|
KOMPAS,
26 Juli 2013
Tahun 2005, Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 12 meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik. Itu berarti demi hukum negara RI terikat untuk memenuhi semua
kewajibannya, kecuali terhadap Pasal 1 yang direservasi.
Untuk mengawasi agar semua negara
peratifikasi UU—disingkat KIHSP—mematuhi kewajibannya, yakni menghormati dan
melindungi semua hak yang tertuang dalam kovenan itu, PBB mendirikan Komite
HAM. Dalam konteks itu, negara pihak KIHSP harus menyampaikan laporan kepada
komite di atas terkait langkah dan kemajuan yang dicapai untuk mewujudkan semua
hak yang termuat dalam kovenan. Laporan itu disampaikan dalam satu tahun sejak
berlakunya KIHSP di negara yang bersangkutan dan selanjutnya setiap diminta
komite.
Di bawah KIHSP ada 24 hak sipil dan
politik yang wajib dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Hal itu antara lain hak
menentukan nasib sendiri, persamaan hak laki-laki dan perempuan, hak hidup,
kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas
pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan
berserikat, hak politik, hak atas kedudukan yang sama di depan hukum, hak-hak
minoritas etnis, agama atau bahasa, dan hak sipil politik lainnya.
Laporan Indonesia
Delapan tahun sejak peratifikasian
KIHSP Indonesia pada 2013 menyampaikan laporan awal implementasi kovenan
tersebut di Indonesia. Laporan Pemerintah Indonesia lebih banyak mengedepankan
kemajuan normatif berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil
dan politik. Di depan sidang ke-108 Komite HAM PBB Juli 2013, delegasi RI
mengemukakan, rencana aksi nasional HAM (ranham) untuk mengarusutamakan HAM di
semua kebijakan nasional. Indonesia telah pula mengembangkan kerangka kerja
legislasi dan kelembagaan untuk memajukan HAM.
Delegasi RI menegaskan, KIHSP
berfungsi sebagai fondasi penting bagi berbagai UU yang diundangkan kemudian di
bidang hak-hak sipil dan politik. Dalam konteks itu, sistem hukum menjamin
kebebasan dasar, yaitu berkumpul secara damai, berekspresi, dan berserikat.
Selanjutnya, konstitusi menjamin kebebasan beragama. Ranham juga
memprioritaskan penguatan kesetaraan gender dan pembaruan KUHP di mana larangan
penyiksaan akan disesuaikan dengan konvensi PBB yang menentang penyiksaan.
Atas penyajian laporan delegasi RI
itu, Komite HAM PBB menanyakan antara lain: 1. Remedi apa yang tersedia bagi
para korban pelanggaran HAM? 2. Apakah para anggota militer yang melakukan
tindak pidana biasa diadili pengadilan militer yang tidak independen dan
transparan? 3. Langkah apa untuk mengimplementasikan akses ke keadilan yang
diluncurkan pada tahun 2009? 4. Apa tindakan pemerintah untuk memastikan UU dan
peraturan daerah sesuai dengan KIHSP?
5. Apa yang dilakukan pemerintah
untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para
pemrotes di Papua, dengan sejumlah pemrotes meninggal? Sebanyak 70 pembunuhan
di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?
6. Mengapa hukuman mati secara
sistematis dikenakan kepada para terpidana narkoba? 7. Mengapa pemerintah
mengeluarkan peraturan khusus yang membatasi hak-hak komunitas Ahmadiyah? 8.
Apa langkah pemerintah untuk mewujudkan Badan Pemantau Independen atas
fasilitas dan kondisi tempat- tempat penahanan dan lembaga pemasyarakatan? 9.
Apakah KIHSP secara langsung diterapkan pengadilan? 10. Apa ruang lingkup
reservasi atas Pasal 1 KIHSP oleh Indonesia?
Itulah sebagian pertanyaan yang
diajukan Komite HAM PBB. Utusan RI menjelaskan bahwa proses hukum patut dijamin
bagi semua korban pelanggaran HAM oleh militer pada masa lalu. Tiga kasus
pelanggaran HAM berat oleh Jaksa Agung telah diajukan ke pengadilan, tetapi
para pelakunya dibebaskan hakim karena tindakan mereka bukan bagian dari
serangan meluas terhadap penduduk sipil.
Dijelaskan pula, sudah ada diskusi
antara pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Pengadilan Militer. Utusan RI
menegaskan, pidana mati hanya dikenakan pada kejahatan sangat serius, dan
dijalankan setelah grasi ditolak presiden. Menurut delegasi RI, reservasi Pasal
1 KIHSP mengacu pada prinsip hukum internasional berkaitan integritas dan
kesatuan politik negara berdaulat. Walaupun bukan sesuatu yang biasa
dipraktikkan, pengadilan dapat menerapkan KIHSP.
Semangat keterbukaan
Tanggapan utusan RI atas pertanyaan
Komite HAM tidak seluruhnya tepat, terang, dan tuntas. Namun, terasa adanya
keterbukaan dan semangat dialogis dalam interaksi antara delegasi RI dan Komite
HAM. Komite HAM mengajukan sejumlah pertanyaan kritis soal pelanggaran HAM dan
kebijakan nasional HAM RI. Lalu, utusan RI menjelaskan kemajuan yang dicapai
dan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan KIHSP.
Jauh dari kesan mencari kesalahan
dan menghakimi, dalam interaksi dialogis itu kedua belah pihak berusaha
memahami masalah dan tantangan agar menjadi dasar bagi Komite HAM PBB
merumuskan kesimpulan dan rekomendasi bagi perbaikan implementasi KIHSP di
Indonesia.
Laporan awal tentang pelaksanaan
KIHSP kepada Komite HAM PBB adalah suatu capaian karena pertama, menunjukkan
komitmen Indonesia untuk menjalankan KIHSP.
Kedua, menunjukkan Indonesia
menerima paradigma baru dalam hubungan internasional, yaitu relativitas kedaulatan
negara di hadapan Hukum Internasional HAM: Bahwa kedaulatan negara penting
untuk melindungi harkat dan martabat rakyat, termasuk hak sipil dan politiknya.
Ketiga, menunjukkan kesediaan Indonesia bekerja sama untuk memajukan dan
melindungi HAM. Di atas semuanya, perlu usaha yang terukur pada tataran
domestik, antara lain, menyelesaikan secara adil kasus-kasus pelanggaran
HAM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar