|
MEDIA
INDONESIA, 25 Juli 2013
AKSI sweeping yang
dilakukan Front Pembela Islam (FPI) di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, Kamis
(18/7), berakhir bentrok dengan warga. Selama ini, dakwah dengan model
kekerasan seperti sweeping itu
dijustifikasi sebagai sebuah pembenaran karena aparat hukum tidak bersikap
tegas untuk menangani penyakit-penyakit masyarakat dalam wujud kemaksiatan.
Sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan lalu
mengambil peran sebagai `polisi' dengan cara mereka sendiri. Seolah-olah
terjadi pembenaran, sikap dan tindakan itu dilakukan karena kekecewaan terhadap
ketidaktegasan aparat hukum.
Kepala
negara menyesalkan sikap anarkistis anggota FPI terhadap warga Kecamatan
Sukorejo itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan aksi anarkistis yang
dilakukan anggota FPI mencederai umat dan agama. Kekerasan dan main hakim
sendiri yang mengatasnamakan agama Islam bertentangan dengan ajaran Islam itu
sendiri. “Islam tidak identik dengan
kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak
identik dengan tindakan-tindakan perusakan. Sangat jelas kalau ada elemen
melakukan itu dan mengatasnamakan Islam, justru akan memalukan agama Islam,
mencederai agama Islam,“ tegas Presiden, Minggu (21/7).
Aksi
anarkistis yang kerap dilakukan FPI memunculkan tuntutan agar organisasi
masyarakat (ormas) tersebut dibubarkan. Tuntutan supaya FPI dibubarkan bukan
yang pertama, melainkan telah berulang kali dalam beberapa tahun terakhir. Ada
kesan di tengah masyarakat bahwa tidak hanya FPI, tetapi juga ormas anarkistis lainnya
yang bertindak destruktif dan menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat.
Berdasarkan
Pasal 13 UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas)
menyatakan bahwa ormas dapat dibekukan jika melakukan kegiatan yang mengganggu
keamanan dan ketertiban, menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan
pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan
bangsa dan negara. Pasal 15 secara tegas menyatakan bahwa pemerintah dapat
membubarkan organisasi kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan
Pasal 2 (tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal), Pasal 3 (tidak
selaras dengan UUD 1945), Pasal 4 (tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas
tunggal dalam anggaran dasar), Pasal 7 (tidak mempunyai AD/ART, tidak
menghayati, mengamalkan, mengamankan Pancasila, dan UUD 1945 serta tidak
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa). Selanjutnya, tata cara pembekuan dan
pembubaran ormas diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 17).
Sejumlah kelemahan
Namun,
kelemahan dari UU No 8/1985 adalah pemerintah hanya bisa menegur dan membina
ormas-ormas yang berbuat anarkistis. Apabila hingga tiga kali teguran tertulis
berdasarkan wilayah kabupaten/kota, provinsi, nasional tidak mampu mengubah
perilaku organisasi, pemerintah meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) untuk
membekukan atau membubarkan organisasi itu. Demikian pula dalam UU Ormas yang
baru telah disahkan. Ormas dapat dibubarkan apabila kembali melakukan tindakan
pidana setelah dilakukan pembekuan kegiatan publik. Pembubaran dapat dilakukan
MA dalam jangka waktu 14 hari terhitung setelah usulan pembubaran ormas
diterima MA. Dengan demikian, `menuju Indonesia tanpa FPI' tidak mudah dan
berliku-liku.
Hemat
saya, pembubaran ormas anarkistis akan sia-sia jika dilakukan dalam kondisi
demokrasi liberal seperti saat ini dengan UU yang tengah berlaku.
Kita berharap ada perbaikan dari FPI. FPI yang mengatasnamakan Islam secara
terangterangan bertindak tanpa mengedepankan cara-cara Islam yang ramah dan
damai. Apakah Islam mengajarkan kekerasan? Agama bukanlah alat perusak. Agama
tercipta untuk menebar cinta dan kedamaian.
Strategi
dakwah radikal yang diusung FPI sejatinya tak layak dipertahankan dan dijadikan
wahana dalam menegakkan hukum. Terlebih lagi sebagai upaya menuju jalan
kebenaran, yakni amar ma'ruf nahi munkar, sungguh tidak mencerminkan ajaran
agama Islam yang menebar cinta kasih bagi semesta alam (rahmatan lil `alamiin).
Padahal,
Islam mengajarkan semangat untuk sikap toleransi. Toleransi Islam sering
dihubungkan dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama“ (QS Al-Baqarah, 2:
256). Firman Allah ini menurut Ibn `Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang
Anshar bernama Husayn yang memaksa kedua anaknya yang memeluk Kristen agar
pindah ke agama Islam. Namun, kedua anaknya menolak paksaan itu. Kemudian, ayat
ini turun merespons secara eksplisit bahwa pemaksaan keyakinan adalah tindakan
terlarang.
Semangat
toleransi Islam yang menolak paksaan juga dikukuhkan oleh firman Allah dalam
Surah Yunus (10:99). Toleransi Islam dibangun di atas alasan-alasan menghormati
kebebasan berpendapat dan berkeyakinan (hurriyyah
alra'yi wa al-i'tiqad) dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (ta'ayusy/coexistence) (Irwan Masduqi,
Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, 2011, hal 24).
Jangan memaksa
Bila
belajar dari dakwah Nabi Muhammad, dakwah beliau sejatinya menekankan kearifan.
Asumsi tentang Islamisasi yang berlandaskan teologi eksklusif tidaklah
terlihat. Dalam sejarah dapat disaksikan sering kali beliau tidak memaksakan
dakwahnya kepada golongan apa pun termasuk nonmuslim. Oleh karena itu, sungguh
tidaklah layak bila FPI berbuat intimidasi dan kekerasan baik terhadap sesama
muslim maupun nonmuslim dengan menggunakan dalih-dalih agama.
Tindakan ini justru hanya akan merusak nilai-nilai spiritualitas dan humanitas
agama sendiri serta keharmonisan tatanan sosial. Tindakan FPI bertentangan
dengan prinsip Islam (laa ikraaha fiddin)
yang tidak membenarkan pemaksaan kehendak, bahkan untuk urusan agama.
Oleh
karena itu, FPI perlu mengubah cara-cara pendekatan, garis perjuangan dan
dakwahnya. Berbagai kecaman dan tuntutan penolakan terhadap FPI harus dijadikan
refleksi diri. Aksi FPI yang cenderung anarkistis dalam bentuk apa pun dan
berdalih agama tidak akan mendapat pembenaran oleh akal sehat, agama, dan
hukum.
Saatnya
FPI untuk menanggalkan cara-cara kekerasan sebagaimana firman Allah SWT, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana
dan tutur kata yang baik“ (ud'uu ilaa
sabiili rabbika bil hikmati wal mau'idzotil hasanah). Alangkah baiknya, FPI
ikut berjuang mengatasi persoalan mendasar bangsa, seperti kemiskinan,
pengangguran, kesehatan, dan persoalan lainnya. Bukankah hal ini justru
mengundang simpati publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar