JAWA POS, 27
Juli 2013
|
KELAHIRAN bayi George Alexander
Louis bukan hanya kebahagiaan bagi pasangan Pangeran William-Kate Middleton
atau Duke dan Duchess of Cambridge. Masyarakat Inggris, sebagaimana terlihat di
media massa, juga seakan menjadikan peristiwa tersebut sebagai selebrasi
nasional.
Sungguh pemandangan yang
mengasyikkan: Masyarakat sebuah negara dengan daya saing tinggi di dunia, yang
saban waktu identik dengan kekuatan politik dan ekonomi, bersukacita dalam
sebuah momen yang pada dasarnya bersifat pribadi, yakni lahirnya seorang bayi.
Sambutan meriah warga Inggris,
tampaknya, ditunjang status putra mahkota masa depan itu. Status sebagai
anggota keluarga kerajaan merupakan impian banyak orang. Dan kelahiran bayi
George, dianugerahi titel Prince of
Cambridge, serta-merta memantik kembali fantasi di benak banyak orang
tentang keajaiban nan majestic dunia di dalam dinding istana.
Fantasi serupa pernah saya bangun
pada 1980-an silam. Sepulang dari London menjelang pernikahan Pangeran Charles
dan Lady Diana, ayah saya membawa banyak pernak-pernik bertema dua sejoli itu.
Saya kian larut dalam gelembung imajinasi kanak-kanak saya saat TVRI
menayangkan liputan panjang tentang resepsi pernikahan megah tersebut.
Saya mengkhayalkan suatu saat dapat
mengambil alih posisi Pangeran Charles, mempersunting Lady Diana, beranak pinak
di istana, jauh dari huru-hara. Warna semacam sorak sorai masyarakat Inggris
itu pernah saya saksikan langsung saat bersekolah beberapa tahun silam di
Australia.
Setiap berpapasan dengan orang bule
di jalanan, toko, bengkel, dan tempat-tempat lain, sedikitnya mereka selalu
menyunggingkan senyum kepada anak-anak saya. Bahkan, ketika saya dan anak-anak
berada di dalam lift dan kemudian orang-orang bule ikut menyusul masuk, mereka
seketika menunjukkan wajah semringah sambil memandang sejenak Menza dan Vinza
yang waktu itu baru berusia satu tahunan dan satu bulanan.
Orang-orang dewasa di Melbourne
seperti ingin mengirim pesan bahwa anak-anak telah lahir di belahan dunia yang
tepat. Semua menyambut, semua hangat, semua menenteramkan. Nuansa yang berbeda
dialami Aza dan Diza, anak ketiga dan keempat saya. Mereka lahir di Indonesia.
Tidak sekali dua kali kami berpapasan atau berada dalam satu ruangan dengan
orang-orang yang tampak kikuk saat bersua dengan anak-anak. Mereka diam,
tatapan dingin.
Ketika anak-anak berusaha
berinteraksi, orang-orang dewasa itu menoleh. Kesannya sebatas untuk mewaspadai
kalau-kalau anak-anak menampilkan tindakan tidak terduga. Orang-orang itu
seakan mengirim peringatan kepada anak-anak bahwa dunia adalah kawasan yang
tidak aman, anak-anak adalah makhluk sekasta di bawah orang dewasa, dan,
“Ngapain lihat-lihat!”
Kesal sebenarnya melihat orang yang
begitu pelitnya menghadirkan keramahan barang sedetik ke hati anak-anak. Tapi,
begitulah, kesibukan sekaligus kepengapan hidup barangkali telah membuat banyak
orang dewasa lupa akan masa kanak-kanak mereka sendiri. Amnesia itulah yang
pada gilirannya membuat mereka tidak berhasil melenturkan otot-otot wajah
mereka agar terlihat sedikit lebih ramah.
Tambah menarik jika variasi respons
terhadap bayi dikaitkan dengan riset di bidang psikologi faal. Kringelbach,
Lehtonen, Squire, Harvey, Craske, dkk (2008) menemukan, secara alamiah, manusia
–semestinya– merespons wajah bayi dengan kegembiraan. Bagian otak yang
bertanggung jawab untuk itu adalah medial orbitofrontal yang berada di belakang
bola mata.
Dalam sepertujuh detik, bagian otak
tersebut sudah langsung memunculkan reaksi aktif spesifik yang hanya
berlangsung ketika manusia menatap wajah bayi. Reaksi sedemikian rupa tidak
terjadi, atau butuh waktu lebih lama untuk terjadi, tatkala yang dilihat adalah
wajah orang dewasa.
Medial orbitofrontal bereaksi
begitu cepat, sehingga tidak mungkin dikendalikan. Karena itulah, para ilmuwan
tersebut menyimpulkan, perasaan bahagia manakala melihat paras muka bayi
merupakan respons instingtif manusia. Celakanya, reaksi aktif spesifik pada
medial orbitofrontal tidak berlangsung pada individu-individu yang mengalami
depresi!
Depresi merupakan keguncangan
psikologis karena persoalan hidup yang begitu berat. Gejalanya adalah perasaan
tidak berdaya, putus asa, bahkan berseliwerannya impulsimpuls untuk mengakhiri
hidup.
Pijar kembang api, nyaring bunyi
trompet, dan serbaneka polah orangorang yang berpesta di jalanan ketika bayi George
lahir, seandainya dilakukan dengan spontan, merupakan potret unik tentang
derajat kesehatan batin masyarakat Inggris.
Mereka, betapapun hidup sebagai
bagian dari sebuah bangsa yang sibuk, tetap mampu membangun –istilah Victor
Frankl– zona demarkasi terhadap problematika hidup seharihari. Atau, penafsiran
sebaliknya, kenduri masal pascakelahiran bayi George adalah penawar yang
sengaja dilakukan guna menyejukkan kembali hidup yang kadung sumpek. Bahkan,
dengan interpretasi seperti itu pun, tetap terlihat percikan jiwa yang sehat.
Jadi, masuk akal: predikat bayi
George sebagai calon ahli waris takhta Inggris bukan faktor paling fundamental
di balik respons warga Inggris. Fiesta warga Inggris mengelu-elukan bayi George
adalah ekspresi kebahagiaan yang datang dari diri sendiri ketimbang sekadar
penghargaan terhadap junjungan mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar