|
KORAN
TEMPO, 25 Juli 2013
Kasus daging sapi PKS adalah contoh paling mudah dan tampak
untuk mengkonfirmasi model pembiayaan seperti ini, karena adanya pengusaha yang
akhirnya menjadi pemasok dana partai (Tempo edisi 20-26 Mei) akibat
kepentingannya terhadap kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang
"dipegang" PKS.
"Money is the mother's milk of politics",
begitulah kata Jesse Unruh, politikus California, pada 1960-an. Analogi Unruh
ingin menunjukkan bahwa, dalam tatanan demokrasi kepartaian, uang adalah
keniscayaan dalam politik. Barangkali analogi ini pula yang menjelaskan korupsi
politik tersimpul "berpangkal dan bermuara" pada lembaga kepartaian
kita. Kasus yang menjerat petinggi teras partai, seperti kasus Hambalang di
Partai Demokrat, atau kasus impor daging sapi di PKS, mungkin bukan sekadar
individual greedy atau soal keserakahan politikus, melainkan lebih sebagai
bentuk fund-raising yang menjadi "agenda" partai, atau faksi dalam
partai.
Padahal uang hanyalah satu dari empat sumber daya
organisasi kepartaian, sekalipun uang juga telah lama menjadi tracer element
(elemen penjejak)-Herbert Alexander, 1980-tentang bagaimana kekuasaan dikelola.
Uang adalah sumber daya yang hanya bekerja di ranah operasional, sementara tiga
sumber daya partai lainnya justru bekerja di ranah survival partai (ideologi),
ranah pengelolaan faksional (pemimpin karismatik), dan ranah elektoral (anggota
atau kader partai).
Khalayak publik, apalagi para kader dan simpatisan partai,
mungkin tak akan membayangkan bahwa PKS, dengan institutional branding sebagai partai dakwah dan partai bersih,
akhirnya masuk ke jebakan pembiayaan partai. Memang ada dua pola strategi fund-raising yang jamak terjadi pada
partai-partai baik di negara demokratis maupun negara demokrasi-baru seperti
Indonesia. Pertama adalah plutocratic
income meminjam istilah Gidlund (1983) yang akhirnya menjebak PKS untuk
harus berhadap-hadapan dengan KPK terkait dengan kasus impor daging sapi.
Sederhananya, pemasukan plutokratik melibatkan "donor" kaya seperti
perusahaan yang berkepentingan terhadap proyek negara yang berada di bawah
kendali "kader" partai dalam pembiayaan partai.
Pembiayaan partai bisa meliputi baik agenda elektoral,
seperti kandidasi eksekutif dan legislatif, kampanye, atau pemungutan suara,
maupun agenda organisasional (kongres, musyawarah, pemilihan ketua partai, dan
lain-lain). Plutocratic income
seperti ini telah jamak menjadi mekanisme keuangan partai di Indonesia. Kasus
daging sapi PKS adalah contoh paling mudah dan tampak untuk mengkonfirmasi
model pembiayaan seperti ini, karena adanya pengusaha yang akhirnya menjadi
pemasok dana partai (Tempo, edisi 20-26 Mei) akibat kepentingannya terhadap
kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang "dipegang" PKS.
Kedua adalah bentuk pembiayaan income of office spoils (pemasukan hasil "rampasan
jabatan"). Kasus Hambalang yang juga menjerat orang-orang teras di PD
adalah contoh nyata bagaimana penguasaan kursi eksekutif di kementerian dan
perolehan suara terbanyak di parlemen digunakan untuk menggerakkan mekanisme
pembiayaan seperti ini. Walaupun uang mengalir melalui kanal faksi dan personal
untuk kebutuhan Kongres Partai pada 2010, dana "rampasan" tersebut
jelas berkontribusi pada pembiayaan partai secara tak langsung. Kedua model
pembiayaan partai ini terjadi karena tiga pemasukan regular partai tidak cukup
untuk memutar roda organisasi partai, apalagi memompa elektabilitas menjelang
pemilu.
Pola umumnya, pembiayaan partai dengan arus masuk dana yang
besar terletak pada pemimpin teras partai. Sebagai misal, dalam korupsi di tiga
partai beberapa bulan terakhir "Demokrat, Golkar, dan PKS" semua
kasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai:
Nazaruddin (Bendahara Umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto
(Bendahara Umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaaq
(Presiden dan mantan Bendahara Umum PKS).
Memang, kini terjadi pencairan representasi sosial oleh
parpol, terutama 12 partai politik peserta pemilu. Semua partai mengklaim
sebagai partai rakyat. Akibatnya, hampir semua partai menjadi semacam catch-all partai sejak runtuhnya
Soeharto (Riswanda Imawan, 2004). Namun Indonesia sebenarnya masih percaya pada
teori klasik demokrasi konsosiasional Arend Lijphart (1969) bahwa sistem
kepartaian sebuah negara adalah refleksi pembilahan sosial yang ada dalam
masyarakat. Partai di Indonesia tetap merefleksikan eksistensi kelompok sosial
masjid dan gereja, nasionalis dan "abangan" (Geertz, 1983), santri
perkotaan dan santri pedesaan (Yon Machmudi, 2008), petani dan buruh, atau para
pengusaha plus borjuasi kantoran.
Artinya, ada dua diskursus yang muncul dalam pembiayaan
partai. Pertama, pembiayaan total partai oleh negara. Sebagai misal, dari 111
negara (Afrika, Asia, Eropa, Amerika) dengan partai jamak atau non-single party country, tidak termasuk
Indonesia, paling tidak ada 65 negara (59 persen) yang sudah mempunyai regulasi
pembiayaan partai oleh negara (Austin dan Tjerstrøm (ed.), 2003). Bahkan
kampanye kandidat di Prancis pun dibiayai negara (Karl-Heinz Nassmacher, 2003).
Namun kita juga harus jujur bahwa pembiayaan partai oleh negara berpotensi
dapat mengaburkan fungsi linkage partai
politik, karena partai akhirnya bertanggung jawab kepada negara.
Publik-pemilih hanya dihitung sebagai suara, karena tuntutan dan dukungan tidak
terartikulasikan dalam program partai akibat partai hidup dari negara, bukan
dari publik (baca: kader dan konstituen). Partai akan kabur apakah sebagai
lembaga intermediary atau selayak auxiliary state institution seperti
komisi negara dan lembaga-berbiaya-negara lain yang bersifat ad hoc. Atau partai politik bagian dari
negara karena ada pemerintahan yang mengatur pemasukan partai secara total?
Kedua, jika partai politik dibiayai publik baik secara
kolektif maupun individual, atau secara institusional ataupun kultural, partai
akan mempertanggungjawabkan diri pada konstituen, anggota, dan kadernya.
Penguatan pembiayaan partai secara mandiri ini akan memperkuat fungsi linkage bagi partai politik. Bentuk
konkret dari pembiayaan mandiri ini adalah party
enterprise atau badan usaha milik partai yang dikelola sebagai bagian sayap
organisasi bisnis partai. Pembiayaan seperti ini pun rawan dengan malpraktek
pengorganisasian partai. Akhirnya, orang masuk partai atau menjadi bagian dari
partai (anggota/kader) adalah lebih pada soal lapangan kerja, gaji, dan
untung-rugi.
Lepas dari dilema pilihan-pilihan pembiayaan partai,
pelembagaan biaya politik paling tidak mendarat pada dua hal: larangan (bans) dan batasan (limits), terhadap item-item pembiayaan politik. Dengan demikian,
hal yang perlu dilakukan adalah pengetatan regulasi soal pembiayaan partai,
seperti kampanye, penerimaan, pengelolaan, pembelanjaan, dan public disclosure lainnya. Atau, seperti
di Amerika soal hard money dan soft money dalam pembiayaan kampanye.
Akhirnya, undang-undang paket politik "regulasi soal parpol, KPU, pemilu
legislatif, dan pemilu presiden" di Indonesia, yang hanya mengatur suara
dan kursi, juga perlu mengatur uang dan utang secara lebih spesifik dan
holistik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar