|
DETIKNEWS,
25 Juli 2013
Pertemuan kelompok negara-negara maju
dan berkembang yang tergabung di dalam G-20 yang diselenggarakan di Moskwa
telah berakhir.
Pada akhir pertemuan negara-negara G-20 tersebut telah disepakati sebuah rancangan strategi jangka pendek untuk menghadapi krisis global yang melanda dunia baru-baru ini.
Diantara kesepakatan yang disepakati tersebut antara lain meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara.
Kesepakatan ini diharapkan mampu memulihkan kembali pertumbuhan ekonomi global pasca hantaman krisis global, terutama masalah pengangguran yang timbul akaibat bangkrutnya beberapa perusahaan khususnya di negara-negara Uni Eropa baru-baru ini.
Indonesia sebagai negara anggota G-20 tentu saja terikat kepada hasil kesepakatan pertemuan G-20 di Moskwa ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil sikap terhadap hasil kesepakatan tersebut.
Sikap yang akan diambil nantinya juga perlu kajian dan pertimbangan mendalam, sebab sikap yang akan diambil nantinya akan menyangkut kondisi masyarakat Indonesia sendiri.
Jika Indonesia gegabah dalam mengambil sikap, maka dapat dibayangkan jika masyarakat Indonesia akan seperti anak ayam yang mati di lumbung padi.
Bagaimana tidak, pandangan utama dari kesepakatan G-20 di Moskwa ini adalah menempatkan pertumbuhan ekonomi global sebagai prioritas utama ketimbang penghematan.
Dapat kita simpulkan makna dari pemikiran ini adalah meningkatkan keuntungan dari perusahaan multi nasional merupakan tujuan utama lahirnya kesepakatan ini daripada memperhatikan perekonomian nasional.
Pemaknaan ini secara tersirat terlihat dari point-point kesepakatan yang ditetapkan pada pertemuan ini, yaitu meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara.
Dapat kita lihat secara jelas ketekaitan anatara makna yang penulis ungkapkan sebelumnya dengan point-point tersebut, terutama pada point meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara.
Pasti timbul pertanyaan pada diri pembaca, bagaimana bisa penulis berpikir seperti itu. untuk itu, izinkan penulis membahas hal tersebut lebih lanjut.
Ancaman Roh Ekonomi Pasar Bebas
Ekonomi pasar bebas/ekonomi global yang telah dihembuskan sejak awal millennium ke-21 ini merupkan sebuah tatanan ekonomi dunia baru yang dirancang oleh World Bank, IMF, dan WTO bersama dengan tingkat perekonomian maju dengan berorientasi kepada meningkatkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang mereka miliki.
Salah satu target dari ekonomi pasar bebas ini adalah negara-negara berkembang yang sedang membangun perekonomian nasionalnya.
Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang merupakan lahan yang potensial sebagai penyedia faktor ekonomi utama (sumber daya alam dan tenaga kerja murah) dan juga sebagai tempat pemasaran hasil produksi perusahaan milik negara-negara maju tersebut.
Tahap awal untuk melancarkan konsep ekonomi pasar bebas ini adalah dengan menghantam ekonomi negara-negara berkembang tersebut melalui krisis moneter sebagaimana yang dialami Indonesia pada kurun waktu tahun 1997-1998.
Dengan adanya tekanan krisis ini maka mau atau tidak mau negara-negara berkembang akan melakukan pinjaman utang kepada IMF dengan tujuan sebagai suntikan dana segar dan meredam krisis yang terjadi.
Pada kesempatan ini IMF menancapkan kuku dari ekonomi global melalui persyaratan untuk mengubah hukum nasional negara debitur, khususnya yang menyangkut penanaman modal asing, tenaga kerja, perpajakan, dan aturan hukum terkait perekonomian lainnya.
Dengan kondisi terjepit tersebut maka dengan terpaksa debitur menyepakati syarat tersebut meskipun pada akhirnya hal ini akan menghancurkan tatanan ekonomi nasional mereka. Kehancuran ini dapat kita lihat di Indonesia, seperti timbulnya permasalahan buruh kontrak (out sourcing), privatisasi BUMN, dan bangkrutnya perusahaan lokal.
Hal ini tentu bertentangan dengan dasar konstitusi kita yang disusun dengan niat mulia oleh para the founding father sebagaimana tercantum pada tujuan negara Indonesia di dalam preambule UUD 1945 dan konsep ekonomi kerakyatan pada Pasal 33 UUD 1945.
Kesemua ketentuan ini mengamanatkan bahwa seluruh potensi ekonomi yang ada diamatkan kepada negara untuk mengelolanya dan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Salah satu bentuk implementasi ini adalah upaya nasionalisasi aset kolonial Belanda yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, diantara asset yang dinasionalisasi diantaranya The Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dan nasionalisasi produk tembakau yang dijual di pasar tembakau Bremen, Jerman sehingga mengakibatkan sengketa Bremen Tobbaco Case pada tahun 1959. Lalu bagaimana dengan sekarang ?
Bumerang G-20
Menjadi anggota G-20 memang sebuah kebanggan tersendiri bagi Indonesia, terlebih lagi dengan pujian yang diberikan pada tahun 2011 yang meletakkan Indonesia sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki kekuatan ekonomi dalam menghadapi krisis global pada tahun 2010-2011.
Akan tetapi perlu kita sadari apakah kita akan terbuai dengan pujian yang bersifat formil tersebut, sementara secara materil kondisi ekonomi negara ini dapat dikatakan kacau-balau.
Pengangguran masih menjadi momok besar di Indonesia, konflik antara perusahaan multi nasional dengan masyarakat daerah juga menjadi konsumsi sehari-hari kita, seperti pada konflik Privot dengan masyarakat Papua.
Bahkan korupsi yang menggurita saat ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya taraf ekonomi dan tingginya budaya konsumtif masyarakat Indonesia.
Kondisi tersebut akan diperparah jika pemerintah tidak bijak dalam mengambil langkah pasca lahirnya kesepakatan negara-negara G-20 di Moskwa Rusia baru-baru ini.
Sebagai contoh dengan kebijakan penghapusan pajak terhadap perusahaan multi nasional akan mengamputasi income negara dari sektor pajak, sementara yang merajai ekonomi Indonesia, yang mengeruk hasil bumi, yang memburuhkan rakyat Indonesia mayoritas adalah perusahaan multi nasional.
Lalu Indonesia hanya bisa gigit jari melihat kekayaannya memakmurkan bangsa asing, dan kita hanya mendapat remah-remah kemakmuran mereka.
Meskipun nantinya Indonesia akan mendapatkan uang terimakasih dari pemodal asing tersebut, besarannya tidak sebanding dengan nilai kekayaan dan keringat buruh Indonesia yang telah dihisap oleh perusahaan multi nasional tersebut.
Itupun jika memang seluruh tenaga kerja Indonesia dapat diterima sebagai buruh pada perusahaan tersebut, sementara tantangan membanjirnya buruh asing di Indonesia yang lebih menguasai teknologi dan skill akan menjadi tsunami tambahan yang menyengsarakan rakyat Indonesia nantinya.
Sementara korupsi yang menggurita dan mentradisi di Indonesia akan melenyapkan seluruh uang terimakasih yang diberikan kepada Indonesia. Seluruh kondisi tersebut angkat menjadi ancaman nyata terlebih lagi apabila pemerintah tidak bijak dalam merancang tata ekonomi nasional kedepannya.
Pada akhirnya, penulis sangat-sangat berharap kelembutan hati pemerintah untuk mampu bersikap dengan penuh belas kasih kepada ratusan juta rakyat Indonesia.
Pemerintah perlu memahami tanggung jawab utamanya untuk memakmurkan 200 juta lebih penduduk Indonesia yang memasrahkan hidupnya kepada negara Indonesia ini. Jadi pemerintah perlu memperhatikan nasib ratusan juta manusia Indonesia tersebut dan bukannya ikut memperkaya segelintir manusia yang pada dasarnya adalah pemilik modal.
Indonesia adalah garuda, kendaran agung Wisnu yang bertugas melindungi rakyat dari ashura dan nagagini, bukannya memihak ashura dan nagagini tersebut. ●
Pada akhir pertemuan negara-negara G-20 tersebut telah disepakati sebuah rancangan strategi jangka pendek untuk menghadapi krisis global yang melanda dunia baru-baru ini.
Diantara kesepakatan yang disepakati tersebut antara lain meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara.
Kesepakatan ini diharapkan mampu memulihkan kembali pertumbuhan ekonomi global pasca hantaman krisis global, terutama masalah pengangguran yang timbul akaibat bangkrutnya beberapa perusahaan khususnya di negara-negara Uni Eropa baru-baru ini.
Indonesia sebagai negara anggota G-20 tentu saja terikat kepada hasil kesepakatan pertemuan G-20 di Moskwa ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil sikap terhadap hasil kesepakatan tersebut.
Sikap yang akan diambil nantinya juga perlu kajian dan pertimbangan mendalam, sebab sikap yang akan diambil nantinya akan menyangkut kondisi masyarakat Indonesia sendiri.
Jika Indonesia gegabah dalam mengambil sikap, maka dapat dibayangkan jika masyarakat Indonesia akan seperti anak ayam yang mati di lumbung padi.
Bagaimana tidak, pandangan utama dari kesepakatan G-20 di Moskwa ini adalah menempatkan pertumbuhan ekonomi global sebagai prioritas utama ketimbang penghematan.
Dapat kita simpulkan makna dari pemikiran ini adalah meningkatkan keuntungan dari perusahaan multi nasional merupakan tujuan utama lahirnya kesepakatan ini daripada memperhatikan perekonomian nasional.
Pemaknaan ini secara tersirat terlihat dari point-point kesepakatan yang ditetapkan pada pertemuan ini, yaitu meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara.
Dapat kita lihat secara jelas ketekaitan anatara makna yang penulis ungkapkan sebelumnya dengan point-point tersebut, terutama pada point meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penghapusan pajak yang dibebankan kepada perusahaan multi nasional, dan peningkatan income perusahaan dan negara.
Pasti timbul pertanyaan pada diri pembaca, bagaimana bisa penulis berpikir seperti itu. untuk itu, izinkan penulis membahas hal tersebut lebih lanjut.
Ancaman Roh Ekonomi Pasar Bebas
Ekonomi pasar bebas/ekonomi global yang telah dihembuskan sejak awal millennium ke-21 ini merupkan sebuah tatanan ekonomi dunia baru yang dirancang oleh World Bank, IMF, dan WTO bersama dengan tingkat perekonomian maju dengan berorientasi kepada meningkatkan keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang mereka miliki.
Salah satu target dari ekonomi pasar bebas ini adalah negara-negara berkembang yang sedang membangun perekonomian nasionalnya.
Hal ini dikarenakan negara-negara berkembang merupakan lahan yang potensial sebagai penyedia faktor ekonomi utama (sumber daya alam dan tenaga kerja murah) dan juga sebagai tempat pemasaran hasil produksi perusahaan milik negara-negara maju tersebut.
Tahap awal untuk melancarkan konsep ekonomi pasar bebas ini adalah dengan menghantam ekonomi negara-negara berkembang tersebut melalui krisis moneter sebagaimana yang dialami Indonesia pada kurun waktu tahun 1997-1998.
Dengan adanya tekanan krisis ini maka mau atau tidak mau negara-negara berkembang akan melakukan pinjaman utang kepada IMF dengan tujuan sebagai suntikan dana segar dan meredam krisis yang terjadi.
Pada kesempatan ini IMF menancapkan kuku dari ekonomi global melalui persyaratan untuk mengubah hukum nasional negara debitur, khususnya yang menyangkut penanaman modal asing, tenaga kerja, perpajakan, dan aturan hukum terkait perekonomian lainnya.
Dengan kondisi terjepit tersebut maka dengan terpaksa debitur menyepakati syarat tersebut meskipun pada akhirnya hal ini akan menghancurkan tatanan ekonomi nasional mereka. Kehancuran ini dapat kita lihat di Indonesia, seperti timbulnya permasalahan buruh kontrak (out sourcing), privatisasi BUMN, dan bangkrutnya perusahaan lokal.
Hal ini tentu bertentangan dengan dasar konstitusi kita yang disusun dengan niat mulia oleh para the founding father sebagaimana tercantum pada tujuan negara Indonesia di dalam preambule UUD 1945 dan konsep ekonomi kerakyatan pada Pasal 33 UUD 1945.
Kesemua ketentuan ini mengamanatkan bahwa seluruh potensi ekonomi yang ada diamatkan kepada negara untuk mengelolanya dan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Salah satu bentuk implementasi ini adalah upaya nasionalisasi aset kolonial Belanda yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, diantara asset yang dinasionalisasi diantaranya The Javasche Bank menjadi Bank Indonesia dan nasionalisasi produk tembakau yang dijual di pasar tembakau Bremen, Jerman sehingga mengakibatkan sengketa Bremen Tobbaco Case pada tahun 1959. Lalu bagaimana dengan sekarang ?
Bumerang G-20
Menjadi anggota G-20 memang sebuah kebanggan tersendiri bagi Indonesia, terlebih lagi dengan pujian yang diberikan pada tahun 2011 yang meletakkan Indonesia sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki kekuatan ekonomi dalam menghadapi krisis global pada tahun 2010-2011.
Akan tetapi perlu kita sadari apakah kita akan terbuai dengan pujian yang bersifat formil tersebut, sementara secara materil kondisi ekonomi negara ini dapat dikatakan kacau-balau.
Pengangguran masih menjadi momok besar di Indonesia, konflik antara perusahaan multi nasional dengan masyarakat daerah juga menjadi konsumsi sehari-hari kita, seperti pada konflik Privot dengan masyarakat Papua.
Bahkan korupsi yang menggurita saat ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya taraf ekonomi dan tingginya budaya konsumtif masyarakat Indonesia.
Kondisi tersebut akan diperparah jika pemerintah tidak bijak dalam mengambil langkah pasca lahirnya kesepakatan negara-negara G-20 di Moskwa Rusia baru-baru ini.
Sebagai contoh dengan kebijakan penghapusan pajak terhadap perusahaan multi nasional akan mengamputasi income negara dari sektor pajak, sementara yang merajai ekonomi Indonesia, yang mengeruk hasil bumi, yang memburuhkan rakyat Indonesia mayoritas adalah perusahaan multi nasional.
Lalu Indonesia hanya bisa gigit jari melihat kekayaannya memakmurkan bangsa asing, dan kita hanya mendapat remah-remah kemakmuran mereka.
Meskipun nantinya Indonesia akan mendapatkan uang terimakasih dari pemodal asing tersebut, besarannya tidak sebanding dengan nilai kekayaan dan keringat buruh Indonesia yang telah dihisap oleh perusahaan multi nasional tersebut.
Itupun jika memang seluruh tenaga kerja Indonesia dapat diterima sebagai buruh pada perusahaan tersebut, sementara tantangan membanjirnya buruh asing di Indonesia yang lebih menguasai teknologi dan skill akan menjadi tsunami tambahan yang menyengsarakan rakyat Indonesia nantinya.
Sementara korupsi yang menggurita dan mentradisi di Indonesia akan melenyapkan seluruh uang terimakasih yang diberikan kepada Indonesia. Seluruh kondisi tersebut angkat menjadi ancaman nyata terlebih lagi apabila pemerintah tidak bijak dalam merancang tata ekonomi nasional kedepannya.
Pada akhirnya, penulis sangat-sangat berharap kelembutan hati pemerintah untuk mampu bersikap dengan penuh belas kasih kepada ratusan juta rakyat Indonesia.
Pemerintah perlu memahami tanggung jawab utamanya untuk memakmurkan 200 juta lebih penduduk Indonesia yang memasrahkan hidupnya kepada negara Indonesia ini. Jadi pemerintah perlu memperhatikan nasib ratusan juta manusia Indonesia tersebut dan bukannya ikut memperkaya segelintir manusia yang pada dasarnya adalah pemilik modal.
Indonesia adalah garuda, kendaran agung Wisnu yang bertugas melindungi rakyat dari ashura dan nagagini, bukannya memihak ashura dan nagagini tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar