Selasa, 30 Juli 2013

Presiden Parpol

Presiden Parpol
Asep Sumaryana ;   Kepala LP3AN dan Staf Pengajar llmu Administrasi Negara FISIP-Unpad Jatinangor
REPUBLIKA, 23 Juli 2013


Bila tren pemilih menurun sehingga tinggal 54 persen seperti disampaikan Ketua KPU Husni Kamil di Jakarta (18/7/13), demokrasi yang diagungkan bisa terancam. Penurunan itu bisa saja akibat kekecewaan rakyat yang merasa dikhianati sejumlah penyelenggara negara yang parpol minded. Yang dianggap sejahtera bisa jadi parpol tempatnya berasal. Sementara, sebagian besar rakyatnya harus menjadi pelanggan BLT atau BLSM. Bahkan, APBN/D pun digunakan sebagian besar untuk belanja rutin tanpa banyak kreativitas untuk menambah belanja modal.

Jika presiden yang berasal dari parpol menyejahterakan parpolnya lebih dahulu, sejumlah parpol yang mengusung ketua umumnya dikhawatirkan akan menunjukkan perilaku yang sama dengan ketua parpol yang berkuasa. Padahal, presiden bukanlah presidennya parpol, melainkan yang bertanggung jawab terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah untuk dilindungi, dicerdaskan, dan diisejahterakan sesuai pesan pembukaan UUD 1945.

Bisa jadi mengusung ketua umumnya menjadi calon presiden merupakan paradigma lama. Hal demikian muncul akibat ketidakpercayaan kepada pihak lain akan potensinya. Padahal, dari 250 juta anak bangsa, pastilah tersedia calon bernas yang memiliki kapasitas, kapabilitas, serta personality(Sulistyani, 2008)
untuk bisa dijadikan presiden. Ditambah dengan integritas kebangsaan yang baik, maka calon presiden pun masih bertebaran di luar penguasa parpol.

Mungkin juga, sejumlah elite parpol berpikir, jika parpolnya yang terbaik dan rakyat yang menjadi konstituennya, perlu mendapat perhatian lebih utama ketimbang rakyat yang tidak memilih kader dari parpolnya. Hal seperti ini sudah pula ketinggalan karena Denhardt (2004) sudah mendeklarasikan jika dalam new public service, rakyat tidak lagi dikerangkeng dengan konstituen ataupun konsumen, tapi sudah ditempatkan sebagai citizen. Berarti, siapa pun rakyat Indonesia, semuanya perlu mendapat perlakuan yang sama.

Mengikuti alur pikir Denhardt, bisa jadi presiden pun tidak harus diusung oleh parpol tertentu. Mungkin akan bijaksana bila sejumlah upaya penjaringan calon presiden yang dilakukan sejumlah parpol membuka peluang bagi siapa pun figur yang pantas diusung untuk menjadi presiden. Dengan demikian, tidak lagi bicara parpol, etnis, golongan, atau mungkin sentimen tertentu. Untuk itu, menjadi tanggung jawab parpol terhadap bangsanya untuk menelusuri sejumlah figur agar dipertimbangkan menjadi calon presiden 2014 yang akan dipilih rakyat.

Kesadaran baru

Kesadaran seperti itu membuka lembaran baru dalam seleksi calon presiden yang tidak hanya bertumpu pada sentimen keparpolan, tetapi berangkat dari tanggung jawabnya untuk menawarkan calon pemimpin yang kredibel. Oleh karena itu, calon pemimpin yang baik untuk bangsa ini bisa tidak tersedia pada parpolnya. Hal yang penting, menurut Moelyono (2004), bahwa pemimpin harus memiliki pandangan jauh ke depan (vision) untuk memajukan bangsa ini. Dengan pandangan tersebut, bangsa ini akan dibangun menjadi bangsa mandiri yang tidak dapat didikte bangsa lain.

Visi saja tidaklah cukup, diperlukan pula kemampuan membuat value yang berasal dari nilai keagamaan serta budaya yang ada. Kearifan lokal dapat di kembangkan dalam tatanan ini. Mungkin saja ketimpangan yang terjadi pada bangsa ini karena terlalu banyak serapan nilai asing yang dicangkokkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa didahului kajian mendalam akan kecocokan nilai tersebut dengan perikehidupan bangsa ini. 

Tidak heran jika sejumlah tata kehidupan menjadi oleng karena sebagian nilai yang digunakannya diadopsi dari nilai asing. Para pemimpin patut mengoptimalkan internal value agar bangsa ini tidak dianggap miskin dengan nilai luhur kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 

Kesadaran baru dari calon presiden harus tumbuh, bukan hanya karena sumber daya alam yang melimpah yang digadaikan kepada bangsa lain, melainkan kekayaan nilai yang terpendam dan berserakan dalam kehidupan bangsa ini untuk diikat dan dijadikan kekuatan moral bangsa ini. Dengan value yang dimiliki, bisa jadi korupsi pun akan dibencinya karena identik dengan mencuri dan merampok.

Untuk mewujudkan vision dan value, diperlukan courage. Ketika tumpuan pada value, courage pun akan mendapat dukungan rakyat banyak. Tidak setiap figur pemimpin memiliki courage karena sejumlah pertimbangan, maka courage pun berubah menjadi borangan (melucu sendiri), gamang, atau lempar batu sembunyi tangan. Suasana pun berubah menjadi chaos karena pengendalian terhadap aparat ba wahannya menjadi melemah. Dampaknya, rakyat kehilangan panutan yang dipercaya memimpin bangsa ini sehingga memperkecil keinginannya untuk terlibat dalam pemilu. 

Mungkin saja keadaan masih dapat diselamatkan dengan upaya parpol untuk mencari mutiara dalam lumpur. Penurunan persentase pemilih 2014 seperti pendapat ketua KPU perlu dijawab parpol dengan upaya mencari figur presiden tanpa mengedepankan egoisme keparpolannya. Dengan sikap ini, parpol turut berkontribusi menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Langkah parpol untuk tidak mencari calon presiden dari kubunya, bisa menjadi niat mulia untuk mencari figur presiden bagi bangsa ini, bukan presiden untuk parpolnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar