Rabu, 31 Juli 2013

Ramadan Menempa Lahirnya Pemimpin Bangsa

Ramadan Menempa Lahirnya Pemimpin Bangsa
Khatibul Umam Wiranu ;  Anggota Komisi II DPR
KORAN SINDO, 30 Juli 2013



OPTIMALISASI ibadah di bulan Ramadan tentu tak sekadar dimaknai secara privat sebagai totalitas penghambaan kepada Allah (ubudiyah). Substansi yang tak boleh dilupakan dalam Ramadan adalah nilai keprihatinan merasakan penderitaan fakir miskin, anak yatim, dan masyarakat yang masih jauh dari kategori layak hidup.

Derajat Ramadan di ruang sosial inilah justru menjadi pesan profetik yang niscaya direalisasikan oleh setiap mukmin. Pesan profetik dalam konteks kearifan sosial ini, segaris dengan peran manusia sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatun fil ardhi). Karena itu, pengendalian diri, kesabaran, dan kejujuran menjadi bagian integral dari aspek-aspek penempaan diri di kawah candradimuka Ramadan.

Terjadi integrasi proporsional antara kepekaan sosial dan dimensi penempaan diri itu dalam konteks melahirkan sosok pemimpin transformasional. Dari momentum penempaan diri di bulan Ramadan ini, kita sangat optimistis akan mampu lahir kaderkader pemimpin dengan mentalitas transformasional, dengan catatan jika spirit Ramadan dibawa terus-menerus hingga datangnya Ramadan tahun depan.

Dan, demikian seterusnya. Tipologi pemimpin transformasional ini memang susah dicari, tetapi memang harus dilahirkan. Hanya kondisilah yang melahirkan pemimpin semacam ini. Dan sekali lagi, Ramadan adalah kondisi yang potensial bagi lahirnya generasi pemimpin masa depan, yakni pemimpin yang bertipe transformasional tersebut.

Karakter kepemimpinan ini akan menghasilkan perubahan ke arah lebih luas, tinggi, dan mendalam. Kata kunci dari segenap keputusan adalah berapa jauh sebanyak mungkin pihak mengalami pertumbuhan. Dia adalah seorang pemimpin yang mampu mengantarkan rakyatnya ke dalam suatu kesadaran yang lebih tinggi dan dinamis.

Kelebihan-kelebihan kepemimpinan transformasional dan kaitannya dengan paradigma-paradigma kekinian dikemukakan berbagai kalangan. Para pengembang teori kepemimpinan mengidentifikasi pendekatan transformatif sebagai pendekatan kepemimpinan abad ke-21.

Dalam konteks tersebut, kepemimpinan transformatif digambarkan sebagai bentuk kepemimpinan yang mampu meningkatkan komitmen stafnya, mengomunikasikan suatu visi dan implementasinya, memberikan kepuasan dalam bekerja, dan mengembangkan fokus yang berorientasi pada rakyat. Lantas, seperti apa konstruksi tipologis pemimpin transformasional itu?

Pertama, transformasi spiritual. Spiritualitas adalah “kekuatan dalam” (inner power) yang menggerakkan seorang pemimpin agar konsisten merambah jalan kebenaran.

Rancang bangun peradaban sebuah bangsa akan semakin kukuh bila desain oleh pemimpin dengan kecerdasan spiritual tinggi. Sebaliknya, keruntuhan sebuah peradaban dilatari oleh faktor hilangnya dimensi spiritualitas pemimpinnya.

Danah Zohar membuktikan, kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) akan berdampak pada kecerdasan pikir, ketenangan sikap, dan pembentukan karakter seorang pemimpin.

Kedua, transformasi intelektual. Ia sejatinya adalah pengayaan diri (personal ability) yang mutlak dimiliki oleh pemimpin. Seorang pemimpin transformatif niscaya berkemampuan multidisipliner dan berpengetahuan luas.

Ketiga, transformasi keberpihakan sosial. Kecermatan dan kejelian membaca realitas sosiokultural rakyat dengan serangkaian perbedaan background dibutuhkan untuk mengasah kepekaan krisis (sense of crisis) dan kearifan sosial (social wisdom). Ini akan membentuk karakter pemimpin yang benar-benar mempunyai kesadaran sosial (social consciousness) tinggi.

Keempat, transformasi transnasional. Di mata negara lain, daya tawar Indonesia merosot drastis. Prestasi internasional yang pernah diukir Soekarno dan para founding father seolah tenggelam dimakan waktu. Memang tidak mudah menjadi memimpin bangsa ini. Apalagi, memimpin negeri yang besar dan plural di tengah-tengah akutnya permasalahan bangsa. Rakyat menghendaki pergeseran dari pemimpin transaksional ke transformatif.

Rakyat sudah bosan dengan teatrikal luaran dan merindukan kedalaman mata hati pemimpinnya. Pada akhirnya, Ramadan harus kita maksimalkan untuk menempa diri, mendisiplinkan hati, mendidik keluarga, dam mendidik masyarakat dalam rangka menata mentalitas transformasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar