Selasa, 30 Juli 2013

Bila Editor Buku Sekolah Tak Paham Dunia Pendidikan

Bila Editor Buku Sekolah Tak Paham Dunia Pendidikan
Ardi Winangun ;  Pengamat Sosial-Politik
OKEZONENEWS, 26 Juli 2013

  
Untuk kesekian kalinya lembaga pendidikan kita kebobolan bahasan pornografi yang menumpang dalam buku pelajaran anak sekolah dasar. Dengan demikian menunjukkan bahwa pihak dinas pendidikan dan sekolah yang bersangkutan tidak pernah belajar dari kasus-kasus yang ada.

Sebelum kasus yang baru terjadi di SDN Gunung Gede dan SDN Polisi IV, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu kita sudah dikejutkan dengan kisah Istri Simpanan Bang Mamat yang juga menyusup ke dalam buku pelajaran anak sekolah dasar di sebuah sekolah di wilayah Jakarta Timur. Kisah Istri Simpanan Bang Mamat rupanya tidak dijadikan pelajaran, buktinya pihak sekolah masih saja kebobolan dengan unsur-unsur di luar kaidah pendidikan, buktinya tak lama kemudian di sebuah SMP di Mojokerto, Jawa Timur, pada sebuah lembar kerja siswa atau yang lebih dikenal dengan LKS memuat foto bintang artis porno asal Jepang Miyabi. Akibat termuatnya bintang film porno yang kesohor itu maka dunia pendidikan kembali heboh.

Apakah pornografi secara tidak kita sadari atau sadari akan terus menyusup ke sekolah-sekolah lewat buku pelajaran yang telah diberi ijin oleh dinas pendidikan dan pihak sekolah? Sepertinya masih akan terjadi. 

Semasa pendidikan di masa Orde Baru, buku-buku pelajaran yang ada dipinjami dari sekolah. Dengan demikian maka anak-anak sekolah tak perlu membeli buku dari penerbit. Konsistensi kurikulum semasa Orde Baru yang tak mudah berubah membuat buku pelajaran itu awet. Sehingga penggunaan buku itu bisa secara estafet dan kontinu. Contohnya, bila Kelas III naik kelas maka buku itu akan dipinjamkan kepada penghuni Kelas III yang baru. 
Dalam era reformasi rupanya terjadi liberalisasi dalam dunia pendidikan, dengan alasan otonomi daerah maka pihak sekolah berlomba-lomba menggunakan cara agar bagaimana sekolahnya maju dan berkualitas. Untuk itu sekolah-sekolah yang ada mempersilahkan pihak-pihak penerbit menawarkan buku-buku tambahan atau buku-buku pengayaan masuk ke dalam sekolah.

Peluang ini tentu dibaca oleh para investor atau pelaku bisnis untuk membuat percetakan dan penerbitan. Tak heran dalam masa reformasi tumbuh usaha percetakan dan penerbitan yang siap memproduksi buku-buku tambahan atau buku-buku pengayaan dari jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah yang berada di lingkung Kementerian Agama dari madrasah, tsanawiyah, hingga aliyah. Kita merasa senang bila ada pihak-pihak non-pemerintah atau swasta terlibat langsung dalam dunia pendidikan namun masalah yang terjadi tak semuanya didasari niat luhur. Ada yang menggunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan bisnis.

Banyaknya usaha penerbitan dan percetakan itulah yang membuat pelaku usaha di bidang itu mengalami persaingan yang sengit sehingga bila buku yang dicetaknya tidak laku maka usaha yang dijalankan bisa bangkrut. Untuk memperlancar penjualan buku maka pihak-pihak percetakan dan penerbit memberikan iming-iming kepada dinas pendidikan atau kepala sekolah dan guru sebuah bonus yang menggiurkan bila berhasil memaksa muridnya untuk membeli buku. Bonus yang diberikan kepada kepala sekolah atau guru bila mampu menjual buku kepada peserta didik yang jumlahnya ratusan itu seperti uang, barang, bahkan berlibur ke tempat-tempat wisata seperti Pulau Bali.

Bertemunya kepentingan pihak penerbit atau percetakan dengan guru dan kepala sekolah dalam masalah jual beli buku bisa jadi kesejahteraan guru dan kepala sekolah kurang sehingga mereka mencari tambahan penghasilan. Tergiur dengan iming-iming bonus dari penerbit dan percetakan itulah yang membuat kepala sekolah dan guru luluh mengiyakan kemauan penerbit.

Lolosnya unsur-unsur pornografi dalam buku-buku pelajaran produk penerbit dan percetakan bisa jadi juga disebabkan bahwa penerbit dan percetakan itu kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang tepat pada bidangnya. Penulis pernah menemukan sebuah lowongan dari sebuah PT penerbit yang mencari lowongan seorang editor dengan klasifikasi yang berat. Mereka yang dicari itu akan dijadikan editor buku biologi, fisika, dan kimia. Apa yang dilakukan penerbit itu benar. Sebab dengan klasifikasi yang berat maka akan melahirkan buku yang berkualitas.

Menjadi masalah bila penerbit atau percetakan yang tidak memiliki SDM yang tepat sehingga berakibat pada banyak kesalahan pesan atau ajar dari sebuah buku pelajaran. Ini berbahaya. Munculnya pornografi dalam buku sekolah bisa jadi karena editornya bukan orang yang dibesarkan dalam lingkup pendidikan, misalnya bukan alumni dari perguruan tinggi yang berkejurusan pendidikan, bukan alumni universitas pendidikan, FKIP, atau IKIP, Fakultas Tarbiyah pada IAIN, atau jurusan yang terkait dengan dunia pendidikan. Mereka yang menjadi editor pada buku yang berbau pornografi itu bisa jadi hanya orang yang dirasa bisa menulis, bisa juga dari kalangan sastrawan atau wartawan yang tidak paham dengan kaidah-kaidah dunia pendidikan.

Untuk mencegah hal-hal yang di atas tidak terulang lagi maka di sini perlunya pemerintah memberi perhatian kesejahteraan yang lebih pada guru. Bisa jadi guru kesejahteraannya minim sehingga mereka tergoda pada rayuan penerbit atau percetakan akan bonus yang menggiurkan bila kepala sekolah dan guru mau menjadi agen penjual buku kepada anak didiknya sendiri meski dilakukakn secara paksa.

Kemudian pemerintah juga harus mengawasi penerbit atau percetakan yang mencetak buku-buku pendidikan. Pendidikan adalah suatu yang vital untuk membentuk karakter dan kecerdasan generasi muda sehingga muatan-muatan dari isi buku harus benar-benar mengacu pada kaidah-kaidah pendidikan nasional. Untuk itu pemerintah harus mengawasi penerbit dan percetakan, mulai dari SDM, mutu kertas, hingga harga. Bila tidak diawasi maka selain rivalitas antarpenerbit yang tak sehat juga akan memunculkan editan-editan yang tak sesuai dengan kaidah pelajaran.
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar