Jumat, 26 Juli 2013

Disfungsi Etika Pejabat dan Elite Politik

Disfungsi Etika Pejabat dan Elite Politik
Yuli Tirtariandi El Anshori  ;   Pengajar Etika Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka, Alumnus FISIPOL UGM
TEMPO.CO, 23 Juli 2013



Kata “etika” kembali mengemuka di negeri ini setelah keluar hasil survei Lembaga Survei Indonesia. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap moralitas elite politik sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan. Secara kasatmata pun masyarakat awam dapat menyaksikan bagaimana tingkah para elite politik, termasuk juga para pejabat publik. Berbagai sikap hipokrit juga diperlihatkan, lain di mulut lain juga perilakunya.

Rentetan perilaku tidak patut diperlihatkan kepada publik. Misalnya perilaku beberapa kepala daerah yang tidak memberikan contoh bagus dengan beristri lebih dari satu. Kasus terakhir yang cukup menghebohkan adalah soal pelantikan Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Setelah sempat menuai pergunjingan publik, akhirnya istri pertama si bupati yang dilantik (Kompas.com, 8 Juli 2013). Ini hanyalah satu kasus di mana banyak pejabat publik maupun elite politik memperlihatkan perbuatan tidak patut yang akhirnya menjadi konsumsi publik.

Saat ini banyak sekali permasalahan disfungsi etika. Parahnya, terkadang hal itu tidak disadari. Bahkan kita melihat sendiri di layar kaca bagaimana elite politik yang tersandung kasus korupsi dengan gagahnya tersenyum sambil melambaikan tangan ketika disorot kamera televisi. Seolah mereka tidak sedikitpun merasa bersalah. Sungguh logika sudah tidak bermain lagi di negeri ini. Batas antara kebenaran dan hipokritisme dalam politik sudah tidak jelas. Meski demikian, berbagai kasus disfungsi etika yang terjadi tersebut semakin mengukuhkan politik sebagai sebuah perjuangan untuk merebut kekuasaan. Akibatnya, elite pun menerabas semua hal, termasuk etika agar tujuan politiknya tercapai. Padahal, seperti kata Plato, masalah etika ini sangat penting agar pelaku pemerintahan dapat membedakan mana perilaku yang baik dan buruk, serta perbuatan yang benar dan salah.

Malu
Selain hilangnya rasa malu ketika elite politik menjadi tersangka korupsi, hal lain yang kerap menjadi masalah adalah kurangnya kepekaan pada krisis para wakil rakyat negeri ini. Mereka malah berkali-kali melakukan studi banding ke luar negeri setiap kali akan melakukan pembahasan sebuah RUU. Dengan mengatasnamakan rakyat, uang rakyat pun dihambur-hamburkan di luar negeri. Kritik dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di negeri tujuan tak mempan. Padahal banyak cara untuk menghemat APBN tanpa studi banding. Di zaman canggih saat ini, apa pun tersedia di dunia maya. Kalau anggota Dewan-nya tidak terbiasa main Internet, tinggal beri perintah kepada staf ahlinya. Atau bisa juga wakil rakyat kita yang meminta delegasi dari negara lain yang datang, khususnya yang berkaitan dengan substansi RUU yang akan dibahas bersama pemerintah.

Rasa malu yang semakin hilang ini juga tampak dari perilaku pejabat publik kita. Setidaknya sudah dua kali insiden pemukulan terhadap insan dunia penerbangan terjadi. Kasus pertama ketika seorang pejabat Provinsi Babel memukul pramugari Sriwijaya Air. Kasus kedua, ketika Wakil Bupati Kabupaten Jayawijaya John R. Banua dan beberapa orang lainnya diduga memukul Kepala Bandara Wamena, Junikar Pakondo (Minggu, 7 Juli 2013). Dua kasus ini memperlihatkan perilaku para pejabat publik yang sangat tidak patut dicontoh.

Masalah etika sungguh telah menjadi sebuah masalah besar bangsa saat ini. Perihal rasa malu ini, sangat jarang kita melihat ada pejabat yang mau mundur dari jabatannya, karena merasa malu atas kegagalan menjalankan tugasnya. Apa yang pernah ditunjukkan oleh Andi Mallarangeng dengan mundur dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga layak kita apresiasi. Begitu pula dengan keputusan mundur Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Chairil Anwar Notodiputro, berkaitan dengan kisruh pelaksanaan ujian nasional. Mundur karena merasa gagal bukanlah suatu hal yang memalukan. Justru sikap tak mau mundur meskipun sudah terbukti gagal mengemban tugas adalah sikap tidak kesatria dan memalukan. Apalagi jika berlindung di balik kalimat, “Saya hanya bersedia mundur jika yang memberhentikan adalah atasan yang mengangkat saya.”

Di negara kita, masalah pelanggaran etika selalu menjadi perdebatan hangat. Ketidaktegasan sanksi yang diberikan membuat pelanggar kode etik tidak jera. Kita ambil contoh perilaku anggota DPR yang sering membolos. Bahkan daftar hadir para pembolos sudah dipublikasikan Badan Kehormatan (BK) DPR ke publik. Tapi apakah perilaku membolos akan berkurang atau tidak, semuanya bergantung pada kesadaran anggota DPR sendiri. Salah satu solusinya adalah pemberian sanksi tegas, bukan sekadar wacana sanksi administratif berupa pengenaan denda uang. Peraturan Kode Etik DPR Tahun 2011 sudah mengatur bahwa mereka yang tidak hadir dalam rapat paripurna enam kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas dianggap melanggar kejujuran dan kedisiplinan. BK harus berani merekomendasikan kepada fraksi sebagai perpanjangan tangan partai untuk memecat anggota DPR yang nakal.

Pernyataan
Satu hal lagi yang perlu kita cermati adalah pernyataan para pejabat publik kita yang sering bersayap. Di satu sisi membela kepentingan publik, di sisi lain terkesan membela kepentingan pihak lain, misalnya pengusaha. Contoh terbaru, semua orang tahu bahwa Jakarta sudah sangat macet. Tapi pemerintah pusat malah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif, yakni regulasi mobil murah hijau (LGCC). Ini sangat tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang justru sedang berupaya menciptakan sarana transportasi massal seperti MRT.

Dalih para pejabat terkait adalah untuk menciptakan daya saing industri nasional dan meningkatkan investasi. Sudah adakah konsep pengaturan di lapangan karena LGCC harus menggunakan bahan bakar non-subsidi? Ini mengingat produksi LGCC versi Kementerian Perindustrian diperkirakan pada 2013 saja akan mencapai 75 ribu unit. Sedangkan kemarin saja, saat memutuskan berbagai opsi kenaikan harga BBM, pemerintah galau setengah mati. Nugroho (2008) pernah mengatakan bahwa pernyataan pejabat publik juga bisa dikategorikan sebagai kebijakan publik. Karena itu, ucapan pejabat publik harus berisikan kebenaran (fakta), konsisten, dan sudah dikomunikasikan terlebih dulu dengan struktur di bawahnya. Kemudian, apabila pernyataan masih bersifat konsep, dia harus menegaskan bahwa apa yang dia ucapkan masih sebatas konsep. Ini perlu dilakukan para pejabat publik agar masyarakat tidak bingung membedakan antara fakta dan opini.

Terakhir, agar tidak ada lagi disfungsi etika para elite, masyarakat dapat bersikap sekaligus memberikan sanksi. Jangan gampang percaya kepada janji manis elite politik, dan jangan pilih elite pembohong pada Pemilu 2014 mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar