|
KORAN
SINDO, 29 Juli 2013
Setelah berhasil
menembak mati pelaku terorisme di Tulungagung, Jawa Timur, aparat kini
dihadapkan pada tugas yang tak kalah berat yakni menertibkan organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang kerap melakukan tindakan anarkistis.
Untuk itulah, kasus bentrokan yang melibatkan massa Front Pembela Islam (FPI) dengan kelompok masyarakat Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, harus segera dituntaskan aparat agar kejadian serupa tidak terulang. Pentolan FPI beralasan bahwa razia atau sweeping selalu dilakukan dalam konteks dakwah islamiah. Strategi dakwah model FPI itu pun mengundang keprihatinan banyak kalangan. Tak ketinggalan, Presiden SBY juga menaruh keprihatinan yang mendalam.
Saat menghadiri buka puasa bersama ribuan anak yatim di Jakarta International Expo Kemayoran, beliau menyatakan bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan perusakan. Jika ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan agama, justru memalukan Islam (KORANSINDO, 22 Juli). Pernyataan SBY itu pun direaksi berlebihan oleh petinggi FPI. Presiden FPI Habieb Riziq bahkan keceplosan dengan menyebut SBY sebagai “pecundang”.
Padahal jika dicermati, pernyataan SBY terasa tepat karena berdakwah seharusnya tidak dilakukan dengan kekerasan. Apalagi tindakan anarkistis itu dilakukan saat umat tengah khusyuk beribadah puasa. Bentrokan berawal saat rombongan FPI dari Temanggung, Magelang, dan Yogyakarta berniat untuk melakukan sweeping tempat hiburan di Kendal. Warga yang tidak terima kemudianmelakukanperlawanan. Bentrok massal pun tak terhindarkan hingga mengakibatkan jatuh korban jiwa dan perusakan beberapa mobil milik anggota FPI. Anggota FPI bahkan sempat tersudut hingga menyelamatkan diri di Masjid Besar Sukorejo.
Massa FPI baru bisa diselamatkan setelah polisi dan TNI mengerahkan personel untuk mengevakuasi. Tindakan anarkistis yang melibatkan anggota FPI jelas bukan hanya kali ini. Setiap Ramadan anggota FPI selalu aktif melakukan sweeping di tempat yang potensial menjadi ajang berbuat maksiat. Ironisnya, tindakan anarkistis FPI itu dikatakan bagian dari dakwah untuk memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran (alamru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar). Pandangan ini jelas sikap yang berlebihan dalam menerjemahkan ajaran dakwah amar makruf nahi munkar.
Pandangan FPI yang menyatakan bahwa setiap orang boleh mengambil tindakan hukum, apalagi bersifat anarkistis, jelas harus diluruskan. Apalagi tindakan itu dilakukan dengan mengatasnamakan amar makruf nahi munkar. Padahal tugas amar makruf nahi munkar tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pembaru (mujadid) muslim ternama, Jalaluddin Al- Suyuthi, berpendapat bahwa tidak semua orang dapat menyuruh pada yang ma’ruf (apa saja yang dipandang baik dan diperintahkan syara’) dan melarang yang munkar (apa saja yang dipandang buruk, diharamkan, dan dibenci syara’).
Al-Suyuthi menegaskan bahwa hanya ulama dan penguasa yang berhak untuk menjalankan tugas amar makruf nahi munkar. Ulama berhak menjalankan tugas tersebut karena memiliki ilmu. Sedang penguasa dipandang dapat menunaikan tugas tersebut karena memiliki kekuasaan. Karena itu, penting ditekankan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah membawa bangsa ke arah kemuliaan dan menyelamatkannya dari kerusakan.
Tugas pemerintah ini akan semakin efektif jika disertai dengan integritas aparat penegak hukumnya. Dengan kekuasaan dan integritas yang dimiliki aparat, pemerintah pasti memiliki kewibawaan untuk memerintahkan yang baik serta melarang dan menghukum pelaku kemungkaran. Merujuk pada pendapat Al- Suyuthi tersebut, tugas mengajak pada kebaikan serta melarang dan menghukum pelaku kemungkaran hanya boleh dilakukan ulama dan pemerintah.
Dalam menjalankan tugas amar makruf nahi munkar tersebut bahkan harus tetap dikedepankan prinsip kasih sayang dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Itu berarti bahwa untuk menjalankan prinsip mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak boleh disertai dengan melakukan kemungkaran yang serupa. Tegasnya, dakwah seharusnya dilakukan dengan tanpa kekerasan (nirkekerasan). Bukankah prinsip dalam berdakwah semestinya mengajak dan merangkul?
Apalagi Nabi Muhammad SAW berpesan agar dalam berdakwah kita selalu berpegang pada prinsip untuk mempermudah dan tidak mempersulit, menggembirakan dan tidak menakut-nakuti. Spirit inilah yang perlu dikedepankan kelompok ormas radikal tatkala menerjemahkan ajaran Islam tentang amar makruf nahi munkar. Para pengemban misi dakwah Islam (mubalig/dai) harus menyadari bahwa beragama itu sebuah pergumulan yang tak pernah selesai.
Untuk menjadi pemeluk agama yang baik pasti membutuhkan waktu. Dalam pergumulan menjadi pemeluk agama yang baik itu, seseorang bahkan terkadang harus mengalami jalan berliku. Disadari atau tidak, pengalaman keagamaan yang panjang dan berliku pasti dialami setiap orang. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya keberagamaan seseorang selalu berproses (becoming). Pada konteks itulah setiap orang yang beragama harus menyadari bahwa dirinya sedang berproses menjadi pribadi yang lebih baik.
Karena perilaku keberagamaan itu berproses, yang penting dilakukan adalah memberikan pembinaan secara berkelanjutan agar seseorang mau berubah menjadi lebih baik. Termasuk yang perlu dibina dalam hal ini mereka yang belum terbuka hatinya untuk memanfaatkan Ramadan sebagai bulan beribadah. Mereka yang berpotensi merusak suasana Ramadan seperti pengelola hiburan malam, lokalisasi, rumah makan, dan warung tegal (warteg) juga harus menaati peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Jika masih ada yang tidak menaati peraturan, jalan yang terbaik adalah menyerahkan pada aparat yang berwenang. Kita harus meyakini bahwa masih banyak aparat yang bekerja dengan penuh integritas. Dalam konteks penertiban ormas anarkistis itulah, masyarakat berharap pada aparat yang berintegritas. Sekali saja aparat tidak menunjukkan komitmen moral yang baik, itu berarti memberi peluang ormas radikal semacam FPI untuk bertindak sesuai caranya.
Semoga model dakwah anggota FPI yang cenderung anarkistis tidak terulang karena kita selalu merindukan kehidupan keberagamaan yang ramah dan toleran. ●
Untuk itulah, kasus bentrokan yang melibatkan massa Front Pembela Islam (FPI) dengan kelompok masyarakat Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, harus segera dituntaskan aparat agar kejadian serupa tidak terulang. Pentolan FPI beralasan bahwa razia atau sweeping selalu dilakukan dalam konteks dakwah islamiah. Strategi dakwah model FPI itu pun mengundang keprihatinan banyak kalangan. Tak ketinggalan, Presiden SBY juga menaruh keprihatinan yang mendalam.
Saat menghadiri buka puasa bersama ribuan anak yatim di Jakarta International Expo Kemayoran, beliau menyatakan bahwa Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan perusakan. Jika ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan agama, justru memalukan Islam (KORANSINDO, 22 Juli). Pernyataan SBY itu pun direaksi berlebihan oleh petinggi FPI. Presiden FPI Habieb Riziq bahkan keceplosan dengan menyebut SBY sebagai “pecundang”.
Padahal jika dicermati, pernyataan SBY terasa tepat karena berdakwah seharusnya tidak dilakukan dengan kekerasan. Apalagi tindakan anarkistis itu dilakukan saat umat tengah khusyuk beribadah puasa. Bentrokan berawal saat rombongan FPI dari Temanggung, Magelang, dan Yogyakarta berniat untuk melakukan sweeping tempat hiburan di Kendal. Warga yang tidak terima kemudianmelakukanperlawanan. Bentrok massal pun tak terhindarkan hingga mengakibatkan jatuh korban jiwa dan perusakan beberapa mobil milik anggota FPI. Anggota FPI bahkan sempat tersudut hingga menyelamatkan diri di Masjid Besar Sukorejo.
Massa FPI baru bisa diselamatkan setelah polisi dan TNI mengerahkan personel untuk mengevakuasi. Tindakan anarkistis yang melibatkan anggota FPI jelas bukan hanya kali ini. Setiap Ramadan anggota FPI selalu aktif melakukan sweeping di tempat yang potensial menjadi ajang berbuat maksiat. Ironisnya, tindakan anarkistis FPI itu dikatakan bagian dari dakwah untuk memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran (alamru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar). Pandangan ini jelas sikap yang berlebihan dalam menerjemahkan ajaran dakwah amar makruf nahi munkar.
Pandangan FPI yang menyatakan bahwa setiap orang boleh mengambil tindakan hukum, apalagi bersifat anarkistis, jelas harus diluruskan. Apalagi tindakan itu dilakukan dengan mengatasnamakan amar makruf nahi munkar. Padahal tugas amar makruf nahi munkar tidak boleh dilakukan sembarang orang. Pembaru (mujadid) muslim ternama, Jalaluddin Al- Suyuthi, berpendapat bahwa tidak semua orang dapat menyuruh pada yang ma’ruf (apa saja yang dipandang baik dan diperintahkan syara’) dan melarang yang munkar (apa saja yang dipandang buruk, diharamkan, dan dibenci syara’).
Al-Suyuthi menegaskan bahwa hanya ulama dan penguasa yang berhak untuk menjalankan tugas amar makruf nahi munkar. Ulama berhak menjalankan tugas tersebut karena memiliki ilmu. Sedang penguasa dipandang dapat menunaikan tugas tersebut karena memiliki kekuasaan. Karena itu, penting ditekankan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah membawa bangsa ke arah kemuliaan dan menyelamatkannya dari kerusakan.
Tugas pemerintah ini akan semakin efektif jika disertai dengan integritas aparat penegak hukumnya. Dengan kekuasaan dan integritas yang dimiliki aparat, pemerintah pasti memiliki kewibawaan untuk memerintahkan yang baik serta melarang dan menghukum pelaku kemungkaran. Merujuk pada pendapat Al- Suyuthi tersebut, tugas mengajak pada kebaikan serta melarang dan menghukum pelaku kemungkaran hanya boleh dilakukan ulama dan pemerintah.
Dalam menjalankan tugas amar makruf nahi munkar tersebut bahkan harus tetap dikedepankan prinsip kasih sayang dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Itu berarti bahwa untuk menjalankan prinsip mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak boleh disertai dengan melakukan kemungkaran yang serupa. Tegasnya, dakwah seharusnya dilakukan dengan tanpa kekerasan (nirkekerasan). Bukankah prinsip dalam berdakwah semestinya mengajak dan merangkul?
Apalagi Nabi Muhammad SAW berpesan agar dalam berdakwah kita selalu berpegang pada prinsip untuk mempermudah dan tidak mempersulit, menggembirakan dan tidak menakut-nakuti. Spirit inilah yang perlu dikedepankan kelompok ormas radikal tatkala menerjemahkan ajaran Islam tentang amar makruf nahi munkar. Para pengemban misi dakwah Islam (mubalig/dai) harus menyadari bahwa beragama itu sebuah pergumulan yang tak pernah selesai.
Untuk menjadi pemeluk agama yang baik pasti membutuhkan waktu. Dalam pergumulan menjadi pemeluk agama yang baik itu, seseorang bahkan terkadang harus mengalami jalan berliku. Disadari atau tidak, pengalaman keagamaan yang panjang dan berliku pasti dialami setiap orang. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya keberagamaan seseorang selalu berproses (becoming). Pada konteks itulah setiap orang yang beragama harus menyadari bahwa dirinya sedang berproses menjadi pribadi yang lebih baik.
Karena perilaku keberagamaan itu berproses, yang penting dilakukan adalah memberikan pembinaan secara berkelanjutan agar seseorang mau berubah menjadi lebih baik. Termasuk yang perlu dibina dalam hal ini mereka yang belum terbuka hatinya untuk memanfaatkan Ramadan sebagai bulan beribadah. Mereka yang berpotensi merusak suasana Ramadan seperti pengelola hiburan malam, lokalisasi, rumah makan, dan warung tegal (warteg) juga harus menaati peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Jika masih ada yang tidak menaati peraturan, jalan yang terbaik adalah menyerahkan pada aparat yang berwenang. Kita harus meyakini bahwa masih banyak aparat yang bekerja dengan penuh integritas. Dalam konteks penertiban ormas anarkistis itulah, masyarakat berharap pada aparat yang berintegritas. Sekali saja aparat tidak menunjukkan komitmen moral yang baik, itu berarti memberi peluang ormas radikal semacam FPI untuk bertindak sesuai caranya.
Semoga model dakwah anggota FPI yang cenderung anarkistis tidak terulang karena kita selalu merindukan kehidupan keberagamaan yang ramah dan toleran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar