Rabu, 31 Juli 2013

Pemilu Kamboja, Indonesia dan ASEAN

Pemilu Kamboja, Indonesia dan ASEAN
Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
          KORAN SINDO, 31 Juli 2013



Penduduk Kamboja adalah saudara yang perlu kita rengkuh menuju Komunitas ASEAN 2015 dan visi ASEAN 2020, yakni visi menuju masyarakat bersama yang saling asih dan asuh dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan sosial. 

Dengan posisinya di Indochina dan status ekonomi yang relatif sangat miskin, Kamboja mencari mitra dan patron kerja sama yang bisa membimbingnya ke posisi lebih terhormat dalam politik global. Di sana-sini investasi besar yang terlihat di negeri ini adalah dari China. Alasannya praktis saja, kebetulan secara ideologi mereka pernah sejalan dan negara ini masih terlalu miskin dan penduduknya kecil untuk bisa dianggap cukup menarik bagi investor asing lain untuk masuk. 

Ini yang sedang berusaha diubah oleh Kamboja. Di antara negara-negara ASEAN, Pemimpin Kamboja, yaitu Perdana Menteri Hun Sen, termasuk pemimpin yang paling lama memerintah pada dekade terakhir ini di luar Kesultanan Brunei. Ia terpilih menjadi perdana menteri pada 1985 atau kurang lebih 28 tahun lalu. Ia juga adalah salah satu dari pemimpin yang merasakan kejamnya masamasa Perang Dingin yang ditandai dengan kompetisi politik antara Sosialisme dan Kapitalisme. 

Para pemimpin negara lain yang pernah hidup di masa itu seperti Soeharto, Mahathir Mohammad, Fidel Ramos, atau Lee Kuan Yew telah lama mundur dari kancah politik formal. Hal ini membuat Hun Sen sebagai pemimpin paling senior bersama dengan Sultan Hassanal Bolkiah di negara-negara ASEAN. Dengan predikat tersebut, tidak heran apabila pemilihan umum di Kamboja menjadi perhatian banyak pihak. 

Masyarakat internasional menanti apakah pemilu di Kamboja akan memenuhi indikator-indikator demokrasi yang ditandai dengan pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil atau justru sebaliknya. Harapan itu sebetulnya juga adalah harapan Hun Sen. Dalam zaman yang berubah, legitimasi politiknya baik di dalam negeri atau di luar negeri sangat ditentukan oleh proses dan hasil pemilu. Pemilu adalah investasi yang harus ia lakukan untuk mendapatkan insentif dari berbagai pihak untuk melanjutkan kepemimpinannya. 

Dalam konteks saat ini, di mana kebergantungan satu negara relatif tidak lagi terkait secara ideologis dengan negara lain dan kenyataan bahwa semua negara terintegrasi dalam sistem pasar, maka investasi dalam pemilu adalah sebuah keharusan. Acemoglu dan Robinson dalam teorinya tentang transisi politik yang mengacu pada pengalaman negara-negara Eropa Utara dan Latin Amerika, menyimpulkan investasi pemilu bersifat irreversible atau tidak dapat kembali lagi ke keadaan yang lama. 

Situasi di Mesir sedikitnya mengonfirmasi teori itu bahwa ketika militer melakukan kudeta, maka jalan lain yang harus ditawarkannya adalah mengulangi lagi pemilihan umum. Kondisi serupa juga terjadi pada saat militer melakukan kudeta pada kekuasaan Thaksin pada 2006. Elite militer yang melakukan kudeta menawarkan kembali pemilihan umum dan harus menerima hasil bahwa Yingluck Shinawatra, adiknya, menjadi perdana menteri Thailand. Temuan serupa juga didapatkan oleh Mario Chacon yang menganalisis transisi demokrasi negara-negara dari tahun 1972 hingga 2008. 

Ia menyimpulkan pemilu di dalam sebuah rezim yang dianggap tidak demokratis akan cenderung membuat elite rezim itu untuk bersikap lebih toleran terhadap demokrasi di masa mendatang. Karena pemilu adalah sebuah Sunk Costatau irreversible dalam istilah Acemoglu. Untuk itulah, pemerintah Kamboja melakukan ”investasi” berisiko tinggi dalam pemilu 28 Juli 2013. Partai pendukung Hun Sen yaitu CPP, menempuh jalur demokrasi terbuka untuk validasi kepemimpinannya lima tahun ke depan. 

Pemilu ini diawasi oleh 291 pemantau asing dari hampir seluruh negara dunia termasuk Azerbaijan, Hungaria, Turki, Amerika Serikat, Indonesia, Vietnam, China, Filipina, Korea Selatan, Jepang, dan masih banyak lagi. Media asing bebas berkeliaran di segala sudut. CPP realistis melihat situasi zaman sekarang sehingga melakukan redistribusi aset politik dengan mengundang Sam Rainsy untuk berkampanye bagi partainya CNRP. 

Kelompok oposisi terlihat sangat antusias. CNRP tidak menyia- nyiakan kesempatan mendapatkan ”panggung politik” dengan kehadiran Sam Rainsy. Meskipun hanya punya waktu 10 hari untuk berkampanye dan belum punya kesempatan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif karena pendaftaran caleg sudah lama berlalu, Sam Rainsy yang sangat fasih berbahasa Inggris ini telah memesona media asing. Ke manapunia pergiselalu dibuntuti media asing, bahkan sampai ada yang ikut satu mobil dengannya. 

Gaung kampanye partai politik oposisi yang lain langsung lenyap di balik ramainya sorak-sorai pendukung Rainsy. Situasi kampanye pendukung Rainsy jauh lebih ekspresif dibandingkan kampanye partai lain. Tetapi di sisi lain, bahkan pihak Sam Rainsy pun (yang tergolong terdepan di antara kelompok oposisi) sampai petang menjelang pemilu, pun pesimistis bisa menang dalam pemilu ini. Konsentrasi kampanye mereka adalah untuk mengkritik segala bentuk intimidasi dan kecurangan yang disinyalir dilakukan dan direncanakan secara sistematis oleh CPP. 

Tak ada pembicaraan soal apa program CNRP pascapemilu, atau bahkan apakah ada kemungkinan mereka mau berkoalisi membentuk kabinet bersama jika ternyata CNRP memenangkan kursi tambahan di parlemen. Perlu diketahui sistem pemilu di Kamboja adalah perwakilan proporsional. Artinya kemungkinan penambahan kursi bagi partai yang lebih kecil pun sangat dimungkinkan, karena kursi dibagikan secara proporsional sesuai peroleh suara di daerah pemilihan. CNRP terus menepis kemungkinan berpeluang menang. Hasilnya ternyata di luar dugaan kelompok oposisi. 

Dengan penghitungan suara yang terbuka, disaksikan publik yang bebas merekam prosesnya dengan telepon seluler, CNRP menang cukup telak di sejumlah daerah pemilihan. Sementara partai-partai oposisi lain hampir tidak ada yang memilih. Artinya telah terjadi polarisasi dukungan hanya pada dua partai, yakni CPP dan CNRP. Inilah yang membedakan kondisi Kamboja dengan Pemilu 1999 di Indonesia. 

Indonesia ”direpotkan” oleh urusan multipartai dan koalisi antarpartai, sementara di Kamboja hal tersebut bukan isu. Untuk itu, prospek tata kelola pemerintahan pascapemilu Juli 2013 di Kamboja sangat ditentukan oleh kedewasaan para pemimpin partai dalam menjaga iklim demokrasi pascapemilu. Semogamerekamencari penyelesaian lewat jalur legislasi yang mengayomi semua aliran politik yang ada dan menghindari penggunaan kekerasan dalam wujud apa pun dalam berpolitik. 

Pemilu di Kamboja adalah sebuah investasi politik yang sangat berharga bagi negara yang pernah mengalami masa suram Perang Dingin. Siapa pun pemenangnya dalam pemilu, tidak akan dapat lagi menggunakan cara-cara represi atau intimidasi seperti yang terjadi pada dekade lalu karena hal itu merugikan mereka. Pengalaman negara lain juga membuktikan pemilu membuat elite menjadi semakin toleran terhadap demokrasi. 

Tugas Indonesia dan ASEAN adalah meyakinkan dan menjaga bagaimana agar para pemimpin yang terpilih tidak terprovokasi pihak-pihak luar yang mencoba intervensi dalam proses transisi menuju masyarakat Kamboja yang lebih demokratis. Ini bagian dari pencapaian cita-cita bersama dalam komunitas ASEAN. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar