|
SUARA
KARYA, 25 Juli 2013
Undang-Undang No 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sudah jelas merumuskan HAM. Dalam undang-undang
itu ada sejumlah hak yang tidak dapat dicabut atau dihilangkan, seperti
kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan beragama dan berkeyakinan,
kebebasan berserikat dan hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan
hukum. Pengingkaran terhadap HAM berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh
karena itu, negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi HAM tanpa kecuali.
Rekognisi dan perlindungan HAM
diberikan kepada setiap individu tanpa melihat dan membedakan latar
belakangnya. Konsekuensinya, setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sama
di hadapan hukum sebagaimana diuraikan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 28 huruf D ayat (1) UUD 1945.
Narapidana adalah orang yang
secara hukum dirampas hak kemerdekaannya, namun sah karena berdasarkan hukum
dan aturan undang-undang (UU). Meski dirampas kemerdekaannya, narapidana tetap
mempunyai hak minimal yang harus tetap dipenuhi. Misalnya, hak untuk memperoleh
akses kesehatan, makanan, dan fasilitas yang memadai. Juga, hak spiritual untuk
beribadah dan berkomunikasi ke luar pada waktu tertentu. Selain itu, ada hak
lain yang merupakan wujud dari edukasi sebagai perbaikan mentalitas dari para
napi, yaitu memperoleh remisi dan bebas bersyarat.
Remisi dan pembebasan bersyarat
merupakan bagian edukasi bagi para narapidana jika mereka berkelakuan baik.
Apalagi, undang-undang juga menjamin hak untuk mendapat remisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Lahirnya UU No 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan diadopsi dari ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Antara lain, ketentuan dari PBB, yakni Standard
Minimum Rules for the Treatment for the Prisoners, 30 Agustus 1955 serta Basic Principles for the Treatment of
Prisoners, 14 Desember 1990.
Dalam Basic Principles for the Treatment of Prisoners disebutkan bahwa
semua narapidana harus diperlakukan dengan rasa penghormatan yang tinggi karena
martabat yang melekat dan nilainya sebagai manusia. Selanjutnya disebutkan
bahwa tidak akan ada diskriminasi atas dasar ras, warna, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat opini atau pendapat lainnya, asal-usul nasional atau sosial,
kekayaan atau status lainnya.
Maka, PP No 99/2012 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan suatu
bentuk diskriminasi karena narapidana tidak dapat menikmati haknya sebagaimana
dijamin oleh UU No 12/1995. Di sisi lain, banyak narapidana telah menikmati
pengurangan masa hukuman, asimilasi, dan pembebasan bersyarat sebelum
dikeluarkannya PP No 99/2012 tersebut.
Pemerintah perlu menyempurnakan PP
No 99/2012 sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 huruf
D ayat (1) dan Pasal 28 huruf I ayat (1) UUD 1945, UU No 30 Tahun 1999, Pasal
14 dan 15 KUHP, Basic Principles for the
Treatment of Prisoner dan UU No 12/1995. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar