Jumat, 26 Juli 2013

Hak Napi Bukan HAM, tapi Napi Bukan Binatang?

Hak Napi Bukan HAM, tapi Napi Bukan Binatang?
Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO, 25 Juli 2013


Menanggapi artikel saya yang dimuat di harian ini pada 16 Juli dengan judul ”HakNapi= HAM”, Zamrony, mantan Asisten Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, menulis artikel dengan judul ”Hak Napi Bukan HAM” di KORAN SINDO edisi Selasa, 23 Juli. 

Namun, saya tidakberpretensi bahwa pemikiran yang bersangkutan juga mewakili pimpinan dan anggota satgas yang sangat dikenal di republik ini. Pertama, saya perlu klarifikasi atas tulisan yang bersangkutan bahwa pemikiran saya bukan copy paste atau mirip dengan dalil pemohon uji materi PP 99/2012 melalui pengacara Prof Yusril Ihza Mahendra. Saya juga boleh menduga artikel Zamrony mewakili kepentingan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. 

Kedua, pendapat saya tidak harus ditelan bulat-bulat karena disampaikan melalui ruang publik, justru untuk urun rembuk bagaimana meluruskan ingar-bingar remisi saat ini. Ketiga, dalam akhir tulisan Zamrony mengatakan, ”marilah kita dekatkan hati nurani kita kepada rasa keadilan masyarakat, bukan hanya kumpulan pasal-pasal mati karena hukum itu hidup di tengah-tengah masyarakat”. 

Satjipto Rahardjo (alm) dengan hukum progresif dikenal dengan jargon, ”hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”; berbeda pandangan dengan mereka yang memaksakan PP Remisi kepada narapidana tertentu yang menegaskan manusia untuk hukum. Betapa naifnya jika pemikiran saya dalam artikel ”Hak Napi = HAM” dipandang tidak bernurani pada keadilan masyarakat dan tidak proaspirasi keadilan masyarakat. Bagi saya, napi adalah bagian (anggota) masyarakat, bukan ”makhluk asing” di tengah-tengah masyarakat karena pemikiran terakhir hanya menempatkan eksklusivisme di atas kolektivisime. 

Selain itu, pengalaman saya menyusun UU yang strategis seperti (R)UU HAM, (R)UU Anti Korupsi, (R)UU Anti Terorisme, (R)UU TPPU(2002), dan(R)UUKKN, bahkan UU KPK justru karena peduli pada hati nurani rakyat Indonesia sejak Era Reformasi di mana saya tidak pernah bertemu muka dengan Zamrony selama penyusunan UU tersebut. 

Keempat, saya tidak pernah menyampaikan dalil, tetapi menyampaikan kekeliruan pengambil kebijakan dalam membatasi pemberian remisi kepada narapidana tertentu. Sebaiknya Sdr Zamrony menyimak teliti perbedaan antara kekeliruan dan dalil yang tidak perlu saya uraikan di sini. Perkenankan saya menyampaikan kekeliruan Sdr Mantan Asisten Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. 

Kekeliruan pertama, tentang pendapat hak napi bukan HAM, saya minta pertanggungjawaban apakah menurut Anda seorang narapidana, adalah manusia atau binatang sehingga tidak layak menyandang predikat ”manusia” sesuai dengan huruf M dalam singkatan HAM! Pasal 28 A sampai dengan J UUD 1945 tidak membedakan hak asasi manusia pada setiap warga negara apa pun statusnya dan tentu ketiadaan secara eksplisit hak napi dicantumkan di dalam UUD 1945 tidak berarti tidak ada pengakuan hak sosial, hak ekonomi, hak politik, dan hak hukum pada setiap napi. 

Pada kenyataannya, sebagai contoh, mereka masih memiliki hak memilih sejak pemilu diselenggarakan dalam sejarah republik sampai hari ini. Dalam UU Susduk terbaru mantan napi bahkan berhak untuk dipilih juga sebagai caleg. Mereka juga masih memiliki hak sosial, ekonomi serta hak hukum antara lain remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat selama menjalani masa pembinaan. 

Keberhasilan Pemilu 2009 dan sebelumnya salah satunya karena faktor keikutsertaan napi dalam pemilu bukan hanya karena partisipasi masyarakat di luar lapas, termasuk kawan-kawan yang propembatasan remisi saja seperti Zamrony. Begitu juga setiap napi masih memiliki hak untuk hidup terbukti mereka masih tetap memperoleh hak jatah makan tiga kali sehari dengan standar kesehatan yang telah ditetapkan WHO. 

Justru pandangan bahwa hak napi bukan HAM telah menyimpang dari filsafat kehidupan Pancasila yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pendapat hak napi bukan HAM bahkan merupakan pemikiran sesat tidak sesuai standar ”common sense” dan diakui universal sesuai dengan ICPPR sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 10 ICCPR yaitu (1) All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human persondan (3) The Penitentiary system shall comprise treatment of prisoners the essential aim of which shall be their reformation and social rehabilitation. 

ICCPR mengakui tegas dan jelas bahwa orang hukuman masih memiliki kehormatan (dignity) sebagai manusia dan sistem kepenjaraan harus memperlakukan narapidana dengan tujuan reformasi dan rehabilitasi sosial!
Kekeliruan kedua, saya anjurkan Sdr Zamrony memahami ketentuan UNCAC khusus tentang justice collaborator (JC) dan whistle blower (WB) secara teliti. UNCAC Pasal 37 ayat 1 menyatakan, Each State Party shall …to encourage persons who participate or have participated in the commission of an offence.. to supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes..”. Lebih jelas lagi pada ayat 2, ”Each state party shall consider providing the possibility …of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence..” 

Inti kedua ayat pasal tersebut adalah baik justice collaborator ataupun whistle blower seharusnya ditempatkan pada tataran investigasi (penyidikan) dan penuntutan, bukan pada tataran pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Jika dikaitkan dengan ketentuan ICCPR di atas jelas PP 39/2012 tentang remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat bertentangan secara diametral dengan kedua ketentuan konvensi internasional tersebut di atas. 

Kekeliruan ketiga pada artikel Sdr Zamrony bahwa logika hukum dari pandangan saya hak napi = HAM sesuai Pasal 28 J UUD 1945 menuntut pembatasan hak sosial, hak ekonomi, dan hak hukum napi harus diatur dalam UU, bukan sebuah PP.
Kekeliruan keempat dari artikel Zamrony bahwa sebuah kekosongan hukum dari UU seharusnya diisi dengan perubahan terhadap UU itu sendiri, bukan hanya dengan PP yang berada di bawah UU, apalagi PP tersebut bertentangan dengan UU-nya itu sendiri. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PP), khusus Pasal 7 ayat (1) dan lebih khusus ayat (2) yang menegaskan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya dan PP ditempatkan di bawah UU. PP 99 Tahun 2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan baik aspek filosofi, yuridis, dan sosiologis ketika UU tersebut dibuat. 

Jika substansi PP 99 Tahun 2012 harus dipertahankan, UU Pemasyarakatan harus diubah lebih dulu atau melalui perppu. Suatu produk PP sebagai peraturan pelaksanaan UU masih dibenarkan sepanjang tidak membentuk norma baru. Itulah pakem yang ditentukan dalam Pasal 12 UU PP Nomor 12 Tahun 2011 bahwa materi muatan PP berisi materi menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya!

Kekeliruan kelima, standard minimum rules for the treatment of prisoners (SMR) tahun 1955, mengakui perbedaan penempatan dan perlakuan berdasarkan klasifikasi napi atas dasar usia, jenis kelamin, dan lamanya pidana; begitu juga dibedakan penempatan dan perlakuan antara napi dan tahanan; tetapi tidak pembedaan berdasarkan jenis kejahatan kecuali karena alasan kesehatan. 

Kekeliruan keenam dalam artikel Zamrony adalah cara memahami hubungan antara warga negara dan negara di dalam era globalisasi di mana kesetaraan kedudukan negara (pejabat) dan warga negara merupakan keniscayaan termasuk kedudukan dan hak asasi seorang napi; sangat jauh berbeda dengan hubungan warga negara dan negara pada abad ke-15 hingga ke-17 lampau.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar