KOMPAS, 31
Juli 2013
|
Perdebatan seputar ambang batas
persentase pengajuan calon presiden dan wakil presiden kembali menjadi isu
sentral. Sebagai perdebatan yang nyaris tak bertepi, perkembangan paling
mutakhir: masalah ambang batas dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden benar-benar membelah posisi partai politik di DPR.
UU No 42/2008 menentukan batas minimal
persentase yang mesti dipenuhi parpol peserta pemilu untuk mengusung pasangan
calon presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini, Pasal 9 menyatakan pasangan
calon hanya dapat diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu yang memenuhi syarat: meraih kursi minimal 20 persen di DPR atau minimal
25 persen suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Dengan batasan itu, pada salah satu
sisi, sebagian parpol dengan jumlah kursi menengah ke bawah
menghendaki legislative review guna mengurangi persentase ambang
batas ini. Di sisi lain, dengan menggunakan dalil guna memperkuat sistem
pemerintahan presidensial, tanpa keraguan, semua parpol yang berada dalam
kelompok menengah ke atas menolak menurunkan persentase ambang batas dalam UU
No 42/2008.
Tidak tepat
Diletakkan dalam konteks pembaruan
dan peningkatan kualitas pemilu presiden dan wakil presiden, penolakan untuk
penurunan ambang batas benar-benar menutup upaya merevisi UU No 42/2008.
Padahal, di luar persoalan ambang batas, disadari bahwa sebagian substansi UU
No 42/2008 masih perlu diperbaiki. Apalagi, pilihan penolakan dengan alasan
memperkuat sistem presidensial belum tentu linear dengan kebutuhan praktik.
Pada tataran teori, dalam sistem
presidensial, di antara isu yang tak pernah usai dibahas dan diperdebatkan:
bagaimana mendamaikan antara pemegang kuasa eksekutif dan legislatif. Sebagai
institusi yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat, keduanya hampir
dapat dipastikan akan memakai logika mendapatkan mandat itu saat membangun
relasi eksekutif-legislatif. Itu sebabnya, logika memperkuat sistem
presidensial dengan berpikir bahwa tak akan terjadi ketegang- an hubungan di
antara keduanya tidak tepat.
Sejumlah hasil penelitian menunjukkan
bahwa dinamika sistem presidensial adalah potret tarik-menarik antara eksekutif
dan legislatif. Banyak pengalaman membuktikan, dalam hal kekuatan mayoritas
legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden,
ancaman deadlock sulit dicegah. Bahkan, karena secara alamiah posisi
eksekutif terpisah dari legislatif, partai politik pendukung presiden pun tak
boleh begitu saja tertakluk kepada eksekutif. Dalam posisi demikian, untuk
partai politik sendiri pun, presiden harus berjuang mendapatkan dukungan.
Karena secara kodrat memang
posisinya berbeda dan terpisah dari legislatif, dalam sistem presidensial,
pemimpin eksekutif tertinggi dituntut punya kemampuan hadir dengan karakter
kuat dan persuade leadership. Richard Neustand dalam Presidential Power: The Politics of
Leadership (1960) mengatakan: presidential
power is the power to persuade. Dalam posisi seperti itu, tambah
Neustand, this is personal power
that involves the president’s ability to influence others to achieve a
political outcome (Shapiro dkk,
2000).
Merujuk ke penjelasan itu,
menggunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai modal mengajukan pasangan
calon presiden dan wakil presiden dengan alasan memperkuat sistem presidensial
dapat dikatakan tak tepat dan sangat mengada- ada. Sekadar cacatan, memperkuat
sistem presidensial dengan cara berpikir mendorong presiden harus mendapat
dukungan mayoritas di legislatif akan dengan mudah memerosokkan praktik
pemerintahan ke dalam rezim otoriter. Pada batas-batas tertentu, pengalaman
praktik sistem presidensial sepanjang Orde Lama dan Orde Baru membuktikan
bagaimana perangkap rezim otoriter itu bekerja.
Selain pijakan teoretik, secara
konstitusional, mempertahankan ambang batas untuk memperkuat sistem
presidensial berbeda dengan maksud perumusan konstitusi. Dalam hal ini, Pasal
6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil
presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Dari ketentuan ini, semua partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta
pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya,
dari pengaturan di dalam UUD 1945, ambang batas tak dikenal. Karena itu,
mempertahankan ambang batas sama saja dengan memelihara cacat konstitusional
dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.
Karena adanya paksaan menghadirkan
dan mempertahankan ambang batas itu, bisa dilacak praktik sistem presidensial
yang terjadi sejak pelaksanaan pemilihan langsung 2004. Selama hampir dua periode
kepemimpinannya, SBY bak melakoni kehidupan rumah tangga yang dijebak dalam
kawin paksa. Dalam hal hubungan dengan DPR, selain tak menemukan kebenaran empirik
dalam menghasilkan hubungan yang stabil dan sekaligus memperkuat sistem
presidensial, koalisi dengan banyak partai seperti mendorong pemerintahan SBY
ke jebakan tak berujung.
Berdasarkan basis argumentasi di
atas, tak ada alasan untuk tetap bertahan dalam rezim ambang batas.
Satu-satunya logika yang mungkin dapat menjelaskan pilihan bertahan dalam rezim
ambang adalah kepentingan politik, terutama parpol menengah ke atas, yang
mungkin merasa tak begitu nyaman bila pemilih memiliki pilihan yang jauh lebih
banyak dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Demokratisasi partai politik
Soal ambang batas hanyalah salah
satu isu penting saja. Di luar itu, masih banyak masalah lain yang harus
diselesaikan dengan revisi UU No 42/2008. Yang dianggap sangat urgen adalah
dorongan demokratisasi internal partai politik dalam pengajuan pasangan calon.
Agak terbatas UU itu memang menggariskan
bahwa penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik
bersangkutan. Namun, pengaturan itu tak memiliki daya dorong yang bermakna
karena tak adanya sanksi yang dapat diberikan kepada partai politik yang
mengusulkan calon dengan mengabaikan prinsip demokratis dan terbuka. Sekiranya
direvisi, dengan tujuan memaksa partai politik, KPU dapat saja menolak pasangan
calon yang dihasilkan dari proses tidak demokratis dan tidak terbuka.
Sadar atau tidak, dengan tak adanya
ketentuan yang memungkinkan menjatuhkan sanksi pada pasangan calon, proses
penentuan pasangan calon di kalangan internal parpol seperti berubah jadi
wilayah privat. Kegagalan mengoreksi cara-cara seperti ini menyimpan bahaya
bagi masa depan negeri ini. Bagaimanapun, calon yang lahir dari proses privat,
bukan tak mungkin presiden/wapres akan lebih banyak mengabdi kepada parpol yang
mengusungnya. Karena itu, untuk mengembalikan kepada makna pemilihan langsung
paling hakiki, melanjutkan revisi UU No 42/2008 jadi pilihan yang tak
terelakkan. Bagaimanapun, memaksa rakyat menerima calon yang dihasilkan dari
sebuah proses tak demokratis dan terbuka merupakan pengingkaran terhadap makna
pemilihan langsung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar