|
KOMPAS,
25 Juli 2013
Langkah pemerintah menyempitkan hak
remisi bagi terpidana korupsi sepertinya akan mendapatkan perlawanan sengit.
Niat menentang datang dari sejumlah terpidana korupsi, yang menganggap langkah
itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan aturan hukum lembaga
pemasyarakatan (Kompas, 12 Juli 2013). Alasan tambahannya, persyaratan memohon
remisi bagi terpidana korupsi harus mau menjadi justice collaborator dinilai
mengada-ada. Alhasil, para terpidana korupsi yang merasa haknya dikebiri
bertekad menguji PP No 99/2012, aturan hukum yang menjadi baju dari kebijakan
pengetatan remisi.
Menarik mencermati rencana
perbantahan di seputar aturan remisi bagi terpidana korupsi. Apa benar
peraturan yang diundangkan tanggal 12 November 2012 melanggar hak para
koruptor? Apa benar PP No 99/2012 bertentangan dengan UU No 12/ 1995 tentang
Pemasyarakatan sebagai aturan yang lebih tinggi?
Pengaturan remisi
Dalam Pasal 14 Ayat 1 Huruf i UU No
12/1995 memang ditentukan narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana
(remisi). Kemudian, dalam ketentuan berikutnya, Pasal 14 Ayat 2, dikatakan
syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Untuk ini, telah terbit tiga peraturan: PP No 32/1999; PP
No 28/2006; dan terakhir PP No 99/2012.
Penjelasan Pasal 14 Ayat 1 Huruf i
dan j UU tentang Pemasyarakatan juga tak lupa menyebut, ”diberikan hak tersebut
(remisi dan asimiliasi) setelah narapidana bersangkutan memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan.” Kata ”peraturan
perundang-undangan” merujuk pada ketentuan sebagaimana diatur Pasal 14 Ayat 2
UU No 12/1995, yakni ”Peraturan Pemerintah”.
Norma UU Pemasyarakatan
mengamanahkan hak remisi bagi narapidana diatur sedemikian rupa dalam PP, bukan
UU. Lagi pula, sesuai Pasal 12 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, materi muatan PP adalah menjalankan UU sebagaimana
mestinya. Artinya, secara hierarki peraturan perundang-undangan, pengaturan
remisi ke dalam PP benar; tidak melanggar hukum.
Lalu, apakah materi muatan PP No
99/2012 bertentangan dengan UU No 12/1995? Mari kita baca sekali lagi PP Remisi
itu.
Ketentuan yang konon dianggap
bermasalah adalah Pasal 34A Ayat 1 Huruf a. Penggalan kalimat pada norma
tersebut berbunyi, ”Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena
melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi
manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain
harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus
memenuhi persyaratan: (a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk
membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya....”
Dari penggalan bunyi norma yang ada,
tak satu pun ada kata ”larangan” memberikan remisi kepada narapidana. Pasal 34A
Ayat 1 PP No 99/2012 tetap mengatur remisi berhak diberikan kepada narapidana.
Lalu, di mana letak pertentangan hukumya? Di mana pelanggaran hak
narapidananya? Tidak ada! Atau setidaknya susah ditemukan. Pendek kata, PP No
99/2012 tak bertentangan dengan UU No 12/1995.
Apakah syarat tambahan agar
terpidana korupsi mau bekerja sama adalah syarat yang mengada-ada dan melanggar
hak narapidana? Dahulu, seperti dimaktubkan dalam penjelasan umum UU
Pemasyarakatan, sistem pemenjaraan sangat menekankan unsur balas dendam. Oleh
karena itu, rumah penjara yang jadi tempat menjera terpidana dianggap tak
sesuai dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Demi mengganti rumah
penjara, diperkenalkanlah konsep lembaga pemasyarakatan.
Keuntungan ganda
Lebih lanjut ditekankan, narapidana
bukanlah obyek, melainkan subyek yang sama dengan manusia lain, sewaktu-waktu
salah dan khilaf. UU No 12/1995 bertekad memberantas faktor penyebab narapidana
melakukan tindak pidana. Selain itu, tujuan pemidanaan, adalah menyadarkan
narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikannya lagi ke dalam
masyarakat, sehingga tercipta kehidupan yang damai, tertib, dan aman.
Sama halnya dengan UU No 12/1995,
tujuan PP No 99/2012 juga tak jauh beda. Ia berusaha menyadarkan narapidana dan
mengembalikannya kepada masyarakat. Setiap narapidana, termasuk terpidana
korupsi, dipercepat agar diterima kembali ke masyarakat. Bagaimana bisa?
Dalam masyarakat yang sehat, label
koruptor merupakan aib yang menjijikkan dan memalukan. Harga diri seorang
koruptor jatuh di hadapan masyarakat. Untuk menaikkan kembali kehormatan dan
nama baik yang hancur lebur, dibutuhkan usaha luar biasa dari terpidana
korupsi. Pada kesempatan ini, PP No 99/ 2012 membuka jalannya dengan syarat mau
bekerja sama memberantas korupsi. Ini adalah jalur bebas hambatan yang
disediakan negara bagi koruptor yang mau bersihkan namanya.
Agus Tjondro adalah pelajaran dan
contoh hidup bagaimana nama baik dapat dikerek dari jurang olok-olok dan
makian. Caranya sederhana, ia aktif turut memberikan keterangan mengenai kasus
suap pemilihan pejabat BI tahun 2005. Bedanya, sekarang pola bekerja sama ini
dilembagakan secara hukum melalui perubahan ketiga aturan tentang remisi
sebagai satu kesatuan syarat untuk memperoleh remisi. Terpidana korupsi
semestinya bisa dengan saksama memanfaatkannya.
Akhirnya PP No 99/2012 jadi satu
kesempatan emas bagi terpidana korupsi untuk memutar jarum pandangan publik
sebab ia memberikan keuntungan ganda. Pertama, koruptor mendapat pengurangan
masa pidana. Kedua, dapat mengangkat nama baiknya yang ada di dasar cacian.
Apalagi, jangan pula dilupakan,
dengan masifnya pemberitaan media, tak susah kiranya melambungkan nama baik
para terpidana korupsi yang telah sudi menjadi pembantu penegak hukum dalam
membongkar kasus korupsi. Dengan demikian, bukankah hal bodoh jika terpidana
korupsi terus-terusan menentang PP Remisi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar