|
REPUBLIKA,
26 Juli 2013
Telekomunikasi
merupakan sektor yang krusial dalam menyokong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Pentingnya sektor telekomunikasi untuk pertumbuhan ekonomi disadari oleh
pemerintah dan telah dituangkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam setiap rancangan strategis
pembagian koridor ekonomi Indonesia dirancangan strategis tersebut, pembangunan
infrastruktur telekomunikasi dan telematika merupakan hal yang sangat penting untuk
mendukung pembangunan sektor lainnya.
Selain
itu, berdasarkan laporan dari Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI),
penetrasi seluler tercatat se- besar 120 persen, jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan Cina, yang tercatat hanya sebesar 70 persen. Pertumbuhan penetrasi yang
pesat ini tentu harus didukung pula dengan pembangunan infrastuktur yang lebih
baik. Pembangunan infrastruktur membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Menurut Kadin, Indonesia paling tidak membutuhkan dana lebih dari Rp 242
triliun hanya untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
Dalam
laporan terakhir yang dikeluarkan oleh Dirjen Postel pada 2011, pembangunan
infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum merata, dengan pasokan yang
kurang pada daerah pedesaan namun berlebihan pada daerah perkotaan. Kebutuhan
ini membuat Pemerintah Indonesia perlu untuk bekerja sama dengan entitas bisnis
(baca: pihak swasta) dalam pembangunannya. Namun, pihak swasta, baik
lokal mau pun asing, memiliki kesulitan masing-masing untuk dapat membangun
infrastruktur telekomunikasi. Pihak lokal sering kali terbentur persoalan dalam
mendapatkan dukungan likuiditas dari perbankan maupun lembaga keuangan
disebabkan kelangsungan dan potensi keuntungan dari bisnis ini belum dipercaya. Di
sisi lain, banyak investor dan pemodal asing yang ingin memberikan modalnya
untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Namun, tidak sedikit
yang urung memberikan bantuan modal karena terganjal persoalan kepastian hukum
di negara ini.
Masalah
kepastian hukum dalam melakukan bisnis di Indonesia sudah menjadi buah bibir
yang terus dilontarkan oleh banyak sekali kalangan pengusaha. Tidak hanya
pengusaha, namun pejabat publik di luar negeri pun turut menyatakan
kekhawatirannya akan kepastian hukum bagi pengusaha di negeri ini. Menteri
Muda Urusan Luar Negeri Singapura Masagos Zulkifli pernah mengatakan bahwa
Indonesia sebaiknya belajar dari Cina dalam hal menghormati dan memberikan
kepastian hukum pada para pelaku bisnis. Sebuah reputasi yang tentunya tidak
ingin kita pelihara.
Kasus
terbaru yang dapat menggambarkan ketidakpastian hukum di Indonesia adalah kasus
Indosat-IM2, di mana mantan dirut IM2 Indar Atmanto dijatuhi hukuman empat
tahun penjara beserta denda ratusan juta rupiah, dan IM2 sebagai korporasi juga
dikenai denda sebesar Rp 1,3 triliun. Putusan yang mengejutkan bagi para pelaku
dan pengamat industri telekomunikasi karena perjanjian kerja sama yang
dipersoalkan dinilai tidak melanggar aturan sama sekali oleh lembaga regulator
(Kominfo) sedari awal.
Interpretasi
aturan yang berbeda antara badan regulator dan penegak hukum inilah yang
menjadi kelemahan dalam melakukan investasi di negara ini. Jangan sampai hukum
yang sudah benar menjadi membingungkan kala lembaga pemerintah dan lembaga
hukum memiliki interpretasi berbeda mengenai hal tersebut. Jika begitu
adanya, siapa yang nantinya berani untuk menanamkan modal untuk industri ini?
Ke depannya juga bukan tidak mungkin MP3EI hanya berdiri sebagai wacana
strategis karena pelaksanaannya terhambat oleh ketidakpastian hukum yang ada.
Ironisnya,
di tengah kebutuhan pembangunan infrastruktur di dalam negeri, pemodal yang
mampu justru ada yang menanamkan modalnya di luar negeri untuk pembangunan
infrastruktur telekomunikasi. Dengan penandatanganan nota kesepahaman pada 2012
lalu, salah satu perusahaan telekomunikasi Indonesia berinvestasi untuk
pembangunan ribuan BTS (menara pemancar) di Afrika Selatan. Hal ini tentu
harus menjadi bahan renungan bagi pemerintah, mengapa di luar negeri dan
bukannya di Indonesia?
Negara
ini masih sangat membutuhkan modal untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi
dan potensi usaha di bidang ini juga sangat besar, namun peluang besar seperti
itu juga ternyata tidak cukup untuk meyakinkan investor untuk menanamkan
modalnya di negeri sendiri. Terlepas dari kepentingan bisnis para investor,
persoalan mengenai kepastian hukum merupakan pekerjaan rumah yang tidak bisa
lagi ditunda-tunda. Benang kusut yang telanjur ada harus segera terurai demi
tercapainya rencana strategis pembangunan ekonomi nasional yang sudah dibuat
oleh pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar