|
KORAN
TEMPO, 26 Juli 2013
Sejak pertengahan Juli lalu, nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS telah menembus level 10 ribu per dolar. Belakangan, rupiah semakin
melemah dan ketika tulisan ini dibuat (24 Juli) sudah mencapai 10.260 per dolar
AS. Ironisnya, pelemahan rupiah ini terjadi justru pada saat mata uang lainnya
di kawasan menguat.
Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II-2013 yang diterbitkan
Bank Indonesia (BI) Juli 2013 menyebutkan bahwa, selama Triwulan II-2013,
secara point-to-point, rupiah melemah sebesar 2,09 persen (qtq) menjadi 9.925
per dolar. BI menyebutkan bahwa pelemahan rupiah ini sesuai dengan nilai
fundamentalnya. BI tidak secara eksplisit menyebutkan maksud dari pernyataan
"telah sesuai dengan nilai fundamentalnya" itu. Saya menafsirkan
bahwa BI menganggap pelemahan rupiah tersebut sebagai hal yang wajar bila
dikaitkan dengan kondisi ekonomi kita saat ini.
Fundamental ekonomi Indonesia sesungguhnya cukup baik,
meski trennya melemah. Pertumbuhan ekonomi pada 2013 diperkirakan masih cukup
tinggi di kisaran 5,8-6,2 persen, namun lebih rendah dari perkiraan sebelumnya
6,2-6,6 persen. Penurunan kinerja perekonomian tersebut disebabkan oleh belum
kuatnya ekspor sejalan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas global
yang masih lemah. Konsumsi rumah tangga dan investasi juga diperkirakan sedikit
tertahan sebagai dampak menurunnya daya beli akibat belum kuatnya permintaan
ekspor dan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Pertanyaannya, apakah rupiah yang kini berada di atas
10.260 per dolar AS juga dapat dinyatakan sebagai "telah sesuai dengan
fundamentalnya"? Tampaknya, ini perlu dikaji lebih mendalam. Namun saya
berkeyakinan bahwa pelemahan rupiah dalam beberapa minggu terakhir rasanya
terlalu masif. Terlebih, pelemahan rupiah ini terjadi pada saat mata uang
kawasan lainnya justru menguat. Patut diduga, ada faktor lain yang menjadi
pendorong (trigger) di balik pelemahan rupiah yang cukup masif ini.
Pelemahan rupiah dalam sebulan terakhir ini mulanya dipicu
oleh sentimen sial rencana pengurangan (tapering
off) stimulus moneter, atau yang sering dikenal sebagai Quantitative Easing Jilid III, oleh bank
sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The
Fed). Rencana The Fed ini telah
menimbulkan over-reaction dan
berakibat penguatan dolar AS dan pelemahan mata uang emerging markets (termasuk Indonesia). Seperti halnya mata uang
lainnya di kawasan Asia, pelemahan rupiah dipengaruhi penyesuaian kepemilikan
non-residen di aset keuangan domestik.
Dengan maksud untuk mencegah rupiah semakin melemah, BI
menetapkan kenaikan BI Rate hingga 50 basis point pada pertengahan Juli
sehingga menjadi 6,50 persen. Sayangnya, respons pasar justru terbalik dengan
ekspektasi BI. Rupiah justru semakin melemah. Kenaikan BI Rate sebesar 50 basis
point sangat mengejutkan pasar. Pasar melihat BI sangat hawkish (pro-moneter ketat) melebihi ekspektasi pasar yang mengharapkan
kenaikan BI Rate hanya 25 basis point seperti pada Juni lalu.
Pertanyaannya, apakah BI Rate dapat diturunkan lagi saat
ini? Dengan melihat perkembangan internal dan eksternal saat ini, kecil
kemungkinan BI Rate dapat turun di bawah 6,50 persen tahun ini. Tekanan inflasi
sudah telanjur tinggi. Di sisi lain, menarik dana asing semakin sulit,
sedangkan saat ini posisi cadangan devisa tinggal US$ 98 miliar. BI sudah
telanjur memberi "rangsangan" bunga tinggi untuk menarik dana asing.
Bila BI Rate tiba-tiba diturunkan, berarti dana asing portofolio akan enggan
masuk. Bahkan yang sudah masuk pun bisa keluar secara tiba-tiba (sudden capital reversal).
Prospek perkreditan
Kenaikan BI Rate akan mendorong kenaikan imbal hasil (yield) dari setiap surat berharga yang
diterbitkan. Kini, berdasarkan data dari Asian Bonds Online per 24 Juli 2013,
Indonesia menjadi negara dengan kenaikan yield Surat Berharga Negara (SBN)
tertinggi di Asia, yakni 223,9 basis point (ytd) menjadi 7,78 persen. Dengan
yield SBN yang relatif lebih tinggi (dengan kata lain: harga yang lebih murah)
dibanding obligasi negara-negara emerging markets maupun Asia lainnya, tentunya
wajar bila banyak investor asing memburunya.
Di tengah efektivitasnya dalam menarik dana asing masuk yang
masih diragukan, kenaikan BI Rate ini jelas menjadi pukulan yang cukup telak
bagi perbankan. Kenaikan BI Rate pastinya akan mendorong perebutan dana,
khususnya bagi bank kecil, menjadi kian ketat. Implikasinya, biaya dana menjadi
kian mahal sehingga berpotensi menaikkan suku bunga kredit dan menahan laju
kredit.
Perlu diketahui, sejak 1 November 2010, BI telah
mengeluarkan kebijakan baru melalui PBI Nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib
Minimum (GWM). Kebijakan ini pada intinya menekankan pada dua hal, yaitu (i)
peningkatan GWM primer dalam rupiah dari 5 persen menjadi 8 persen dari total
dana pihak ketiga (DPK) dan mengenakan aturan GWM tambahan (sekunder) sebesar
2,5 persen dari total DPK bagi bank yang loan
to deposit (LDR)-nya kurang dari 78 persen atau lebih dari 100 persen.
Melalui ketentuan GWM ini, bank dituntut untuk meningkatkan
pertumbuhan kreditnya. Bila LDR di bawah 78 persen, bank akan memperoleh
"penalti" berupa kewajiban menambah GWM-nya sebesar 2,5 persen dari
total DPK. Namun, di saat yang sama, bank juga dituntut untuk meningkatkan
DPK-nya. Sebab, peningkatan laju kredit tanpa diiringi peningkatan DPK pasti
akan mengerek LDR menjadi tinggi, di atas 100 persen dari DPK. Implikasinya,
bila LDR di atas 100 persen dari DPK, bank pun akan kena penalti GWM tambahan
sebesar 2,5 persen dari DPK.
Ketentuan GWM ini jelas memberatkan perbankan, khususnya
bank-bank kecil yang sedang berupaya meningkatkan laju kreditnya. Sulitnya
memobilisasi dana, khususnya dana murah, dapat membuat mereka terpaksa menahan
laju ekspansi kreditnya. Sebab, bila laju kredit dibiarkan tinggi tanpa
diimbangi laju pendanaan yang seimbang, hal ini akan mendorong posisi LDR
mereka di atas 100 persen dari DPK. Padahal LDR yang melebihi 100 persen belum
tentu mencerminkan bank berpotensi mengalami masalah likuiditas. Bisa jadi,
bank memang memiliki masalah dengan DPK, tetapi bank terkait memiliki modal
yang cukup sehingga likuiditas bank tidak bermasalah.
Menghadapi situasi yang dilematis ini, tentunya harus
dipikirkan jalan tengahnya: agar kepentingan BI dan bank sama-sama terpenuhi.
Saya mengusulkan dua hal. Pertama, BI ataupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
nantinya perlu mempertimbangkan rasio lain yang lebih fair sebagai ukuran
likuiditas selain LDR. Kedua, BI atau OJK juga dapat membuat kebijakan LDR yang
berbeda di antara kelas bank. Bank kecil, dengan kemampuan mobilisasi simpanan
yang relatif lebih kecil, tentunya tidak fair bila harus dituntut memenuhi
ketentuan LDR yang sama dengan bank besar. BI dapat membuat kebijakan LDR yang
berbeda, misalnya berdasarkan kelompok bank menurut besarnya modal
mereka.
Dengan menggunakan pendekatan rasio LDR atau LFR yang lebih
fair ini, saya kira bank-bank kecil memiliki peluang untuk tetap tumbuh bersama
bank-bank besar. Dan BI pun dapat tetap menjaga kepentingannya: menstabilkan
nilai tukar rupiah dan inflasi melalui kebijakan BI Rate-nya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar