|
KORAN
SINDO, 25 Juli 2013
Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu
legislatif) merupakan salah satu bentuk pemilu di Indonesia sebagai manifestasi
prinsip negara demokrasi berdasarkan UUD 1945.
Dengan sendirinya kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif menentukan kualitas negara demokrasi yang dijalankan. Dari sisi politik, pemilu legislatif mengawali agenda ketatanegaraan dan politik nasional. Hasil pemilu legislatif memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu presiden/wakil presiden serta menentukan peta kekuatan politik nasional lima tahun berikutnya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif merupakan agenda konstitusional yang harus dikawal oleh segenap komponen bangsa.
Pemilu merupakan proses panjang terdiri atas tahapan-tahapan yang saling terkait, mulai dari penentuan agenda dan jadwal hingga penetapan hasil dan calon terpilih. Setiap tahapan pemilu telah diatur dengan prosedur dan tata cara tertentu berdasarkan ketentuan undangundang dan peraturan yang dibentuk oleh KPU untuk memastikan bahwa pemilu akan diselenggarakan secara jujur dan adil, serta hasil pemilu nanti benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Dalam tahapan pemilu legislatif yang telah dilakukan memang muncul beberapa persoalan. Pada tahap verifikasi partai politik peserta pemilu terdapat gugatan dari partai politik yang dinyatakan tidak lolos. Putusan PTUN telah dijatuhkan dan KPU telah melaksanakan putusan tersebut. Pada tahap verifikasi calon anggota legislatif, KPU sempat memutuskan mencoret daftar calon yang diajukan partai politik di suatu daerah pemilihan karena tidak memenuhi syarat.
Namun, putusan ini dieliminasi oleh Bawaslu, sementara KPU juga telah melaksanakan itu. Pada tahap pengumuman DPS, berbagai masukan telah diberikan peserta pemilu dan publik yang tentu akan ditindaklanjuti oleh KPU. Tentu saja wajar jika di dalam setiap tahapan pemilu selalu ada persoalan, baik karena perbedaan penafsiran aturan main maupun karena persoalan teknis penyelenggaraan.
Kompleksitas pemilu legislatif yang bersifat nasional, yang melibatkan ratusan juta pemilih, puluhan peserta, dan ratusan ribu calon anggota legislatif tentu saja memiliki peluang besar memunculkan berbagai persoalan. Karena itu, pada tahapan-tahapan pemilu selanjutnya permasalahan, baik dalam bentuk perselisihan maupun pelanggaran pasti akan terjadi.
Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dan pelanggaran, hukum pemilu (electoral laws) telah menyediakan mekanisme yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan terpenuhinya asas konstitusional penyelenggaraan pemilu dan tercapainya tujuan pemilu yang demokratis. Mekanisme hukum ini wujud dari prinsip bahwa demokrasi harus dijalankan berdasarkan aturan hukum sesuai prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum.
Sepanjang mekanisme hukum yang berorientasi pada asas dan tujuan pemilu dijalankan, kita percaya bahwa semua persoalan yang ada akan dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika terdapat pelanggaran terhadap mekanisme hukum atau bahkan pelanggaran terhadap asas dan tujuan pemilu yang demokratis sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, permasalahan akan berkembang dan berkelanjutan hingga memengaruhi konstitusionalitas hasil pemilu.
Hingga tahapan pengumuman DPS yang telah dilakukan, MK belum memiliki peran menyelesaikan perselisihan atau pelanggaran yang terjadi, kecuali untuk perkara pengujian undang-undang yang terkait pelaksanaan pemilu. Namun, terhadap perselisihan atau pelanggaran yang telah terjadi, terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan kembali di MK saat persidangan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang akan datang.
Dengan sendirinya ketika hal itu dipersoalkan, MK akan menilai dan memutus pelanggaran dan penyelesaian yang telah dilakukan dalam tahapan-tahapan itu, apakah terdapat pelanggaran terhadap konstitusi atau tidak. Ini konsekuensi dari jati diri MK sebagai peradilan konstitusi serta perkembangan putusan-putusan MK dalam perkara PHPU yang menegaskan bahwa peran MK tidak lagi sekadar memutus perselisihan hasil penghitungan suara, tapi memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.
Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU, baik PHPU Legislatif, PHPU Presiden, maupun PHPU Kepala Daerah telah membentuk prinsip-prinsip hukum penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai konstitusi. Prinsip-prinsip hukum ini tafsiran yang harus dijalankan untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, putusan PHPU bersifat pseudo judicial review karena di dalamnya terdapat penilaian dan penafsiran hukum pemilu.
Dengan demikian, putusan dan prinsip hukum yang dibentuk dalam putusan PHPU Kepala Daerah juga mengikat dan harus diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebagai contoh terkait peserta pemilu, MK pada perkara PHPU Kepala Daerah telah memutus bahwa verifikasi persyaratan dan penetapan peserta pilkada juga bagian dari konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.
Demikian pula halnya dengan kelengkapan persyaratan calon yang dapat diterap- ¬kan pada perkara persyaratan calon anggota legislatif. Terkait dengan DPS, MK juga telah memutus bahwa administrasi prosedural tidak boleh mengesampingkan substansi hak konstitusional sehingga DPS tidak boleh menutup hak pilih warga negara yang memenuhi syarat untuk menggunakan haknya. MK telah memutus bahwa pemilih yang tidak terdaftar pada DPT dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan KTP atau paspor dan kartu keluarga.
Pada tahapan selanjutnya juga telah terdapat putusan MK yang dapat dijadikan acuan dan harus diperhatikan. Pada tahap kampanye misalnya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap asas-asas pemilu yang demokratis, harus dijaga supaya tidak terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang memengaruhi hasil pemilu. Walaupun kategori TSM muncul dalam perkara pilkada, potensi TSM dalam pemilu legislatif juga sangat besar.
Karena itu, untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu legislatif dan mencegah pelanggaran konstitusi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, penyelenggara dan peserta pemilu legislatif sudah seharusnya senantiasa mengikuti, memahami, dan menjadikan putusan-putusan MK sebagai pertimbangan dalam menyelenggarakan dan mengikuti tahapan pemilu legislatif.
Kita tentu berharap tidak ada pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, diskualifikasi calon, atau diskualifikasi partai politik peserta pemilu. Namun, jika memang telah terjadi pelanggaran yang memenuhi unsur TSM, mencederai demokrasi dan asas pemilu, MK memiliki kewenangan konstitusional untuk memutus sesuai fungsinya mengawal konstitusi dan melindungi demokrasi. ●
Dengan sendirinya kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif menentukan kualitas negara demokrasi yang dijalankan. Dari sisi politik, pemilu legislatif mengawali agenda ketatanegaraan dan politik nasional. Hasil pemilu legislatif memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu presiden/wakil presiden serta menentukan peta kekuatan politik nasional lima tahun berikutnya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif merupakan agenda konstitusional yang harus dikawal oleh segenap komponen bangsa.
Pemilu merupakan proses panjang terdiri atas tahapan-tahapan yang saling terkait, mulai dari penentuan agenda dan jadwal hingga penetapan hasil dan calon terpilih. Setiap tahapan pemilu telah diatur dengan prosedur dan tata cara tertentu berdasarkan ketentuan undangundang dan peraturan yang dibentuk oleh KPU untuk memastikan bahwa pemilu akan diselenggarakan secara jujur dan adil, serta hasil pemilu nanti benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Dalam tahapan pemilu legislatif yang telah dilakukan memang muncul beberapa persoalan. Pada tahap verifikasi partai politik peserta pemilu terdapat gugatan dari partai politik yang dinyatakan tidak lolos. Putusan PTUN telah dijatuhkan dan KPU telah melaksanakan putusan tersebut. Pada tahap verifikasi calon anggota legislatif, KPU sempat memutuskan mencoret daftar calon yang diajukan partai politik di suatu daerah pemilihan karena tidak memenuhi syarat.
Namun, putusan ini dieliminasi oleh Bawaslu, sementara KPU juga telah melaksanakan itu. Pada tahap pengumuman DPS, berbagai masukan telah diberikan peserta pemilu dan publik yang tentu akan ditindaklanjuti oleh KPU. Tentu saja wajar jika di dalam setiap tahapan pemilu selalu ada persoalan, baik karena perbedaan penafsiran aturan main maupun karena persoalan teknis penyelenggaraan.
Kompleksitas pemilu legislatif yang bersifat nasional, yang melibatkan ratusan juta pemilih, puluhan peserta, dan ratusan ribu calon anggota legislatif tentu saja memiliki peluang besar memunculkan berbagai persoalan. Karena itu, pada tahapan-tahapan pemilu selanjutnya permasalahan, baik dalam bentuk perselisihan maupun pelanggaran pasti akan terjadi.
Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dan pelanggaran, hukum pemilu (electoral laws) telah menyediakan mekanisme yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan terpenuhinya asas konstitusional penyelenggaraan pemilu dan tercapainya tujuan pemilu yang demokratis. Mekanisme hukum ini wujud dari prinsip bahwa demokrasi harus dijalankan berdasarkan aturan hukum sesuai prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum.
Sepanjang mekanisme hukum yang berorientasi pada asas dan tujuan pemilu dijalankan, kita percaya bahwa semua persoalan yang ada akan dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika terdapat pelanggaran terhadap mekanisme hukum atau bahkan pelanggaran terhadap asas dan tujuan pemilu yang demokratis sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, permasalahan akan berkembang dan berkelanjutan hingga memengaruhi konstitusionalitas hasil pemilu.
Hingga tahapan pengumuman DPS yang telah dilakukan, MK belum memiliki peran menyelesaikan perselisihan atau pelanggaran yang terjadi, kecuali untuk perkara pengujian undang-undang yang terkait pelaksanaan pemilu. Namun, terhadap perselisihan atau pelanggaran yang telah terjadi, terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan kembali di MK saat persidangan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang akan datang.
Dengan sendirinya ketika hal itu dipersoalkan, MK akan menilai dan memutus pelanggaran dan penyelesaian yang telah dilakukan dalam tahapan-tahapan itu, apakah terdapat pelanggaran terhadap konstitusi atau tidak. Ini konsekuensi dari jati diri MK sebagai peradilan konstitusi serta perkembangan putusan-putusan MK dalam perkara PHPU yang menegaskan bahwa peran MK tidak lagi sekadar memutus perselisihan hasil penghitungan suara, tapi memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.
Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU, baik PHPU Legislatif, PHPU Presiden, maupun PHPU Kepala Daerah telah membentuk prinsip-prinsip hukum penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai konstitusi. Prinsip-prinsip hukum ini tafsiran yang harus dijalankan untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, putusan PHPU bersifat pseudo judicial review karena di dalamnya terdapat penilaian dan penafsiran hukum pemilu.
Dengan demikian, putusan dan prinsip hukum yang dibentuk dalam putusan PHPU Kepala Daerah juga mengikat dan harus diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebagai contoh terkait peserta pemilu, MK pada perkara PHPU Kepala Daerah telah memutus bahwa verifikasi persyaratan dan penetapan peserta pilkada juga bagian dari konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.
Demikian pula halnya dengan kelengkapan persyaratan calon yang dapat diterap- ¬kan pada perkara persyaratan calon anggota legislatif. Terkait dengan DPS, MK juga telah memutus bahwa administrasi prosedural tidak boleh mengesampingkan substansi hak konstitusional sehingga DPS tidak boleh menutup hak pilih warga negara yang memenuhi syarat untuk menggunakan haknya. MK telah memutus bahwa pemilih yang tidak terdaftar pada DPT dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan KTP atau paspor dan kartu keluarga.
Pada tahapan selanjutnya juga telah terdapat putusan MK yang dapat dijadikan acuan dan harus diperhatikan. Pada tahap kampanye misalnya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap asas-asas pemilu yang demokratis, harus dijaga supaya tidak terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang memengaruhi hasil pemilu. Walaupun kategori TSM muncul dalam perkara pilkada, potensi TSM dalam pemilu legislatif juga sangat besar.
Karena itu, untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu legislatif dan mencegah pelanggaran konstitusi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, penyelenggara dan peserta pemilu legislatif sudah seharusnya senantiasa mengikuti, memahami, dan menjadikan putusan-putusan MK sebagai pertimbangan dalam menyelenggarakan dan mengikuti tahapan pemilu legislatif.
Kita tentu berharap tidak ada pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, diskualifikasi calon, atau diskualifikasi partai politik peserta pemilu. Namun, jika memang telah terjadi pelanggaran yang memenuhi unsur TSM, mencederai demokrasi dan asas pemilu, MK memiliki kewenangan konstitusional untuk memutus sesuai fungsinya mengawal konstitusi dan melindungi demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar