|
SUARA
MERDEKA, 30 Juli 2013
"Bila bisa
menegakkan nasionalisme, tak mungkin ada impor besar-besaran pangan, bahkan
berulang-ulang"
PERJALANAN saya ke Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan
malam itu tersendat, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.05. Rencana
menonton pertandingan Indonesia All Stars
versus Chelsea pun akhirnya saya batalkan meskipun tiket sudah di tangan
karena waktu yang tidak pasti dan teman juga mengabarkan bahwa Indonesia sudah
ketinggalan 4-0 hanya dalam 31 menit.
Esoknya media memberitakan dukungan penonton yang begitu
heboh untuk Chelsea, seolah-olah lupa lawan Chelsea adalah kesebelasan
nasional. Saya seperti diingatkan tatkala menyaksikan Indonesia Dream Team lawan Arsenal, dan
kesebelasan kita dibabat habis 7-0. Saya terpana, sedih, dan kecewa menyaksikan
hebatnya dukungan fans The Gunner
terhadap klub asal Inggris tersebut.
Wujud nasionalisme heroik mulai terkikis dalam kultur
bangsa kita bila melihat ‘’kompetisi’’ mini British
Premier League di Senayan itu. Kecenderungan hampir sama muncul dalam
beragam peristiwa pada tataran kehidupan perekonomian nasional. Impor sapi
dalam jumlah besar dan bahan pangan lain untuk mengendalikan laju inflasi
membuat wajah kita tercoreng. Dengan keberlimpahan sumber daya alam, rasanya
berat menyandang predikat importir pangan.
Nasionalisme telah sekarat? Gejalanya menunjukkan demikian.
Bila bisa menegakkan nasionalisme, tak mungkin ada impor besar-besaran pangan,
bahkan berulang-ulang. Nasionalisme akan menumbuhkan kepercayaan untuk memenuhi
seluruh kebutuhan dasar, dengan membangun format pengembangan produksi pangan
yang terstruktur, sistematis, dan terukur.
Sayang, format pengembangan sering tidak konsisten, fondasi
rapuh dan kebijakan produksi cenderung berjangka pendek. Akibatnya upaya
membangun swasembada pangan tidak bisa terwujud dengan baik. Tidak mengherankan
tahun 2013 kita harus mengimpor 3 juta ton jagung dan 2 juta ton kedelai.
Negara Surplus
Pada era global, transaksi ekonomi tak mengenal batas
negara, ekonomi bergerak sesuai kebutuhan. Negara tidak akan berkembang tanpa
terlibat di dalamnya. Ekspor impor menjadi ritme normal dalam perekonomian
nasional, tiap negara akan berusaha mewujudkan net ekspor surplus.
Kemampuan bangsa dalam mengelola daya saing, inovasi,
volume, dan kontinuitas produk adalah kunci keberhasilan dalam
memanfaatkan pasar global. Integrasi keduanya menurut sahabat saya, Edward
Sofiananda, CEO Mugan Group, akan
membawa produk lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dia tidak hanya
bicara, ia melakukannya, menciptakan branding
atas produknya.
Nasionalismenya andal, impiannya luar biasa dan dia
mengawali dan terus membesarkannya di Semarang. Industri yang dikembangkan
adalah teknologi media dan telematika, industri teknologi tinggi. Meskipun
banyak menggarap usaha, Edward concern
membangun industri tersebut. Perusahaannya memproduksi televisi untuk diekspor
ke Afrika dan Timur Tengah, juga memproduksi komputer, ponsel, dan aksesori
telematika lainnya yang dipasarkan di dalam negeri dan ekspor. Brand-nya sudah dikenal masyarakat,
mensponsori acara televisi be-rating tinggi seperti X-Factor dan yang akan datang adalah Indonesian Idol. Televisi Kaisar, komputer tablet Advan, Vandroid dan HP Cross adalah merk yang diciptakannya.
Kandungan lokal produknya masih rendah (25%), bahkan ada
produk yang sepenuhnya impor, namun hal ini adalah bagian dari strategi
bertahap Edward untuk menjadikan produknya memiliki daya saing tinggi,
khususnya di pasar lokal.
Adu Strategi
Menurut Edward pada era sekarang hal yang biasa, bahkan
produk Ipad diproduksi di China walau pemegang merknya di Amerika Serikat.
Strategi Edward lebih didominasi strategi harga dan bermain di pasar low end. Namun, tingkat penjualan
produknya tertinggi di Indonesia, untuk ponsel Cross pada 2012 sebanyak 16 juta unit, ranking kedua hanya 10 juta
unit.
Edward mengakui nilai penjualannya jauh di bawah ranking dua karena harga produknya
sangat miring. Kepada Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Edward meminta
pemerintah segera merealisasikan regulasi yang memberi insentif kepada
pengusaha 50:50, yaitu memproduksi produk 50% dan diberi insentif
mengimpor produk sejenis sebanyak 50%.
Dengan volume penjualan bertambah besar, ia telah
menyiapkan pabrik untuk memproduksi seluruh produk di dalam negeri. Ia yakin
harga produknya dapat dijangkau seluruh masyarakat Indonesia sehingga dunia
maya akan menjadi dunia yang mudah dan murah. Edward telah melakukan inovasi
pemasaran, diawali menciptakan kesadaran masyarakat terhadap sebuah merk.
Sebuah awal yang baik dan makin terakselerasi jika pemerintah memberikan
dukungan kebijakan yang kuat.
Rasanya bukan mustahil, merk sendiri menjadi tuan rumah di
negeri sendiri, juga bukan mustahil dua tahun lagi Indonesia Dream Team akan datang ke Inggris untuk membuat Chelsea,
Arsenal, dan Liverpool kerepotan. Hal ini bisa terwujud bila kita makin pandai
beradu strategi, bukan lagi jadi penonton, bukan lagi dihibur, tetapi kita
mampu menjadi pemain andal dan menghibur bangsa ini sehingga kita bangga
menjadi bangsa Indonesia, seperti bangga terhadap produk dan kesebelasan
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar