Selasa, 30 Juli 2013

Tender dan Sayembara Jabatan

Tender dan Sayembara Jabatan
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
KORAN SINDO, 29 Juli 2013

  
Logika paling mutakhir, hasil sebuah ijtihad orang-orang terkemuka di dalam birokrasi menelurkan hasil gilang-gemilang. 

Seluruh proses pengembangan karier, “pembinaan” staf, dan tradisi antre berdasarkan senioritas yang sudah baku selama puluhan tahun dianggap “nonsense”. Itu semua tak ada gunanya. Usaha mencari orang terbaik di dalam birokrasi tak bisa ditempuh melalui apa yang sudah lama melembaga di dalam birokrasi. Orang terbaik harus diperoleh dengan cara baru: tender jabatan. 

Kita tahu, tender itu bukan ungkapan, bukan kosakata, bukan simbol yang dikenal di dalam birokrasi. Tender itu bahasa dunia dagang. Tender jabatan apa berarti memperdagangkan jabatan? Kita tidak tahu. Tapi, kita menjadi cemas kalau hal itu kelak terjadi. Maka itu, bila jabatan diperdagangkan secara lebih terang-terangan, dunia akan sangat kacau, lebih kacau dibanding apa yang sekarang terjadi. Urusan-urusan di dalam birokrasi itu sebenarnya—menurut penyair Rendra—tergolong ke dalam apa yang disebutnya “ilmu surat”. 

Semua hal yang menyangkut ilmu kehidupan, disebut “ilmu surat tadi”. Dengan kata lain, sekarang “ilmu surat” itu dijualbelikan. Tanpa disebut, sekarang ini sebenarnya sudah terjadi proses memperjualbelikan jabatan itu. Pilkada dan semua jenis pemilihan pemimpin secara langsung yang membutuhkan modal besar, apa namanya bila bukan memperdagangkan jabatan? Proses “dagang” sudah terjadi secara diam-diam dan akibatnya sangat berbahaya. Korupsi meningkat hampir tanpa bisa dikendalikan. 

Tata kehidupan masyarakat ikut kocar-kacir seolah kita sudah mutlak kehilangan kiblat hidup. Bagaimana jadinya kalau hasil ijtihad gilang-gemilang yang secara lebih blak-blakan berarti bahwa jabatan boleh diperdagangkan secara legal? Apa kehidupan tidak makin bertambah kacau? Sekarang pun orang merasa, korupsi sudah dianggap kewajaran. Lagi pula, kata Rendra, bagaimana menentukan juara satu, atau orang terbaik, di dalam “ilmu surat” tadi? Rendra membahas perkara ini ketika Akademi Jakarta memberinya hadiah seni pada awal 1980-an. 

Dalam pidato penerimaan itu dia bertanya, bagaimana mungkin saya bisa menganggap diri saya lebih baik dari seniman-seniman lain? Apa ukuran-ukurannya? Pada zaman dahulu, jabatan penting bukan ditender karena kata “tender” belum ada dan dengan sendirinya belum menjadi praktik kehidupan dunia dagang. Raja sering menawarkan sayembara untuk jabatanjabatan penting. Sayembara itu tidak mengandalkan keterampilan berpikir, menggunakan kecerdasan dan akalsehat, melainkanadu“tosing balung, wuleting kulit” (kerasnya tulang, litanya kulit). 

Ini bukan lagi jenis “ilmu surat”, melainkan “ilmu silat”. Para peserta masuk ke gelanggang dan bertempur satu lawan satu. Sang pemenang menghadapi tantangan baru dan para penantang berderet menanti giliran. Kelak, ketika semua lawan tewas, dan penantang baru tak ada yang berani naik gelanggang, pemenang diumumkan. Dialah yang diakui paling jagoan, paling sakti. Pendeknya, di dalam “ilmu silat” juara satu selalu jelas kriteria dan ukuranukurannya. 

Di sana hanya ada dua hal: jaya atau binasa. Tender jabatan “ilmu surat” bukan hanya sulit menentukan secara objektif kriteria dan ukuran-ukuran untuk memilih pemenang. Kesulitan ini akan menjadi lebih parah kalau— seperti biasa—pekerjaan ruwet itu diserahkan ke DPR yang memiliki sendiri kepentingan politiknya, tanpa peduli apa harapan rakyat, apa corak aspirasi kultural yang berkembang di dalam masyarakat. Kalau kita hendak bersikap jujur di dalam proses ini, tender jabatan itu pada hakikatnya bukan hanya ruwet, melainkan juga bisa parah karena seperti persoalan lain, di sini pun bisa terjadi penyimpangan dan manipulasi. 

Akibatnya, birokrasi hanya sibuk dengan urusan mencoba-coba, terusmenerus. Apa yang mapan dibuang, yang baru dicari, dan sering “dicari-cari”. Ini tampak pada tiap kali ganti menteri selalu ganti jabatan. Kata “departemen” diganti “kementerian”, yang ongkosnya mahal, bisa disebut contoh kesibukan mencoba-coba itu. Di sini ada baiknya juga dibikin lebih jelas bahwa sayembara jabatan seperti zaman dulu pun berbahaya. Ada efek kekerasan, yang dianggap bagian tak terpisahkan dari sayembara itu sendiri. 

Lebih mengerikan lagi, dalam sayembara itu ada bunuh-bunuhan yang dilegalkan. Jadi, janganlah timbul ide membuat sayembara jabatan sebagai—siapa tahu—alternatif dari tender jabatan yang sedang menjadi isu menarik sekarang. Tender jabatan buruk. Sayembara jabatan, yang penuh kekerasan dan kekejaman, berbahaya. Birokrasi miliknya orang di dalam birokrasi itu sendiri. Birokrasi sudah punya mekanisme menyaring pejabatnya.

 Baik atau buruk birokrasi sudah punya mekanisme khas, yang dibangun sejak lama, dan sejak lama dipercayai sebagai mekanisme andal, tepercaya, dan mencukupi kebutuhan internalnya. K alau ada yang kurang— dan tak pernah ada yang tak kurang—kita perbaiki. Mencoba itu baik dan mencoba barang baik lebih baik. Tapi, apakah yang baik itu pasti mencukupi? Mencoba yang baik hanya karena latah—dan pejabat selalu punya watak latah itu— belum tentu baik, belum tentu ada manfaatnya. Kreativitas memang diperlukan di sana. Tiap pihak harus kreatif. Birokrasi harus berkembang. 

Tapi, apa jaminan bahwa kreativitas itu baik, bermanfaat, dan tak menggores perasaan para pejabat di dalam birokrasi itu sendiri? Mereka di dalamnya selama bertahun-tahun. Niat hati mereka membina karier. Ada yang mulai dari nol dan bisa mencapai tahap tertinggi. Lalu tiba-tiba kesempatan itu sekarang tak ada lagi. Lantas apa gunanya orang berpikir mengenai pengembangan karier? Apa lagi relevansinya birokrasi sebagai tempat “membina” staf? Ke mana hak mereka itu pergi? 

Mengapa rasionalitas bisnis, yang hanya baik di dunia bisnis, dijejalkan ke dalam birokrasi dan merusak makna birokrasi itu sendiri? Saya menyukai kreativitas. Tapi, saya lebih suka membela birokrasi yang berhak menjadi dirinya sendiri sebagai tempat orang berkarier. Tender jabatan itu buruk. Sayembara jabatan berbahaya. Lebih baik birokrasi diperbaiki.. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar