KOMPAS, 31
Juli 2013
|
Harian Kompas, 27 Juli 2013,
menerbitkan artikel kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
”KPK dan Pencucian Uang”, yang intinya menjelaskan bahwa jaksa pada KPK
berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang dengan alasan bahwa Kejaksaan
adalah satu dan tidak terpisahkan, een
ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004
tentang Kejaksaan RI.
Penjelasan pasal itu menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ”Kejaksaan
adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan tugas dan wewenang di bidang
penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan”.
Penjelasan ini menguatkan keyakinan penulis bahwa prinsip itu tidak berlaku
bagi jaksa yang ditugasi di KPK, sejalan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU
KPK. Ayat tersebut menegaskan bahwa, antara lain, penuntut umum pada KPK
diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK.
Pasal 39 Ayat (2) antara lain
menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah (pemimpin KPK)
dan bertindak untuk dan atas nama KPK, bukan berdasarkan perintah jaksa agung
dan untuk dan atas nama Kejaksaan. Berdasarkan ketentuan itu, semakin jelas
bahwa sepanjang mengenai wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
Tipikor dilakukan oleh penyidik dan penuntut KPK, alasan prinsip dalam Pasal 2
Ayat (3) UU Kejaksaan tak berlaku bagi jaksa penuntut umum KPK.
Dalam konteks ini, kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaitkannya dengan wewenang
penuntut KPK dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Diakui juga
bahwa tidak disebutkan tegas dalam UU TPPU, tapi tak berarti (jaksa) KPK tak
berwenang menuntut TPPU.
Menurut penulis, rumusan terbaik
dalam UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa, termasuk
penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK diberikan
wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang
sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.
Ketentuan Pasal 51 Ayat (3) UU KPK
yang dirujuk kepala PPATK dalam artikelnya itu tidak ada hubungan dengan
prinsip ”satu dan tidak terpisahkan”, sejalan dengan ketentuan yang
memberhentikan sementara, antara lain, jaksa penuntut umum dari instansi
Kejaksaan (Pasal 39 Ayat (2) UU KPK).
Makin
jauh
Jika pandangan kepala PPATK bahwa
hanya ada satu jaksa, baik yang di Kejaksaan maupun yang di KPK, dan
kata penuntut umum dalam Pasal 72 dan Pasal 75 UU TPPU mengacu pada
hal yang sama, maka dalam pemberantasan korupsi dan TPPU, ada dua jaksa agung:
jaksa agung pada Kejaksaan dan ”jaksa agung” pada KPK. Makin jauhlah prinsip
”satu dan tidak terpisahkan” dalam penuntutan.
Pada Pasal 68 UU TPPU tersua
ungkapan ”kecuali ditentukan lain dalam UU (TPPU) ini”.
Kata ini harus ditafsirkan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain
dalam UU TPPU, bukan pada UU lain, sehingga tidak tepat dirujuk pada UU KPK.
Arah Pasal 68 UU TPPU bukan pada UU KPK, melainkan pada UU TPPU. Kekecualian
pada Pasal 68 UU TPPU adalah bahwa penyidikan perkara TPPU dapat juga dilakukan
penyidik KPK, Kejaksaan, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak, dan tidak
termasuk wewenang penuntutan khusus pada KPK, kecuali bagi Kejaksaan.
Pasal 75 UU TPPU hanya memberi
mandat kepada penyidik asal untuk menggabungkan dengan penyidikan TPPU bukan
penuntutan. Tidak ada satu pun penjelasan umum atau penjelasan pasal dalam UU
TPPU 2010 yang memuat penjelasan kepala PPATK dalam artikel itu sehingga
menjadi tanda tanya apakah kekosongan hukum pada wewenang KPK untuk melakukan
penuntutan TPPU merupakan kekeliruan atau kelalaian atau mungkin kesengajaan
tim penyusun UU TPPU tahun 2010.
Coba bandingkan dengan wewenang
penyidik dan penuntut dalam UU No 30/2002 tentang KPK (Pasal
38 jo Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 51) yang tegas dan jelas memberi
mandat kepada penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK dalam perkara tipikor. UU
KPK adalah UU mengenai Kelembagaan atau UU Organik. Begitu pula UU Pengadilan
Tipikor sehingga pemberian kewenangan yang diperluas seharusnya dimasukkan di
dalam UU tersebut. Tidak pada UU lain yang tak ada kaitan dengan pengaturan
tugas, wewenang, dan tanggung jawab kelembagaan.
Putusan MK terhadap Bab VII UU KPK
di bawah titel ”Pemeriksaan di Sidang Pengadilan” yang memuat pembentukan
Pengadilan Tipikor dan kewenangannya telah dinyatakan bertentangan dengan Pasal
28 D Ayat (1) UUD 1945 karena tidak ada jaminan kepastian hukum. Akhirnya
ditetapkanlah UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor. Perluasan wewenang
penuntutan KPK dalam perkara TPPU hanya diatasi dengan melakukan perubahan terhadap
UU KPK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar