Rabu, 31 Juli 2013

Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Ihwan Sudrajat  ;   Pengamat Ekonomi, Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 30 Juli 2013


"Bila bisa menegakkan nasionalisme, tak mungkin ada impor besar-besaran pangan, bahkan berulang-ulang"

PERJALANAN saya ke Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan malam itu tersendat, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.05. Rencana menonton pertandingan Indonesia All Stars versus Chelsea pun akhirnya saya batalkan meskipun tiket sudah di tangan karena waktu yang tidak pasti dan teman juga mengabarkan bahwa Indonesia sudah ketinggalan 4-0 hanya dalam 31 menit. 

Esoknya media memberitakan dukungan penonton yang begitu heboh untuk Chelsea, seolah-olah lupa lawan Chelsea adalah kesebelasan nasional. Saya seperti diingatkan tatkala  menyaksikan Indonesia Dream Team lawan Arsenal, dan kesebelasan kita dibabat habis 7-0. Saya terpana, sedih, dan kecewa menyaksikan hebatnya dukungan fans The Gunner terhadap klub asal Inggris tersebut. 

Wujud nasionalisme heroik mulai terkikis dalam kultur bangsa kita bila melihat ‘’kompetisi’’ mini British Premier League di Senayan itu. Kecenderungan hampir sama muncul dalam beragam peristiwa pada tataran kehidupan perekonomian nasional. Impor sapi dalam jumlah besar dan bahan pangan lain untuk mengendalikan laju inflasi membuat wajah kita tercoreng. Dengan keberlimpahan sumber daya alam, rasanya berat menyandang predikat importir pangan.

Nasionalisme telah sekarat? Gejalanya menunjukkan demikian. Bila bisa menegakkan nasionalisme, tak mungkin ada impor besar-besaran pangan, bahkan berulang-ulang. Nasionalisme akan menumbuhkan kepercayaan untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar, dengan membangun format pengembangan produksi pangan yang terstruktur, sistematis, dan terukur.

Sayang, format pengembangan sering tidak konsisten, fondasi rapuh dan kebijakan produksi cenderung berjangka pendek. Akibatnya upaya membangun swasembada pangan tidak bisa terwujud dengan baik. Tidak mengherankan tahun 2013 kita harus mengimpor 3 juta ton jagung dan 2 juta ton kedelai.

Negara Surplus

Pada era global, transaksi ekonomi tak mengenal batas negara, ekonomi bergerak sesuai kebutuhan. Negara tidak akan berkembang tanpa terlibat di dalamnya. Ekspor impor menjadi ritme normal dalam perekonomian nasional, tiap negara akan berusaha mewujudkan net ekspor surplus.

Kemampuan bangsa dalam mengelola daya saing, inovasi, volume, dan kontinuitas produk adalah  kunci keberhasilan dalam memanfaatkan pasar global. Integrasi keduanya menurut sahabat saya, Edward Sofiananda, CEO Mugan Group, akan membawa produk lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dia tidak hanya bicara, ia melakukannya, menciptakan branding atas produknya.

Nasionalismenya andal, impiannya luar biasa dan dia mengawali dan terus membesarkannya di Semarang. Industri yang dikembangkan adalah teknologi media dan telematika, industri teknologi tinggi. Meskipun banyak menggarap usaha, Edward concern membangun industri tersebut. Perusahaannya memproduksi televisi untuk diekspor ke Afrika dan Timur Tengah, juga memproduksi komputer, ponsel, dan aksesori telematika lainnya yang dipasarkan di dalam negeri dan ekspor. Brand-nya sudah dikenal masyarakat, mensponsori acara televisi be-rating tinggi seperti X-Factor dan yang akan datang adalah Indonesian Idol. Televisi Kaisar, komputer tablet Advan, Vandroid dan HP Cross adalah merk yang diciptakannya.

Kandungan lokal produknya masih rendah (25%), bahkan ada produk yang sepenuhnya impor, namun hal ini adalah bagian dari strategi bertahap Edward untuk menjadikan produknya memiliki daya saing tinggi, khususnya di pasar lokal.

Adu Strategi

Menurut Edward pada era sekarang hal yang biasa, bahkan produk Ipad diproduksi di China walau pemegang merknya di Amerika Serikat. Strategi Edward lebih didominasi strategi harga dan bermain di pasar low end. Namun, tingkat penjualan produknya tertinggi di Indonesia, untuk ponsel Cross pada 2012 sebanyak 16 juta unit, ranking kedua hanya 10 juta unit.

Edward mengakui nilai penjualannya jauh di bawah ranking dua karena harga produknya sangat miring. Kepada Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Edward meminta pemerintah segera merealisasikan regulasi yang memberi insentif kepada pengusaha 50:50, yaitu memproduksi produk 50%  dan diberi insentif mengimpor produk sejenis sebanyak 50%.

Dengan volume penjualan bertambah besar, ia telah menyiapkan pabrik untuk memproduksi seluruh produk di dalam negeri. Ia yakin harga produknya dapat dijangkau seluruh masyarakat Indonesia sehingga dunia maya akan menjadi dunia yang mudah dan murah. Edward telah melakukan inovasi pemasaran, diawali menciptakan kesadaran masyarakat terhadap sebuah merk. Sebuah awal yang baik dan makin terakselerasi jika pemerintah memberikan dukungan kebijakan yang kuat.


Rasanya bukan mustahil, merk sendiri menjadi tuan rumah di negeri sendiri, juga bukan mustahil dua tahun lagi Indonesia Dream Team akan datang ke Inggris untuk membuat Chelsea, Arsenal, dan Liverpool kerepotan. Hal ini bisa terwujud bila kita makin pandai beradu strategi, bukan lagi jadi penonton, bukan lagi dihibur, tetapi kita mampu menjadi pemain andal dan menghibur bangsa ini sehingga kita bangga menjadi bangsa Indonesia, seperti bangga terhadap produk dan kesebelasan sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar