Rabu, 31 Juli 2013

Demokrasi Kriminal Mendelegitimasi Negara

Demokrasi Kriminal Mendelegitimasi Negara
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 30 Juli 2013


Klaim moral pertama dari dasar keberadaan negara adalah kesanggupannya melindungi warga dari mara bahaya (harm). Jika gagal memenuhi hal itu, negara tersebut kehilangan legitimasinya.
Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini memperlihatkan situasi mengerikan. Negara tidak saja gagal melindungi warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Ekspresi kekerasan mengemuka dalam ragam bentuk: kekerasan warga atas warga; kekerasan antarsindikat; kekerasan negara atas warga; kekerasan warga (teroris) atas negara; serta kekerasan antaraparat negara (tentara versus polisi, polisi versus polisi).

Dengan membuncahnya aneka ekspresi kekerasan tersebut, negara mengingkari demokrasi dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperangkat institusinya merupakan suatu sarana non-kekerasan.

Di bawah kondisi demokratis, kepentingan dan kekuasaan tidak bisa diperoleh melalui jalan pemaksaan, tetapi melalui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas rule of law. Demokrasi merupakan suatu sistem pembagian kekuasaan secara legal yang aktornya sama-sama menghindari bahaya kekerasan dan juga diuntungkan oleh ketiadaan kekerasan.

Demokrasi Indonesia yang didarahi aneka bentuk kekerasan mengindikasikan bahwa pelaksanaannya belum mampu mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanyalah peralihan dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan. Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang mengerikan bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang mati lebih besar ketimbang di bawah sistem kediktatoran. 

Sebagai contoh, harapan hidup warga negara demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.

Demokrasi memang bermaksud menghilangkan pemerintahan otoriter, tetapi tidak bisa ditegakkan tanpa wibawa otoritas. Tanpa wibawa otoritas negara hukum (nomokrasi), demokrasi bisa mengarah kepada anarki, yang dapat merebakkan ragam ekspresi kekerasan. Di dalam merebaknya ekspresi kekerasan, demokrasi melakukan tindakan bunuh diri.

Dengan merebaknya ekspresi kekerasan, negara juga mengingkari tugas konstitusionalnya: ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih dari itu, nyaris tidak ada perbantahan antara teoretikus negara lintas zaman dan lintas ideologis, mulai dari Niccolo Machiavelli, John Stuart Mill, hingga pengusung indikator gross national happiness, dalam menempatkan tugas perlindungan negara atas warga di jantung dari segala kontrak negara dengan rakyatnya.

Pentingnya proteksi warga dari bahaya juga menjadi latar yang membentuk liberalisme modern. Dalam tulisan-tulisan John Stuart Mill ditekankan, satu-satunya justifikasi bagi tindakan melawan yang lain adalah perlindungan diri (self-protection) dan satu-satunya rintangan atas kebebasan yang bisa dijustifikasi adalah rintangan untuk mencegah bahaya bagi orang lain. Kebebasan (mengekspresikan) agama, misalnya, bisa dibatasi oleh perlindungan atas keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health), moral publik (public morals), serta perlindungan hak dan kemerdekaan (rights and freedom).

Perlindungan atas keselamatan warga dan negara penting karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial, bukan saja agar hidup berjalan, melainkan juga agar rakyat bisa hidup secara baik. Data komparatif lintas negara membenarkan bahwa stabilitas dan ketertiban politik, pemerintahan hukum dan keadilan, sangat menentukan bagi pencapaian kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan bangsa tertinggi pada umumnya ditemukan di negara-negara demokrasi yang stabil, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, yang mengindikasikan betapa pentingnya pemerintahan yang kuat, stabil, protektif, dan legitimate bagi kebajikan dan kebahagiaan hidup warga (Geoff Mulgan, 2006).

Para pendiri bangsa secara visioner telah menempatkan tugas perlindungan negara atas segenap bangsa dan seluruh tumpah darah sebagai dasar legitimasi negara yang pertama. Masalahnya, dalam semangat penyelenggara negara yang lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan dirinya, kepentingan dan keselamatan warga bisa saja dikorbankan. Di dalam kepentingan sempit penguasa zalim, negara tidak saja gagal melindungi korban, tetapi bisa saja memihak elemen-elemen kekerasan demi keberlangsungan kekuasaan. Maka, dalam demokrasi yang menghendaki pemuliaan hak-hak asasi manusia, nyawa manusia di negeri ini justru kian murah.


Praktik demokrasi yang gagal melindungi warga dari segala bentuk kekerasan adalah praktik demokrasi kriminal yang tak patut dipertahankan. Demokrasi yang dirayakan dengan kekerasan tidak saja membinasakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara, yang akan menjatuhkan konsepsi negara paripurna menjadi kekacauan paripurna. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar