|
KORAN
TEMPO, 30 Juli 2013
Remisi untuk koruptor kembali diperdebatkan.
Pasca-kerusuhan di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta, Sumatera Utara, wacana
pemberian remisi bagi koruptor kembali mencuat. Perdebatan mengarah pada
dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan pemerintah inilah
yang dituding sebagai pemicu protes. Sebab, PP ini memperketat pemberian remisi
bagi koruptor dan narapidana kejahatan khusus lainnya.
Penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang memperketat
pemberian remisi bagi koruptor bukan kali ini saja terjadi. Tercatat, berbagai
upaya telah dilakukan untuk menolak kebijakan ini. Hampir setiap tahun usaha
untuk mendongkel kebijakan ini dilakukan. Pada 2011, serangan terhadap
kebijakan ini datang dari politikus DPR. Beberapa anggota Komisi III DPR
menggalang interpelasi untuk membatalkan kebijakan pengetatan remisi. Namun
usaha mereka kandas. Pada 2012, jalur pengadilan digunakan. Melalui gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), keputusan menteri yang berkaitan dengan
pembatalan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor digugat. Kali ini
penggugat dimenangkan dan pengadilan menuai kecaman.
Pada tahun ini, tampaknya jalur politik dan pengadilan
digunakan secara bersamaan. Hal ini terlihat dari upaya salah satu Wakil Ketua
DPR, Priyo Budi Santoso, yang dengan cekatan memfasilitasi aspirasi koruptor
agar PP pengetatan remisi dicabut. Sedangkan upaya hukum ditempuh melalui
judicial review PP 99 Tahun 2012 ke Mahkamah Agung. Berbagai upaya tersebut menggambarkan
bahwa kekuatan pro-aspirasi koruptor berusaha keras menggunakan berbagai cara
untuk menganulir kebijakan pengetatan remisi.
Landasan yuridis
Secara hukum, pemberian remisi bagi narapidana memang
dibenarkan. Remisi merupakan hak narapidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) UU ini
menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi). Namun, menurut pasal 14 ayat (2), hak tersebut tidak serta-merta
dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tata cara yang wajib
dipenuhi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hak memperoleh remisi adalah hak
yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu. Hak remisi
bisa diperoleh jika syarat dan tata cara dipenuhi oleh narapidana. Jika tidak,
narapidana tidak akan pernah memperoleh hak tersebut.
UU kemudian memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
mengatur syarat dan tata cara pelaksanaannya. Dari sini lah pemerintah
memperoleh kewenangan atribusi untuk mengatur perihal tersebut. Sehingga
pemerintah mengeluarkan PP yang secara teknis memberikan panduan berkaitan
dengan syarat dan tata cara pemberian remisi. Karena pemerintah diberi landasan
yuridis oleh UU, pemerintah berwenang menentukan syarat dan tata cara pemberian
remisi. Di sini lah pemerintah membuat kebijakan hukum. Pilihan kebijakan
pemerintah boleh jadi mempermudah atau mempersulit pelaksanaan remisi.
Secara umum, remisi diberikan berdasarkan dua syarat, yakni
berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam
bulan. Namun, bagi terpidana korupsi, pemerintah memberlakukan ketentuan
khusus. Pasal 34A PP 99/2012 mengatur bahwa remisi dapat diberikan jika
terpidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar
perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda serta
uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi narapidana korupsi.
Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana kasus terorisme, narkotik, kejahatan
terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya.
Jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, PP 99/2012
memberikan syarat baru yang harus dipenuhi narapidana korupsi untuk mendapatkan
remisi. Penambahan syarat baru tersebut tidaklah bertentangan dengan UU. Sebab,
PP ini tidaklah meniadakan hak remisi. Lagi pula, perubahan hukum merupakan hal
yang lumrah. Sebuah peraturan harus mengakomodasi nilai keadilan masyarakat
selama tidak bertentangan dengan UU di atasnya. Peraturan remisi telah
mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Sebelumnya, diatur dengan PP 32/1999
dan PP 28/2006. Setiap perubahan berimplikasi pada berubahnya syarat dan tata
cara pelaksanaan hak narapidana.
Tolak remisi
Pada masa mendatang, koruptor tidak perlu diberikan remisi.
Revisi UU Pemasyarakatan perlu dilakukan untuk meninjau kembali hak remisi bagi
koruptor. Sebab, koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan
kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary
crime). Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights
crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Korupsi menimbulkan kerusakan
dalam skala yang sangat luas. Karenanya, upaya yang luar biasa patut diterapkan
kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.
Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun
penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan,
termasuk mendapatkan remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan
hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, tapi juga terutama bagi jutaan
orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.
Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek
jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi selama ini Pengadilan
Tipikor rata-rata hanya memberi hukuman 3 atau 4 tahun kepada koruptor. Hukuman
yang ringan tersebut masih bisa dipotong dengan remisi dan pembebasan
bersyarat. Sejak 2007 hingga awal Desember 2011, terdapat 1.767 koruptor yang
mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Hukuman yang ringan ditambah dengan fasilitas remisi dan
pembebasan bersyarat telah memanjakan koruptor di negeri ini. Mereka tak pernah
benar-benar merasa jera. Karenanya, hak remisi patut ditinjau kembali. Minimal
saat ini, pengetatan pemberian remisi harus tetap dilakukan pemerintah dan kita
berharap MA menolak permohonan judicial review untuk membatalkan PP 99/2012.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar