|
KOMPAS,
25 Juli 2013
Sungguh ironis, ketika negara-negara lain di dunia sudah
berpikir bagaimana cara menginjakkan kaki di Bulan dan planet lainnya, negara
dan bangsa Indonesia masih terus berkutat pada masalah yang sangat elementer.
Berkutat pada masalah penyediaan pangan bagi rakyat, berkutat pada masalah isi
perut dan kebutuhan faali, seperti cabai rawit.
Beberapa hari terakhir, secara kasatmata kita kembali
menyaksikan para petinggi negeri ini kedodoran mengatasi permasalahan
meroketnya harga berbagai kebutuhan pangan. Mulai dari telur ayam, daging sapi,
daging ayam, bawang merah, hingga cabai rawit. Meroketnya harga pangan tersebut
memicu lonjakan angka inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
Sebenarnya pangkal masalah terletak pada kesiapan stok dan
kelancaran distribusi. Masalahnya, pemerintah tak pernah sigap mengantisipasi
kondisi seperti ini. Produksi komoditas pangan tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat yang meningkat. Di sisi lain, upaya impor komoditas pangan tak
terencana dengan baik sehingga saat gejolak harga pasar sudah memasuki stadium
empat (akut), barangnya baru tiba.
Padahal, semua tahu bulan puasa adalah siklus tahunan yang
sudah pasti kapan tiba. Bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Kondisi ini
menunjukkan lemahnya perencanaan di tingkat kementerian dan lembaga yang
bertanggung jawab mengamankan produksi, logistik, dan saluran distribusi.
Mereka telah lalai menjalankan tugasnya dan tak pernah mengambil pelajaran dari
fenomena yang selalu terjadi tiap menjelang puasa dan Lebaran.
Anomali iklim
Gejolak harga pangan kali ini kondisinya lebih kompleks. Ia
merupakan resultante dari berbagai faktor, di antaranya anomali iklim yang
belum sepenuhnya dapat diadaptasi oleh petani, adanya ekspekstasi kenaikan
harga akibat sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, serta faktor
rutinitas menjelang datangnya bulan puasa dan Lebaran.
Selain mengacaukan sistem budidaya, anomali iklim juga
memicu eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman. Beberapa waktu lalu,
organisme pengganggu tanaman, seperti wereng batang cokelat, penyakit
antraknosa, dan penyakit karena jamur menyerang padi dan sayur-sayuran di
beberapa sentra produksi sehingga terjadi gagal panen.
Ekspektasi kenaikan harga terjadi karena dalam waktu hampir
bersamaan pemerintah mewacanakan berbagai kebijakan ekonomi, antara lain,
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, kenaikan tarif dasar
listrik, serta kenaikan harga elpiji 12 kilogram dan 50 kilogram. Belakangan
kebijakan terakhir ini tidak jadi dilakukan oleh pemerintah.
Celakanya, kenaikan harga berbagai kebutuhan pangan kali
ini tidak serta-merta diikuti kenaikan upah riil petani, buruh bangunan, dan
pekerja informal lainnya. Penderitaan kelompok masyarakat miskin ini jadi makin
sempurna ketika harus menghadapi kenyataan bahwa biaya hidup sehari-hari
lainnya, seperti biaya kesehatan dan biaya transportasi, juga terdongkrak naik.
Meski semua berubah di negeri ini, sikap pemerintah dalam
menghadapi permasalahan pangan tak pernah berubah. Pemerintah selalu bertindak
reaktif dalam menyikapi gejolak pasar. Instrumen operasi pasar selalu dijadikan
senjata pamungkas untuk memadamkan kebakaran. Tidak terlihat langkah dan
kebijakan solutif dalam jangka panjang untuk menciptakan ketahanan pangan yang
kokoh.
Sejatinya gonjang-ganjing harga pangan ini tidak perlu
terjadi jika pemerintah punya komitmen kuat untuk memperkuat stok dan
memperlancar saluran distribusi. Gejolak harga cabai rawit dan bawang merah
tidak perlu terjadi jika budidaya tanaman sayuran tersebut terjadwal dengan
baik sehingga saat bulan puasa dan Lebaran terjadi panen yang cukup.
Di luar musim
Antisipasi seperti inilah yang selalu dilakukan
pemerintahan Orde Baru dalam menghadapi perayaan hari besar nasional dan
keagamaan, seperti Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru. Beberapa bulan
sebelum perayaan hari besar tersebut tiba, utusan dari Bina Graha sudah
melakukan koordinasi secara intensif dengan daerah-daerah sentra produksi
sayuran, seperti Brebes, Tegal, Nganjuk, dan Wonosobo.
Kala itu miliaran rupiah dana Departemen Pertanian
bersumber dari APBN dikucurkan ke daerah untuk membantu kelompok tani. Dana
digunakan untuk modal budidaya bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan
cabai rawit di luar musim (off season),
serta dirancang agar panen terjadi menjelang dan selama bulan puasa/Lebaran.
Meski ditinjau dari ilmu agronomi cara ini sangat berisiko gagal panen, dengan
kawalan intensif dari petugas teknis pertanian, kegagalan itu dapat
terhindarkan.
Pemerintah kala itu juga gencar memasyarakatkan teknologi
tepat guna berupa budidaya tanaman buah dan sayuran dalam pot (tabusalampot), budidaya vertikal
(vertikultur), budidaya hidroponik, serta kebun atap (roof garden). Pada lahan
yang terbatas semua rumah tangga dapat menanam sayuran, seperti cabai rawit,
cabai merah, dan bawang merah, dengan stimulan benih unggul dari dinas
pertanian setempat. Cara-cara seperti itu ternyata sangat ampuh meredam gejolak
harga sayuran menjelang bulan puasa dan Lebaran.
Upaya lain yang harus ditempuh pemerintah adalah dengan
menjaga kelancaran distribusi bahan pangan. Ke depan, kemacetan parah di jalur
pantai utara Pulau Jawa tidak boleh lagi terjadi karena akan menyebabkan
ekonomi biaya tinggi. Selain itu, tata niaga bahan pokok perlu diatur
sedemikian rupa sehingga tidak memicu tindakan spekulasi, seperti penimbunan
dan pengoplosan. Bagi mereka yang mengail di air keruh, melakukan penimbunan
dan pengoplosan harus dikenai sanksi tegas sesuai ketentuan hukum.
Satu hal lagi yang penting yang perlu dilakukan adalah
upaya penguatan cadangan pangan nasional di berbagai tingkatan. Pada era
otonomi daerah seperti sekarang ini, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
perlu memiliki stok pangan sendiri di wilayah masing-masing. Untuk itu mereka
dapat bekerja sama dengan Perum Bulog/Dolog di wilayah masing-masing yang telah
berpengalaman dalam manajemen stok pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar