|
KORAN
SINDO, 29 Juli 2013
Di tengah
perlambatan ekonomi dunia, tiap negara sedang mencari sumber pertumbuhan
ekonomi sebagai penyeimbang penurunan pasar ekspor dunia.
Melemahnya permintaan ekspor dunia telah menekan pertumbuhan kekuatan ekonomi global, termasuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi selama ini. Dihadapkan pada kondisi ini, China baru-baru ini melakukan reorientasi arah pembangunan dari export-oriented menuju penguatan konsumsi dan pasar domestik. Meskipun 2014 diproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia lebih baik daripada 2013, pasar ekspor dunia diperkirakan belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi seperti sebelum terjadinya krisis subprime-mortgage dan krisis utang Eropa.
Kekuatan pasar domestik tiap-tiapnegara menjadikuncidi saat pasar ekspor dunia mengalami tekanan. Bagi Indonesia, ukuran pasar domestik menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi selama ini. Indonesia relatif lebih memiliki imunitas dan tidak terlalu terpengaruh pelemahan pasar ekspor global. Tingginya konsumsi domestik di Indonesia saat ini diimbangi dengan percepatan infrastruktur, produktivitas, dan efisiensi rantai produksi nasional agar tidak terlalu tergantung pada mekanisme impor.
Mengukur kekuatan dan potensi permintaan dapat dilakukan antara lain melalui indikator indeks kepercayaan konsumen (consumer confidence index). Bagi Indonesia, indeks ini memiliki sensitivitas tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Belanja rumah tangga Indonesia menyumbang 55–57% produk domestik bruto (PDB). Baru-baru ini Nielsen merilis Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intentions untuk kuartal II/2013. Sebuah survei berkala dilakukan Nielsen terhadap 29.000 responden di 58 negara yang memiliki akses internet.
Survei ini mengukur sekaligus memeringkatkan kepercayaan konsumen terhadap kondisi keuangannya, pekerjaan, kondisi ekonomi sekaligus intensi melakukan pembelian. Dalam survei tersebut, Indonesia memiliki indeks tertinggi di dunia, yaitu 124, meningkat dua poin dari kuartal I/2013. Skor ini menempatkan konsumen di Indonesia sebagai konsumen paling optimistis di antara 58 negara.
Menurut Nielsen, sejumlah kebijakan seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak(BBM) bersubsidi yang bertepatan ketika survei dilakukan pada 13–31 Mei 2013 tidak menghentikan konsumen Indonesia melakukan pembelanjaan. Bahkan indeks kepercayaan konsumen Indonesia jauh lebih tinggi daripada rata-rata indeks kepercayaan konsumen global sebesar 94. Kenaikan indeks kepercayaan konsumen terjadi karena adanya kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan optimisme terhadap ekonomi serta pekerjaan.
Di kawasan Asia Pasifik, posisi tertinggi Indonesia diikuti Filipina, India, Thailand, China, Hong Kong, dan Malaysia. Filipina memiliki kenaikan 3 poin dari periode sebelumnya dan mendapatkan skor indeks sebesar 121. Sementara India turun 2 poin menjadi 118 dibandingkan kuartal I/2013. Secara keseluruhan indeks kepercayaan konsumen di Asia Pasifik menunjukkan optimisme di tengah pelemahan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat.
Selain itu, Mastercard Worldwide Index of Consumer Confidence 2013 menunjukkan konsumen di Indonesia masuk dalam jajaran lima negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi di Asia Pasifik selain India, China, Filipina, dan Myanmar. Survei ini dilakukan selama April– Mei 2013 terhadap lebih dari 12.200 responden dengan rentang usia 18–64 tahun di 27 negara. Tetap tingginya tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia merupakan sinyal bagus bagi dunia usaha di Tanah Air dan hal ini juga merupakan buah dari kestabilan pertumbuhan ekonomi yang berkisar di angka 6% tiap tahunnya.
Optimisme dan tingginya kepercayaan konsumen untuk berbelanja perlu kita imbangi dari sisi produksi dalam negeri (supply-side). Hal ini tentunya untuk mencegah membanjirnya produk impor akibat tingginya permintaan domestik. Percepatan pembangunan infrastruktur dan program hilirisasi (industrialisasi) yang saat ini dilakukan merupakan upaya mendorong sisi produksi mengimbangi sisi permintaan. Tekanan tingginya permintaan domestik dan ketidakcukupan sisi produksi terekam pada defisit neraca perdagangan nasional.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Mei 2013, defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia mencapai USD21,8 juta. Apabila ditambah dengan defisit dari sisi migas, sampai Mei 2013, secara akumulatif defisit perdagangan mencapai USD2,52 miliar. Kebijakan import-substitution melalui industrialisasi dan hilirisasi menjadi prioritas nasional saat ini.
Tingginya konsumsi domestik saat ini serta kecenderungan konsumsi masyarakat Indonesia perlu terus diimbangi dengan pembangunan struktur industri yang kuat. Keterkaitan industri hulu-hilir membutuhkan sinergi antarpemangku kepentingan. Baik lintas kementerian maupun pusatdaerah. Penyederhanaan perizinan dan prosedur investasi serta pelayanan satu atap yang saat ini berlangsung membutuhkan dukungan semua kalangan.
Investasi yang semakin meningkat di sektor riil tidak hanya meningkatkan outputdalam negeri sebagai pengganti produk impor, tetapi juga menyerap lapangan kerja, meningkatkan daya beli, dan menggerakkan ekonomi nasional lebih cepat. Upaya meningkatkan dan menyerap investasi baik untuk infrastruktur maupun sektor riil juga terus menunjukkan peningkatan. Data BKPM menunjukkan, realisasi investasi kuartal II/2013 meningkat sebesar 29,8% (YoY) menjadi Rp99,8 triliun.
Meningkatnya realisasi investasi di Indonesia di tengah perlambatan ekonomi dunia menjadi indikator penting mengukur daya tahanp erekonomian nasional. Kita berharap, investasi yang sekarang sedang digalakkan akan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen Indonesia sehingga ekonomi Indonesia tidak terlalu tergantung pada barang impor seiring dengan terus menguatnya indeks kepercayaan konsumen.
Oleh karenanya, percepatan industrialisasi dan hilirisasi yang saat ini berlangsung merupakan kebijakan yang dibutuhkan untuk mengimbangi tingginya konsumsi dalam negeri. ●
Melemahnya permintaan ekspor dunia telah menekan pertumbuhan kekuatan ekonomi global, termasuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi selama ini. Dihadapkan pada kondisi ini, China baru-baru ini melakukan reorientasi arah pembangunan dari export-oriented menuju penguatan konsumsi dan pasar domestik. Meskipun 2014 diproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia lebih baik daripada 2013, pasar ekspor dunia diperkirakan belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi seperti sebelum terjadinya krisis subprime-mortgage dan krisis utang Eropa.
Kekuatan pasar domestik tiap-tiapnegara menjadikuncidi saat pasar ekspor dunia mengalami tekanan. Bagi Indonesia, ukuran pasar domestik menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi selama ini. Indonesia relatif lebih memiliki imunitas dan tidak terlalu terpengaruh pelemahan pasar ekspor global. Tingginya konsumsi domestik di Indonesia saat ini diimbangi dengan percepatan infrastruktur, produktivitas, dan efisiensi rantai produksi nasional agar tidak terlalu tergantung pada mekanisme impor.
Mengukur kekuatan dan potensi permintaan dapat dilakukan antara lain melalui indikator indeks kepercayaan konsumen (consumer confidence index). Bagi Indonesia, indeks ini memiliki sensitivitas tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Belanja rumah tangga Indonesia menyumbang 55–57% produk domestik bruto (PDB). Baru-baru ini Nielsen merilis Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intentions untuk kuartal II/2013. Sebuah survei berkala dilakukan Nielsen terhadap 29.000 responden di 58 negara yang memiliki akses internet.
Survei ini mengukur sekaligus memeringkatkan kepercayaan konsumen terhadap kondisi keuangannya, pekerjaan, kondisi ekonomi sekaligus intensi melakukan pembelian. Dalam survei tersebut, Indonesia memiliki indeks tertinggi di dunia, yaitu 124, meningkat dua poin dari kuartal I/2013. Skor ini menempatkan konsumen di Indonesia sebagai konsumen paling optimistis di antara 58 negara.
Menurut Nielsen, sejumlah kebijakan seperti rencana kenaikan harga bahan bakar minyak(BBM) bersubsidi yang bertepatan ketika survei dilakukan pada 13–31 Mei 2013 tidak menghentikan konsumen Indonesia melakukan pembelanjaan. Bahkan indeks kepercayaan konsumen Indonesia jauh lebih tinggi daripada rata-rata indeks kepercayaan konsumen global sebesar 94. Kenaikan indeks kepercayaan konsumen terjadi karena adanya kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan optimisme terhadap ekonomi serta pekerjaan.
Di kawasan Asia Pasifik, posisi tertinggi Indonesia diikuti Filipina, India, Thailand, China, Hong Kong, dan Malaysia. Filipina memiliki kenaikan 3 poin dari periode sebelumnya dan mendapatkan skor indeks sebesar 121. Sementara India turun 2 poin menjadi 118 dibandingkan kuartal I/2013. Secara keseluruhan indeks kepercayaan konsumen di Asia Pasifik menunjukkan optimisme di tengah pelemahan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat.
Selain itu, Mastercard Worldwide Index of Consumer Confidence 2013 menunjukkan konsumen di Indonesia masuk dalam jajaran lima negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi di Asia Pasifik selain India, China, Filipina, dan Myanmar. Survei ini dilakukan selama April– Mei 2013 terhadap lebih dari 12.200 responden dengan rentang usia 18–64 tahun di 27 negara. Tetap tingginya tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia merupakan sinyal bagus bagi dunia usaha di Tanah Air dan hal ini juga merupakan buah dari kestabilan pertumbuhan ekonomi yang berkisar di angka 6% tiap tahunnya.
Optimisme dan tingginya kepercayaan konsumen untuk berbelanja perlu kita imbangi dari sisi produksi dalam negeri (supply-side). Hal ini tentunya untuk mencegah membanjirnya produk impor akibat tingginya permintaan domestik. Percepatan pembangunan infrastruktur dan program hilirisasi (industrialisasi) yang saat ini dilakukan merupakan upaya mendorong sisi produksi mengimbangi sisi permintaan. Tekanan tingginya permintaan domestik dan ketidakcukupan sisi produksi terekam pada defisit neraca perdagangan nasional.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Mei 2013, defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia mencapai USD21,8 juta. Apabila ditambah dengan defisit dari sisi migas, sampai Mei 2013, secara akumulatif defisit perdagangan mencapai USD2,52 miliar. Kebijakan import-substitution melalui industrialisasi dan hilirisasi menjadi prioritas nasional saat ini.
Tingginya konsumsi domestik saat ini serta kecenderungan konsumsi masyarakat Indonesia perlu terus diimbangi dengan pembangunan struktur industri yang kuat. Keterkaitan industri hulu-hilir membutuhkan sinergi antarpemangku kepentingan. Baik lintas kementerian maupun pusatdaerah. Penyederhanaan perizinan dan prosedur investasi serta pelayanan satu atap yang saat ini berlangsung membutuhkan dukungan semua kalangan.
Investasi yang semakin meningkat di sektor riil tidak hanya meningkatkan outputdalam negeri sebagai pengganti produk impor, tetapi juga menyerap lapangan kerja, meningkatkan daya beli, dan menggerakkan ekonomi nasional lebih cepat. Upaya meningkatkan dan menyerap investasi baik untuk infrastruktur maupun sektor riil juga terus menunjukkan peningkatan. Data BKPM menunjukkan, realisasi investasi kuartal II/2013 meningkat sebesar 29,8% (YoY) menjadi Rp99,8 triliun.
Meningkatnya realisasi investasi di Indonesia di tengah perlambatan ekonomi dunia menjadi indikator penting mengukur daya tahanp erekonomian nasional. Kita berharap, investasi yang sekarang sedang digalakkan akan menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen Indonesia sehingga ekonomi Indonesia tidak terlalu tergantung pada barang impor seiring dengan terus menguatnya indeks kepercayaan konsumen.
Oleh karenanya, percepatan industrialisasi dan hilirisasi yang saat ini berlangsung merupakan kebijakan yang dibutuhkan untuk mengimbangi tingginya konsumsi dalam negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar