|
REPUBLIKA,
23 Juli 2013
Bila tren
pemilih menurun sehingga tinggal 54 persen seperti disampaikan Ketua KPU Husni
Kamil di Jakarta (18/7/13), demokrasi yang diagungkan bisa terancam. Penurunan
itu bisa saja akibat kekecewaan rakyat yang merasa dikhianati sejumlah
penyelenggara negara yang parpol minded. Yang
dianggap sejahtera bisa jadi parpol tempatnya berasal. Sementara, sebagian
besar rakyatnya harus menjadi pelanggan BLT atau BLSM. Bahkan, APBN/D pun
digunakan sebagian besar untuk belanja rutin tanpa banyak kreativitas untuk
menambah belanja modal.
Jika
presiden yang berasal dari parpol menyejahterakan parpolnya lebih dahulu,
sejumlah parpol yang mengusung ketua umumnya dikhawatirkan akan menunjukkan
perilaku yang sama dengan ketua parpol yang berkuasa. Padahal, presiden
bukanlah presidennya parpol, melainkan yang bertanggung jawab terhadap segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah untuk dilindungi, dicerdaskan, dan
diisejahterakan sesuai pesan pembukaan UUD 1945.
Bisa jadi
mengusung ketua umumnya menjadi calon presiden merupakan paradigma lama. Hal
demikian muncul akibat ketidakpercayaan kepada pihak lain akan potensinya.
Padahal, dari 250 juta anak bangsa, pastilah tersedia calon bernas yang
memiliki kapasitas, kapabilitas, serta personality(Sulistyani, 2008)
untuk bisa dijadikan presiden. Ditambah dengan integritas kebangsaan yang baik, maka calon presiden pun masih bertebaran di luar penguasa parpol.
untuk bisa dijadikan presiden. Ditambah dengan integritas kebangsaan yang baik, maka calon presiden pun masih bertebaran di luar penguasa parpol.
Mungkin
juga, sejumlah elite parpol berpikir, jika parpolnya yang terbaik dan rakyat
yang menjadi konstituennya, perlu mendapat perhatian lebih utama ketimbang
rakyat yang tidak memilih kader dari parpolnya. Hal seperti ini sudah pula
ketinggalan karena Denhardt (2004) sudah mendeklarasikan jika dalam new public service, rakyat tidak lagi
dikerangkeng dengan konstituen ataupun konsumen, tapi sudah ditempatkan sebagai
citizen. Berarti, siapa pun rakyat
Indonesia, semuanya perlu mendapat perlakuan yang sama.
Mengikuti
alur pikir Denhardt, bisa jadi presiden pun tidak harus diusung oleh parpol
tertentu. Mungkin akan bijaksana bila sejumlah upaya penjaringan calon presiden
yang dilakukan sejumlah parpol membuka peluang bagi siapa pun figur yang pantas
diusung untuk menjadi presiden. Dengan demikian, tidak lagi bicara parpol,
etnis, golongan, atau mungkin sentimen tertentu. Untuk itu, menjadi tanggung
jawab parpol terhadap bangsanya untuk menelusuri sejumlah figur agar dipertimbangkan
menjadi calon presiden 2014 yang akan dipilih rakyat.
Kesadaran baru
Kesadaran
seperti itu membuka lembaran baru dalam seleksi calon presiden yang tidak hanya
bertumpu pada sentimen keparpolan, tetapi berangkat dari tanggung jawabnya
untuk menawarkan calon pemimpin yang kredibel. Oleh karena itu, calon pemimpin
yang baik untuk bangsa ini bisa tidak tersedia pada parpolnya. Hal yang
penting, menurut Moelyono (2004), bahwa pemimpin harus memiliki pandangan jauh
ke depan (vision) untuk memajukan
bangsa ini. Dengan pandangan tersebut, bangsa ini akan dibangun menjadi bangsa
mandiri yang tidak dapat didikte bangsa lain.
Visi saja
tidaklah cukup, diperlukan pula kemampuan membuat value yang berasal dari nilai keagamaan serta budaya yang ada.
Kearifan lokal dapat di kembangkan dalam tatanan ini. Mungkin saja ketimpangan
yang terjadi pada bangsa ini karena terlalu banyak serapan nilai asing yang
dicangkokkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa didahului kajian
mendalam akan kecocokan nilai tersebut dengan perikehidupan bangsa ini.
Tidak
heran jika sejumlah tata kehidupan menjadi oleng karena sebagian nilai yang
digunakannya diadopsi dari nilai asing. Para pemimpin patut mengoptimalkan
internal value agar bangsa ini tidak
dianggap miskin dengan nilai luhur kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
Kesadaran
baru dari calon presiden harus tumbuh, bukan hanya karena sumber daya alam yang
melimpah yang digadaikan kepada bangsa lain, melainkan kekayaan nilai yang
terpendam dan berserakan dalam kehidupan bangsa ini untuk diikat dan dijadikan
kekuatan moral bangsa ini. Dengan value
yang dimiliki, bisa jadi korupsi pun akan dibencinya karena identik dengan
mencuri dan merampok.
Untuk
mewujudkan vision dan value, diperlukan courage. Ketika
tumpuan pada value, courage pun akan
mendapat dukungan rakyat banyak. Tidak setiap figur pemimpin memiliki courage karena sejumlah pertimbangan,
maka courage pun berubah menjadi
borangan (melucu sendiri), gamang, atau lempar batu sembunyi
tangan. Suasana pun berubah menjadi chaos
karena pengendalian terhadap aparat ba wahannya menjadi melemah. Dampaknya,
rakyat kehilangan panutan yang dipercaya memimpin bangsa ini sehingga
memperkecil keinginannya untuk terlibat dalam pemilu.
Mungkin
saja keadaan masih dapat diselamatkan dengan upaya parpol untuk mencari mutiara
dalam lumpur. Penurunan persentase pemilih 2014 seperti pendapat ketua KPU
perlu dijawab parpol dengan upaya mencari figur presiden tanpa mengedepankan
egoisme keparpolannya. Dengan sikap ini, parpol turut berkontribusi
menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Langkah parpol untuk tidak mencari
calon presiden dari kubunya, bisa menjadi niat mulia untuk mencari figur
presiden bagi bangsa ini, bukan presiden untuk parpolnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar