikan
sistem logistik guna menaikkan daya saing perekonomian. Pengeluaran pemerintah
sebagai pengungkit, sementara sektor swasta sebagai akselerator. Fokus pada
bidang itu saja, niscaya akan terjadi transformasi ekonomi berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar