|
SUARA
MERDEKA, 26 Juli 2013
RILIS Lembaga Survei Indonesia mengenai rendahnya
kepercayaan publik terhadap politikus (SM, 8/7/13) seperti ’’melengkapi’’
publikasi KPU yang meminta publik mencermati daftar calon sementara (DCS)
Pemilu 2014, yang realitasnya sepi respons dan masukan.
Fakta itu membuktikan keminiman kepedulian masyarakat
terhadap politikus yang akan berlaga pada 9 April 2014. Padahal praktik
demokrasi elektoral yang makin modern seharusnya ditandai tingginya respons dan
partisipasi publik, sejak publikasi DCS sampai pemungutan suara. Dalam konteks
komunikasi politik, realitas itu menggambarkan terjadinya disonansi kognitif
terhadap politikus.
Menurut Leon Festinger (dalam Venus; 2004), disonansi
kognitif berarti berubahnya keyakinan seseorang pada saat mereka berada dalam
situasi konflik. Dalam kondisi psikis tidak nyaman, seseorang bisa saja menolak
pihak lain. Hal ini karena manusia didorong oleh keinginan untuk selalu berada
dalam kondisi psikologis seimbang dan nyaman, atau dikenal dengan istilah
konsonan.
Adapun dimensi framing media selama ini sering menempatkan
fungsi kritik ketika meliput isu politik yang saat ini sarat penyalahgunaan
kekuasaan, dan ACAPberujung pada korupsi oleh politikus produk demokrasi
elektoral. Realitas media yang sering diterima mentah oleh khalayak, sejak
penayangan iklan tokoh partai yang agitatif tentang penolakan korupsi sampai
keberhasilan tagline partai bersih,
peduli, dan profesional tapi tiba-tiba elitenya terjerumus korupsi justru makin
memperkuat disonansi itu.
Apalagi mengguritanya korupsi dari pusat hingga kabupaten/
kota telah menjadi opini publik, yang makin memperlebar jarak antara harapan
rakyat dan akrobat faktual politikus korup, serta hipokritas antara ucapan dan
tindakan. Sejatinya dalam disonansi kognitif pemilih terhadap politikus ada
tiga faktor determinan (Venus:2004;36). Pertama; derajat kepentingan tertentu
dari seseorang terhadap kehadiran politikus, termasuk caleg.
Situasi ini mengindikasikan seberapa jauh kepentingan
individu yang bisa dirasakan langsung atas kerja dan kehadiran politikus itu
yang akan dipercaya mengelola negara. Makin rendah sentuhan kepentingan
langsung yang dapat dirasakan, apalagi disuguhi perilaku korup dan amoral maka
makin rendah pula kepedulian masyarakat selaku pemilih. Kedua; besarnya perbandingan
disonansi seseorang yang memiliki relasi dengan jumlah konsonan yang dimiliki.
Disonansi sesungguhnya merupakan ekspresi kekecewaan disertai sikap tak peduli
kepada politikus.
Hal itu akibat praktik politik tanpa etika, yang
dikomparasikan dengan harapan akan kejujuran politikus dalam mengelola negara
demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Saat ini terjadi titik nadir komparasi
antara disonansi kognisi publik dan konsonansi pada politikus berikut
parpolnya. Ketiga; dasar argumentasi yang tak pernah menemukan rasionalitasnya
pada saat menjelaskan mengapa inkonsistensi terjadi.
Parpol yang sejak awal kampanye berjanji jadi pelopor
pemberantasan korupsi serta penegakan hukum demi kesejahteraan rakyat, dalam
praktiknya terjerembab korupsi dan ketidakpedulian pada nasib rakyat. Manuver
apa pun yang dilakukan politikus saat ini amat berat untuk mengembalikan
tingkat konsonansi publik yang telah dipandu oleh media, lengkap dengan efek
penguatan opini publik. Kepala Batu Menghadapi Pemilu 2014, parpol makin berat
mempersuasikan konstituen guna dimobilisasi menuju TPS. Hal itu disebabkan
makin kuat terbangun khalayak berkepala batu.
Pada konteks komunikasi politik maka khalayak tersebut,
menurut Raymond Baeur (dalam Arifin:2003) adalah tipe yang sangat berdaya dan
tidak lagi pasif dalam komunikasi politik. Secara demografis pemilih yang
sebagian besar berpendidikan SD-SLTA makin pintar mengakses media, khususnya
televisi. Adapun pemilih kelas menengah ke atas yang well informed juga
penggila dunia maya yang amat intensif menguliti perilaku politikus dan parpol.
Pemilih tak lagi menyukai model komunikasi linier yang monoton tapi menuntut
transaksional sehingga mereka dapat mengetahui kapasitas dan kualitas SDM
politikus.
Pemilih hanya akan mengikuti pesan politik bila memberi
manfaat atau kepuasan pribadi. Khalayak kepala batu memiliki karakteristik amat
rasional, aktif, dinamis, dan selektif terhadap terpaan informasi media ataupun
pengaruh dari luar. Karena itu, meski parpol rajin memasang iklan di televisi ataupun
outdoor media, pada H-8 bulan pemilu, popularitas parpol tetap masih rendah.
Termasuk elektabilitas para kandidat capres yang belum meyakinkan. Menjadi
wajar pula bila ada kekhawatiran angka golput makin tinggi pada Pemilu 2014.
Membesarnya jumlah pemilih berkepala batu, menurut Kenneth
Anderson (1972) pada saat menerima masukan dari iklan dan kampanye maka
komunikasi yang berlangsung pada diri pribadi akan melahirkan sikap penolakan.
Publik akan mengomparasikan ucapan politikus dengan tindakan sebagai referensi
sebelum menentukan pilihan, dengan melihat moralitas dan etika politikus
bersangkutan. Semoga masyarakat makin cermat dan tidak mudah salah pilih lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar