|
REPUBLIKA,
30 Juli 2013
Zaman boleh
berubah.Teknologi juga terus berkembang.Tetapi, tradisi mudik tak bisa digantikan
oleh kecanggihan teknologi apa pun. Bagi sebagian masyarakat, rasanya kurang
lengkap jika Lebaran tidak melakukan mudik ke kampung halaman. Bahkan,tidak
sedikit warga yang menganggap mudik sudah menjadi kewajiban yang tidak bisa
digantikan dengan nilai materi apa pun.
Semua
lapisan masyarakat dari masyarakat kelas atas hingga masyarakat akar rumput
secara bersamaan melakukan mudik. Menariknya, fenomena ini melewati batas-batas
teologis dan etnis. Bukan hanya monopoli umat Islam karena bertepatan dengan
momen Lebaran. Durasi liburan yang cukup panjang menjadi keuntungan bagi
seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan mudik.
Sulit
untuk tidak mengatakan mudik melanda seluruh rakyat Indonesia. Gejala ini
menunjukkan mudik sudah tertanam kuat dalam realitas sosial kultural masyarakat
Indonesia. Mudik merepresentasikan proses sosial yang berlangsung lintas
generasi dan diwariskan secara turun-temurun. Semakin lama, mudik menjadi
kebiasaan karena menjadi sesuatu yang rutin dilakukan, diharapkan, dan
disetujui bersama.
Inilah
yang disebut dengan proses pelembagaan (institusionalisasi) mudik dalam
masyarakat. Kita melihat di masyarakat, mudik sudah menjadi tradisi yang kuat
tertanam di masyarakat kita. Adanya kolektivitas nilai sosial yang melekat dan
diperjuangkan dalam tradisi mudik tersebut. Nilai sosial ini yang terus
mengalami pelembagaan secara kuat di masyarakat.
Berjumpa
dengan orang tua, keluarga, tetangga menjadi pendasaran sosial yang mengikat
tradisi tersebut. Momen paling dinanti-nanti adalah dengan orang tua.
Di masyarakat, kita menjumpai berbagai varian istilah seperti sungkem, sowan, maupun silaturahim.
Di masyarakat, kita menjumpai berbagai varian istilah seperti sungkem, sowan, maupun silaturahim.
Rasa kebersamaan
Kata
`mudik' itu berakar dari kata `udik'. Secara harfiah, udik itu berarti kampung
atau desa yang lawan katanya adalah kota. Ini seperti istilah Arab `badui' sebagai
lawan dari kata `hadhory'. Dengan sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa
mudik adalah kembali ke kampung halaman.
Makna
kembali ke kampung halaman tidak hanya didefinisikan secara fisik, tetapi lebih
menunjukkan kembali ke kampung halaman sebagai bagian kecintaan sosial kultural
terhadap kampung halamannya. Faktor kedekatan emosi dengan kampung halaman mendeterminasi
panggilan pulang kampung tersebut.
Relasi
sosial, kultural, dan emosilah yang mengikat jutaan warga Indonesia untuk
melakukan mudik. Kampung halaman menjadi ruang otentik seseorang berasal.
Sementara kota menjadi ruang abstrak bagi individu. Seseorang boleh bekerja
keras dan banting tulang di kota untuk mencari nafkah, tapi kecintaan terhadap
kampung halaman menunjukkan keterikatan kultural yang menjadi harga mati.
Fenomena
mudik menemukan ruang otentisitasnya bagi rakyat Indonesia. Meminjam Max Weber, mudik maupun kampung halaman menjadi `panggilan' (calling) bagi jutaan rakyat
Indonesia untuk menengok kampung halamannya. Menguatnya tradisi mudik di masyarakat Indonesia dikonstruksikan karena menguatnya
kebersamaan dan keterikatan di masyarakat kita. Keterikatan horizontal
masyarakat maupun keterikatan antara individu dan kampung halamannya.
Keterikatan
ini dalam perspektif sosiologi disebut dengan attachment total yang merujuk
suatu keadaan di mana seorang individu melepas ego yang terdapat dalam dirinya
diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong
seseorang untuk selalu menaati nilai dan norma yang berkembang di
masyarakat.
Mudik
melepaskan ego pribadi, ego primordial, maupun ego ekonomi sosial. Warga berlomba-lomba dan berjuang untuk melaksanakan mudik. Keluarga, tetangga,
maupun kerabat di kampung halaman menjelang Lebaran sudah menanti kehadiran
para pemudik. Keluarga dan kerabat di kampung jauh hari sebelum Lebaran
tiba sudah bertanya, "kapan mudik?" Ini bukan sekadar pertanyaan
biasa.Tapi, menunjukkan sebuah ekspektasi sosial bagi perantau untuk merekatkan
dirinya dengan kampung halaman. Pertanyaan itu sekaligus menjadi calling bagi
jutaan warga Indonesia untuk mudik.
Kehadiran
warga perantau di kampung halamannya yang sudah ditunggu-tunggu keluarga dan
kerabatnya memiliki makna yang sangat mendalam. Ini adalah kesempatan yang
ditunggu-tunggu oleh pemudik. Selama 11 bulan para perantau bekerja keras di
kota, saatnya mereka mudik untuk menyucikan diri. Keluarga adalah prioritas
proses penyucian diri tersebut.
Kehangatan
bersama keluarga menjadi momen yang sangat istimewa. Seolah tak bisa diwakili
oleh kecanggihan teknologi apa pun. Tetangga, kerabat, teman kecil maupun teman
sekolah juga memperkuat proses penyucian diri tersebut. Rasa kangen selama satu
tahun terakhir dibalas dengan kedatangan para pemudik.
Momen
Lebaran ini sering dijadikan ajang pertemuan berbagai kalangan dalam bingkai
silaturahim, reuni, maupun temu kangen. Misalnya, reuni/pertemuan almamater
sekolah, kampus, keluarga besar, hingga etnis primordial. Kolektivitas masyarakat
tumpah ruah dalam upaya menyucikan diri tersebut.
Proses
penyucian diri juga dilakukan dengan pembagian zakat, infak, maupun sedekah
pemudik untuk warga kurang mampu di kampung halamannya. Para pemudik
memanfaatkan Lebaran sebagai penyucian harta mereka yang dihasilkan dari keringat
mereka di kota. Bagi warga yang mampu secara ekonomi, mereka sering berbagi
dengan sesama warga. Istilahnya adalah berbagi THR.
Di
kalangan keluarga, THR sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam fenomena
mudik. Anggota keluarga dari mulai anak-anak hingga dewasa berharap anggota
keluarganya yang mudik dapat berbagi THR. THR adalah simbol berbagi
kebahagiaan.
Menjelang
mudik, berbagai bank menyediakan jasa penukaran uang yang memudahkan para
pemudik untuk digunakan selama mudik. Penukaran uang tersebut salah satunya
digunakan untuk berbagi THR di kampung halamannya.
Para pemudik juga membawa berbagai oleh-oleh lainnya untuk keluarga dan
kerabat. Mulai dari pakaian, sepatu, perhiasan, makanan, hingga alat teknologi.
Semua melengkapi proses penyucian diri para pemudik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar