Selasa, 30 Juli 2013

Hukum dan Sarana Telekomunikasi

Hukum dan Sarana Telekomunikasi
Agus Pambagio ;  Pengamat Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen 
REPUBLIKA, 26 Juli 2013


Telekomunikasi merupakan sektor yang krusial dalam menyokong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pentingnya sektor telekomunikasi untuk pertumbuhan ekonomi disadari oleh pemerintah dan telah dituangkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam setiap rancangan strategis pembagian koridor ekonomi Indonesia dirancangan strategis tersebut, pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan telematika merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung pembangunan sektor lainnya.

Selain itu, berdasarkan laporan dari Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), penetrasi seluler tercatat se- besar 120 persen, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Cina, yang tercatat hanya sebesar 70 persen. Pertumbuhan penetrasi yang pesat ini tentu harus didukung pula dengan pembangunan infrastuktur yang lebih baik. Pembangunan infrastruktur membutuhkan dana yang tidak sedikit. Menurut Kadin, Indonesia paling tidak membutuhkan dana lebih dari Rp 242 triliun hanya untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi. 

Dalam laporan terakhir yang dikeluarkan oleh Dirjen Postel pada 2011, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum merata, dengan pasokan yang kurang pada daerah pedesaan namun berlebihan pada daerah perkotaan. Kebutuhan ini membuat Pemerintah Indonesia perlu untuk bekerja sama dengan entitas bisnis (baca: pihak swasta) dalam pembangunannya.  Namun, pihak swasta, baik lokal mau pun asing, memiliki kesulitan masing-masing untuk dapat membangun infrastruktur telekomunikasi. Pihak lokal sering kali terbentur persoalan dalam mendapatkan dukungan likuiditas dari perbankan maupun lembaga keuangan disebabkan kelangsungan dan potensi keuntungan dari bisnis ini belum dipercaya. Di sisi lain, banyak investor dan pemodal asing yang ingin memberikan modalnya untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Namun, tidak sedikit yang urung memberikan bantuan modal karena terganjal persoalan kepastian hukum di negara ini. 

Masalah kepastian hukum dalam melakukan bisnis di Indonesia sudah menjadi buah bibir yang terus dilontarkan oleh banyak sekali kalangan pengusaha. Tidak hanya pengusaha, namun pejabat publik di luar negeri pun turut menyatakan kekhawatirannya akan kepastian hukum bagi pengusaha di negeri ini. Menteri Muda Urusan Luar Negeri Singapura Masagos Zulkifli pernah mengatakan bahwa Indonesia sebaiknya belajar dari Cina dalam hal menghormati dan memberikan kepastian hukum pada para pelaku bisnis. Sebuah reputasi yang tentunya tidak ingin kita pelihara. 

Kasus terbaru yang dapat menggambarkan ketidakpastian hukum di Indonesia adalah kasus Indosat-IM2, di mana mantan dirut IM2 Indar Atmanto dijatuhi hukuman empat tahun penjara beserta denda ratusan juta rupiah, dan IM2 sebagai korporasi juga dikenai denda sebesar Rp 1,3 triliun. Putusan yang mengejutkan bagi para pelaku dan pengamat industri telekomunikasi karena perjanjian kerja sama yang dipersoalkan dinilai tidak melanggar aturan sama sekali oleh lembaga regulator (Kominfo) sedari awal. 

Interpretasi aturan yang berbeda antara badan regulator dan penegak hukum inilah yang menjadi kelemahan dalam melakukan investasi di negara ini. Jangan sampai hukum yang sudah benar menjadi membingungkan kala lembaga pemerintah dan lembaga hukum memiliki interpretasi berbeda mengenai hal tersebut. Jika begitu adanya, siapa yang nantinya berani untuk menanamkan modal untuk industri ini? Ke depannya juga bukan tidak mungkin MP3EI hanya berdiri sebagai wacana strategis karena pelaksanaannya terhambat oleh ketidakpastian hukum yang ada.

Ironisnya, di tengah kebutuhan pembangunan infrastruktur di dalam negeri, pemodal yang mampu justru ada yang menanamkan modalnya di luar negeri untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Dengan penandatanganan nota kesepahaman pada 2012 lalu, salah satu perusahaan telekomunikasi Indonesia berinvestasi untuk pembangunan ribuan BTS (menara pemancar) di Afrika Selatan. Hal ini tentu harus menjadi bahan renungan bagi pemerintah, mengapa di luar negeri dan bukannya di Indonesia? 


Negara ini masih sangat membutuhkan modal untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan potensi usaha di bidang ini juga sangat besar, namun peluang besar seperti itu juga ternyata tidak cukup untuk meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di negeri sendiri. Terlepas dari kepentingan bisnis para investor, persoalan mengenai kepastian hukum merupakan pekerjaan rumah yang tidak bisa lagi ditunda-tunda. Benang kusut yang telanjur ada harus segera terurai demi tercapainya rencana strategis pembangunan ekonomi nasional yang sudah dibuat oleh pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar