|
KOMPAS,
26 Juli 2013
Sudah saatnya pembangunan dan pengembangan
bidang agama di Tanah Air mengadopsi sebuah sistem pengukuran yang dapat
dievaluasi secara mudah, jelas, dan terukur.
Pengukuran ini berisi matriks keberagamaan yang menempatkan
dua jenis kesalehan sebagai tolok ukur utama bagi keberhasilan dan atau
kegagalan pembangunan kehidupan beragama kita, yakni kesalehan
privat/individual dan kesalehan publik. Kesalehan individual ditandai tingkat
ketaatan seorang terhadap segala bentuk ibadah ritual. Dalam konteks Islam,
kesalehan individual nama lain dari kesalehan ritual dalam bentuk ketaatan
menjalankan lima rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.
Di sisi lain, kesalehan publik tak identik dengan kesalehan
sosial karena keduanya memiliki substansi berbeda. Jika kesalehan sosial
ditandai sikap hidup filantropis, kesalehan publik termanifestasikan ke dalam
norma-norma keadaban publik seperti etos kerja, disiplin waktu, tertib sosial,
toleransi beragama, ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang- undangan,
demokrasi, HAM, nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesederajatan, dan
kemanusiaan.
Empat varian kesalehan
Salah satu bentuk matriks keberagamaan yang mudah dibaca
adalah kuadran kesalehan sebagai perpaduan dua jenis kesalehan di atas. Ia
menghasilkan komposisi empat varian kesalehan berikut ini: (1) kesalehan
individual positif, tapi kesalehan publik negatif; (2) kesalehan individual
negatif, tapi kesalehan publik positif; (3) kesalehan individual dan kesalehan
publik sama-sama positif, dan (4) kesalehan individual dan kesalehan publik sama-sama
negatif.
Kuadran kesalehan tersebut harus dijadikan sebagai pijakan
evaluasi berkala untuk melihat sejauh mana arah pengembangan dan pembangunan
agama berjalan di negeri ini. Dari keempat varian kesalehan tersebut, kita bisa
melihat dan mengevaluasi di mana posisi kehidupan beragama kita. Dalam konteks
ini, arah pengembangan kehidupan beragama selayaknya bergerak menuju kuadran
ketiga, sembari sedapat mungkin menghindari tiga kuadran lainnya—lebih-lebih
kuadran keempat yang berarti ”kebobrokan”.
Untuk mengukur tingkat capaian dua jenis kesalehan tersebut,
kita bisa memanfaatkan hasil riset atau survei sejumlah lembaga periset
terkemuka. Dalam hal tingkat kesalehan individual, misalnya, kita bisa merujuk
hasil survei Riaz Hassan, guru besar emeritus dari Flinders University,
Australia. Hasil survei itu menjumpai fakta bahwa Indonesia (bersama enam
negara mayoritas Muslim lainnya: Malaysia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran, dan
Kazakhstan) masuk kategori negara paling ”agamis”. Ada dua indikator utama yang
digunakan dalam jajak pendapat tersebut: level keimanan atau akidah (seperti
rukun iman) dan ibadah (seperti shalat, puasa, zakat, dan haji).
Sebagai contoh, 90 persen dari 100 persen responden di
Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Malaysia punya keyakinan akan adanya Tuhan dan
hari akhir (akhirat), sementara Turki dan Iran hanya 70-80 persen. Dalam hal
ibadah, Indonesia di peringkat tertinggi dalam pelaksanaan shalat lima waktu
(96 persen), lebih tinggi dibandingkan Mesir dan Malaysia (90), Pakistan dan Iran
(60), serta Turki (33).
Dengan langkah yang sama, kita juga bisa memanfaatkan hasil
riset lembaga tepercaya untuk melihat di mana tingkat kesalehan publik kita,
seperti penelitian yang dilakukan Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari
The George Washington University. Melalui artikel mereka, ”How Islamic are Islamic Countries?” (Global Economy Journal, Vol 10, Issue 2/2010), kedua peneliti
tersebut mengukur tingkat ”kesalehan publik” sejumlah negara di dunia melalui
IslamicityIndex yang terdiri atas empat indikator utama: 1) Economic Islamicity
Index; 2) Legal and Governance Islamicity Index; 3) Human and Political Rights
Islamicity Index, dan 4) International Relations Islamicity Index.
Penelitian tersebut mengungkap fakta, negara-negara
berpenduduk Muslim secara umum berada di peringkat bawah. Peringkat 1-37 justru
dikuasai negara-negara sekuler seperti Selandia Baru (1), Luksemburg (2),
Irlandia (3), Islandia (4), Finlandia (5), Denmark (6), dan seterusnya. Secara
berturut-turut, peringkat negara-negara Muslim adalah sebagai berikut: Malaysia
(38), Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65), dan Indonesia (140). Di atas
Indonesia terdapat Turki (103), Qatar (112), Maroko (119), Mali (130), Arab
Saudi (131), dan lain-lain.
Di luar kedua riset di atas, terdapat sejumlah riset lain
dengan indikator yang bervariasi, seperti Barometer Korupsi Global 2013 oleh
Transparency International yang menempatkan Malaysia sebagai negara berpenduduk
Muslim dengan indeks suap terendah (≤5 persen) bersama Selandia Baru, Finlandia,
Australia, Finlandia, Denmark, dan sebagainya. Sementara itu, Indonesia berada
pada kisaran 30-39,9 persen bersama Banglades, Mesir, Kazakhstan, Pakistan,
Vietnam, dan lainnya.
Obyektivasi kesalehan publik
Apa yang bisa dibaca dari hasil-hasil penelitian di atas
adalah bahwa Indonesia masih berada di kuadran pertama; kesalehan individual
positif, tetapi kesalehan publik negatif. Berkebalikan dari kuadran tersebut,
negara-negara sekuler menempati kuadran kedua. Tentu saja jika hal ini dilihat
dari kesalehan individual.
Namun, berbagai pengukuran tingkat internasional menempatkan
kuadran kedua sebagai lebih baik ketimbang kuadran pertama. Di kuadran ketiga,
kuadran paling ideal, terdapat Malaysia dan Kuwait.
Mayoritas negara Muslim
masih berkubang dengan ”kebobrokan” di kuadran terakhir. Intinya, jika umat
Islam Indonesia ingin maju dan beradab, harus ada pergerakan positif dari
kuadran pertama ke kuadran ketiga. Implikasinya, umat Islam Indonesia harus
mengejar negara-negara Muslim di kuadran ketiga seperti Malaysia dan Kuwait.
Apa rahasia Malaysia dan Kuwait bisa berada di kuadran paling
ideal? Kuncinya cuma satu: obyektivasi kesalehan publik ke dalam praksis
kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menjadi saleh secara publik, tradisi
agama-agama sebenarnya telah memiliki nilai-nilai keadaban publik sebagaimana
dipersyaratkan peradaban modern. Islam, misalnya, mengandung ajaran antisuap
dan antikorupsi. Tetapi, mengapa realitasnya berbeda di tingkat praksis? Itu karena
absennya konsistensi antara ajaran/ujaran dan tindakan. Titik! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar