|
JAWA
POS, 25 Juli 2013
PENJARA tak
pernah habis menyedot perhatian masyarakat. Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta
tak hanya mengagetkan, tapi juga menguras air mata karena jatuhnya korban.
Media lalu dihangatkan oleh berita permintaan bilik asmara oleh Septi
Sanustika, istri Ahmad Fathanah, terdakwa kasus suap kuota daging impor. Kasus
kaburnya tahanan di Batam juga menyusul jadi kabar menyentak.
Penjara sebagai sebuah lingkungan yang tertutup dan "misterius" memang memancing keingintahuan banyak orang. Padahal, bagi saya sebagai narapidana yang pernah tinggal di penjara, saya merasa kehidupan di penjara hampir tidak beda dengan dunia di luar penjara. Hanya ada sedikit saja perbedaan. Di dunia luar penjara ada orang yang hidup mewah, berkecukupan, dan miskin. Demikian pula halnya di penjara, ada tahanan yang hidup "mewah", berkecukupan, dan ada pula yang hidup serbakurang.
Penjara sebenarnya hanya menampilkan sisi-sisi dari dunia ini pada umumnya yang kadang luput dari perhatian kita. Tapi, karena lingkungan penjara yang kecil dan tertutup, kejadian-kejadian tampak dramatisir hingga membuat orang terheran-heran. Contoh, banyak orang heran melihat tahanan yang bisa hidup mewah. Tapi, banyak orang tak heran, setidaknya memaklumi, jika ada aparat negara yang bergaji pas-pasan juga bisa hidup mewah.
Menurut saya, kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta merupakan cermin masyarakat kita pula. Ada banyak kerusuhan yang terjadi di luar penjara. Latar belakangnya nyaris sama, yaitu tekanan hidup dan merasa tidak diperlakukan adil.
Penjara yang tak ubahnya dunia luar penjara membuat orang tidak jera untuk masuk penjara. Tak heran penjara sering diistilahkan sebagai sekolah para penjahat. Pertama masuk penjara punya "ijazah SD", setelah keluar penjara punya "ijazah SMU". Jika berkali-kali masuk penjara bisa menjadi profesor atau penjahat kelas kakap.
Saya sendiri berharap penjara bisa menjadi semacam pesantren. Di sana kita tak boleh keluar masuk seenaknya. Kehidupan diatur dengan disiplin ketat. Makan pun dijatah. Boleh beli makanan, tapi dibatasi. Dan yang terpenting, sebagaimana santri yang lulus dari pesantren, penghuni penjara bila bebas diharapkan jadi orang yang lebih baik.
Maka, tepatlah bila para tahanan disebut warga binaan. Sebab, di situlah mereka dibina akan kembali ke jalan yang lurus. Ini sesuai dengan tulisan besar yang terpampang di hampir semua penjara. "Kami Bukan Penjahat tapi Hanya Orang-orang yang Tersesat". Memang ada tahanan yang berkali-kali tersesat. Bahkan, ada tahanan yang menyesatkan tahanan lain atau menularkan ilmu kejahatannya. Merekalah yang mesti ditempatkan di penjara khusus seperti Lapas Nusa Kambangan.
Karena diharapkan bisa seperti pesantren, penjara harus dikelola oleh orang yang bermental kiai. Bukan bermental pengusaha. Apalagi pengusaha nakal yang hanya memikirkan keuntungan sebesar-besarnya. Tengoklah penjara (rutan) Gayus Tambunan dulu. Dengan fasilitas seadanya, "sang pengelola" penjara mematok tarif ratusan juta. Penjara diubah jadi hotel termahal di dunia. Jangankan soal tata-tertib atau jatah makan. Gayus pun pulang dan pergi semaunya. Seolah para sipir disuruh menunggu sambil berkaraoke lagu melankolis. Kau datang dan pergi sesuka hatimuuuu...
Saat tahu Gayus ternyata ke luar negeri, para penjaga (bawahan) hanya bisa marah. Tapi, apa mau dikata jerat hukum ada di depan mata. Jika mau, para penjaga hanya bisa melanjutkan bersenandung... Oh, kejamnya dikau padaku. Sakitnya hati ini... tapi aku rindu.
Penjara yang selama ini membuat takut dan jera banyak orang lambat-laun telah kehilangan keangkerannya. Media beberapa kali memberitakan sel kamar sejumlah koruptor yang cenderung mewah. Tapi, para koruptor itu tak bisa disalahkan. Sebab, mereka ingin menyamakan fasilitas kamar dengan sejumah uang yang telah dikucurkan. Dan jangan kaget jika kelak ada pecandu narkoba lebih suka dipenjara dari pada bebas bekeliaran di luar. Sebab, narkoba mudah ditemukan di sana. Polisi pun sulit untuk menjamahnya.
Tak hanya itu, seorang wali kota yang jadi tersangka kasus korupsi bahkan melantik para stafnya di lingkungan penjara. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi usai pelantikan itu. Apakah mereka beramah tamah sambil makan nasi cadong (jatah makan di penjara yang lauknya seadanya) bersama-sama?
Terlepas dari sejumlah pemberitaan miring tentang penjara di negeri ini, dalam bulan Ramadan yang penuh berkah ini, saya teringat saat-saat menjalankan ibadah puasa dalam penjara. Berbagi makanan sahur dan buka puasa dengan teman-teman satu sel. Saat itu saya beruntung karena diizinkan salat Tarawih berjamaah di masjid. Dari sejumlah blok penjara, saya juga mendengar suara imam memimpin salat Tarawih. Suara mereka terdengar bersahut-sahutan. Tak beda dengan dunia di luar penjara. Sebagaimana orang-orang di luar penjara yang umumnya bergembira menyambut Lebaran, para tahanan yang akan menerima remisi Lebaran pun tampak gembira.
Saya berharap tak ada lagi polemik tentang remisi. Tak ada lagi kerusuhan di penjara yang berujung pada kesedihan. Agar para tahanan di dalam penjara juga bisa merasakan kegembiraan di hari nan Fitri sebagaimana di dunia luar sana. ●
Penjara sebagai sebuah lingkungan yang tertutup dan "misterius" memang memancing keingintahuan banyak orang. Padahal, bagi saya sebagai narapidana yang pernah tinggal di penjara, saya merasa kehidupan di penjara hampir tidak beda dengan dunia di luar penjara. Hanya ada sedikit saja perbedaan. Di dunia luar penjara ada orang yang hidup mewah, berkecukupan, dan miskin. Demikian pula halnya di penjara, ada tahanan yang hidup "mewah", berkecukupan, dan ada pula yang hidup serbakurang.
Penjara sebenarnya hanya menampilkan sisi-sisi dari dunia ini pada umumnya yang kadang luput dari perhatian kita. Tapi, karena lingkungan penjara yang kecil dan tertutup, kejadian-kejadian tampak dramatisir hingga membuat orang terheran-heran. Contoh, banyak orang heran melihat tahanan yang bisa hidup mewah. Tapi, banyak orang tak heran, setidaknya memaklumi, jika ada aparat negara yang bergaji pas-pasan juga bisa hidup mewah.
Menurut saya, kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta merupakan cermin masyarakat kita pula. Ada banyak kerusuhan yang terjadi di luar penjara. Latar belakangnya nyaris sama, yaitu tekanan hidup dan merasa tidak diperlakukan adil.
Penjara yang tak ubahnya dunia luar penjara membuat orang tidak jera untuk masuk penjara. Tak heran penjara sering diistilahkan sebagai sekolah para penjahat. Pertama masuk penjara punya "ijazah SD", setelah keluar penjara punya "ijazah SMU". Jika berkali-kali masuk penjara bisa menjadi profesor atau penjahat kelas kakap.
Saya sendiri berharap penjara bisa menjadi semacam pesantren. Di sana kita tak boleh keluar masuk seenaknya. Kehidupan diatur dengan disiplin ketat. Makan pun dijatah. Boleh beli makanan, tapi dibatasi. Dan yang terpenting, sebagaimana santri yang lulus dari pesantren, penghuni penjara bila bebas diharapkan jadi orang yang lebih baik.
Maka, tepatlah bila para tahanan disebut warga binaan. Sebab, di situlah mereka dibina akan kembali ke jalan yang lurus. Ini sesuai dengan tulisan besar yang terpampang di hampir semua penjara. "Kami Bukan Penjahat tapi Hanya Orang-orang yang Tersesat". Memang ada tahanan yang berkali-kali tersesat. Bahkan, ada tahanan yang menyesatkan tahanan lain atau menularkan ilmu kejahatannya. Merekalah yang mesti ditempatkan di penjara khusus seperti Lapas Nusa Kambangan.
Karena diharapkan bisa seperti pesantren, penjara harus dikelola oleh orang yang bermental kiai. Bukan bermental pengusaha. Apalagi pengusaha nakal yang hanya memikirkan keuntungan sebesar-besarnya. Tengoklah penjara (rutan) Gayus Tambunan dulu. Dengan fasilitas seadanya, "sang pengelola" penjara mematok tarif ratusan juta. Penjara diubah jadi hotel termahal di dunia. Jangankan soal tata-tertib atau jatah makan. Gayus pun pulang dan pergi semaunya. Seolah para sipir disuruh menunggu sambil berkaraoke lagu melankolis. Kau datang dan pergi sesuka hatimuuuu...
Saat tahu Gayus ternyata ke luar negeri, para penjaga (bawahan) hanya bisa marah. Tapi, apa mau dikata jerat hukum ada di depan mata. Jika mau, para penjaga hanya bisa melanjutkan bersenandung... Oh, kejamnya dikau padaku. Sakitnya hati ini... tapi aku rindu.
Penjara yang selama ini membuat takut dan jera banyak orang lambat-laun telah kehilangan keangkerannya. Media beberapa kali memberitakan sel kamar sejumlah koruptor yang cenderung mewah. Tapi, para koruptor itu tak bisa disalahkan. Sebab, mereka ingin menyamakan fasilitas kamar dengan sejumah uang yang telah dikucurkan. Dan jangan kaget jika kelak ada pecandu narkoba lebih suka dipenjara dari pada bebas bekeliaran di luar. Sebab, narkoba mudah ditemukan di sana. Polisi pun sulit untuk menjamahnya.
Tak hanya itu, seorang wali kota yang jadi tersangka kasus korupsi bahkan melantik para stafnya di lingkungan penjara. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi usai pelantikan itu. Apakah mereka beramah tamah sambil makan nasi cadong (jatah makan di penjara yang lauknya seadanya) bersama-sama?
Terlepas dari sejumlah pemberitaan miring tentang penjara di negeri ini, dalam bulan Ramadan yang penuh berkah ini, saya teringat saat-saat menjalankan ibadah puasa dalam penjara. Berbagi makanan sahur dan buka puasa dengan teman-teman satu sel. Saat itu saya beruntung karena diizinkan salat Tarawih berjamaah di masjid. Dari sejumlah blok penjara, saya juga mendengar suara imam memimpin salat Tarawih. Suara mereka terdengar bersahut-sahutan. Tak beda dengan dunia di luar penjara. Sebagaimana orang-orang di luar penjara yang umumnya bergembira menyambut Lebaran, para tahanan yang akan menerima remisi Lebaran pun tampak gembira.
Saya berharap tak ada lagi polemik tentang remisi. Tak ada lagi kerusuhan di penjara yang berujung pada kesedihan. Agar para tahanan di dalam penjara juga bisa merasakan kegembiraan di hari nan Fitri sebagaimana di dunia luar sana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar