|
KORAN
SINDO, 29 Juni 2013
Mengagetkan kalau kita buka kembali lembaran lama tentang
jumlah penduduk di Jawa Barat dan prediksinya ke depan. Lihat angka-angka ini!
Tahun 1960, baru 15,2 juta penduduk, naik menjadi 18 juta pada 1970 dan 23,4
juta pada 1980.
Pada 1990 menjadi 29,4 juta dan tahun 2000 meningkat menjadi 35,7, serta pada 2010 muncul angka 43 juta. Proyeksinya, tahun 2030 sekitar 61 jutaan. Secara persentase, penduduk memang laju pertumbuhannya menurun, tetapi secara absolut terus meningkat. Sungguh angka yang fantastis. Jadi, kalau Gubernur Jawa Barat pada 1960 hanya mengurus 15 jutaan penduduk, nanti pada 2030 mengurus penduduk tiga kali lipat. Luar biasa kan? Begitu juga masalah yang muncul nantinya berlapis lapis.
Jangan-jangan nanti tidak ada yang mau jadi Gubernur Jabar. Laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat, hanya pada periode 1960-an berada di bawah rata-rata pertumbuhan penduduk nasional. Setelah itu, setiap ada sensus penduduk selalu di atas rata-rata nasional. Untuk itu, karena jumlah penduduk Jabar relatif besar, sering dijadikan sasaran tembak dan biang kerok pertumbuhan penduduk nasional. Padahal, tuduhan itu tidak adil. Laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat berada di atas rata-rata nasional, bersamaan dengan pembangunan infrastruktur dan pembangunan sektor industri di sini.
Lihat bagaimana dahsyatnya pembangunan industri di Bogor, Bekasi, Kabupaten Bandung, Purwakarta. Investor memilih Jawa Barat karena akses ke Bandara Sukarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok begitu mudah melalui jalan tol. Lantas bagaimana kaitannya dengan jumlah penduduk? Ternyata yang bekerja di sektor industri pengolahan dan perdagangan di Jabar sekitar 40% adalah saudara kita yang inmigration.
Derasnya masuk inmigration ke Jabar seiring derasnya pembangunan yang terjadi. Ini memang harga yang harus dibayar dari suatu proses pembangunan. Kini pembangunan sektor industri di Jabar semakin berkibar. Bahkan, ke depan Subang akan menjadi zona industri karena Purwakarta sudah jenuh. Lahan pertanian yang produktif pun tergerus. Kehadiran tenaga kerja wanita di Subang sudah banyak ditunggu pabrikpabrik di sana. Tenaga kerja wanita itu sebagian besar adalah saudarasaudara kita dari Jawa Tengah.
Gelombang in-migration ke Jawa Barat pun seperti lautan manusia tidak bisa dibendung. Hukum besi mengatakan: Di mana ada gula, di situ ada semut. Apalagi upah tenaga kerja perempuan di sektor pertanian perdesaan Jawa hanya berkisar antara Rp20.000–Rp25.000 sehari. Bila dibandingkan upah minimum di Jawa Barat, hal itu sangat menggiurkan. Tidak mengherankan kalau data terakhir yang pernah dirilis, penduduk Jabar yang bukan etnis Sunda lebih dari 50%.
Pada umumnya mereka bergerak di sektor sekunder dan tersier yakni industri pengolahan, jasa, dan perdagangan kecil. Masa mendatang, masihkah Jabar menjadi target utama para pendatang sehingga lautan manusia semakin tidak bisa dibendung? Jawabannya sangat tergantung strategi pembangunan yang akan dikembangkan Jabar dan strategi yang dilakukan daerah asal in-migration. Belum lagi konsep pembangunan DKI yang kian memberikan kemudahan akses transportasi ke Jabar, penduduk komuter pun semakin tinggi. Inilah harga suatu proses pembangunan dan daerah penyangga ibu kota negara.
Dengan otonomi daerah, kabupaten/ kota lebih leluasa menarik investor untuk membangun daerahnya, yang pada gilirannya konon akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Kita masih berpandangan, dengan investasi yang besar dan pembangunan fisik, suatu pemerintahan dianggap berhasil. Pembangunan jalan tol, pabrik, bandara baru atau diperluas, mal dan pusat perbelanjaan, hotel yang menjulang, mobil mengilap berseliweran, rumah susun yang seperti kotak korek api dan lainnya.
Padahal, dari sisi lain, ada peradaban manusia yang hilang. Ada kearifan lokal yang tercerabut. Tidak kita dengar lagi irama ritmis ibu-ibu yang menumbuk padi karena sudah digantikan dengan huller yang memekakkan telinga. Ani-ani pun tergantikan dengan sabit dan ayunan pacul atau tarikan bajak berubah menjadi traktor mini. Kebersamaan dan gotong royong terkikis digantikan dengan individualisme.
Kesantunan menjadi barang mahal. Semua orang bergegas dan saling sikut dalam kehidupannya. Sebuah proses pembangunan manusia di negeri tercinta yang salah. Hari ini jumlah penduduk Jabar mencapai 43 juta lebih dan akan terus bertambah. Kini dalamnya sumur harus di atas 30 meter, kalau dulu 5 meter saja air sudah keluar. Kini sekolah ada siang, sore, bahkan malam. Dulu sekolah siang saja.
Kini rumah tidak dibangun menyamping, tetapi menjulang ke atas sebagai bukti betapa mahalnya harga tanah dan terkanibal untuk lainnya. Dulu sore hari di Bandung jaket tidak pernah lepas di badan. Kini malam hari pun udara begitu gerah. Jabar adalah Jabar. Sulit dibandingkan dengan daerah lainnya. Kontur tanahnya yang bergelombang dan subur telah menjadi pemikat orang suku Batak Karo datang ke Cianjur untuk bertani. Masyarakat Jabar memiliki keramahan dan kesantunan yang tinggi sehingga sangat menerima para pendatang.
Lantas bagaimana bisa membendung penduduk dari daerah lain untuk datang ke Jawa Barat? Mau cari pekerjaan, melanjutkan pendidikan, menjadi PKL, tambal ban, bank keliling, tukang kredit, warung padang, supir angkot? Semua terbuka dan sangat menjanjikan.
Allah begitu pemurah untuk Jawa Barat. Allah begitu sayang dengan Jawa Barat. Seperti kata Pak Heryawan, Gubernur Jawa Barat, di televisi. Semua ada di sini. Selamat Hari Keluarga. ●
Pada 1990 menjadi 29,4 juta dan tahun 2000 meningkat menjadi 35,7, serta pada 2010 muncul angka 43 juta. Proyeksinya, tahun 2030 sekitar 61 jutaan. Secara persentase, penduduk memang laju pertumbuhannya menurun, tetapi secara absolut terus meningkat. Sungguh angka yang fantastis. Jadi, kalau Gubernur Jawa Barat pada 1960 hanya mengurus 15 jutaan penduduk, nanti pada 2030 mengurus penduduk tiga kali lipat. Luar biasa kan? Begitu juga masalah yang muncul nantinya berlapis lapis.
Jangan-jangan nanti tidak ada yang mau jadi Gubernur Jabar. Laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat, hanya pada periode 1960-an berada di bawah rata-rata pertumbuhan penduduk nasional. Setelah itu, setiap ada sensus penduduk selalu di atas rata-rata nasional. Untuk itu, karena jumlah penduduk Jabar relatif besar, sering dijadikan sasaran tembak dan biang kerok pertumbuhan penduduk nasional. Padahal, tuduhan itu tidak adil. Laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat berada di atas rata-rata nasional, bersamaan dengan pembangunan infrastruktur dan pembangunan sektor industri di sini.
Lihat bagaimana dahsyatnya pembangunan industri di Bogor, Bekasi, Kabupaten Bandung, Purwakarta. Investor memilih Jawa Barat karena akses ke Bandara Sukarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok begitu mudah melalui jalan tol. Lantas bagaimana kaitannya dengan jumlah penduduk? Ternyata yang bekerja di sektor industri pengolahan dan perdagangan di Jabar sekitar 40% adalah saudara kita yang inmigration.
Derasnya masuk inmigration ke Jabar seiring derasnya pembangunan yang terjadi. Ini memang harga yang harus dibayar dari suatu proses pembangunan. Kini pembangunan sektor industri di Jabar semakin berkibar. Bahkan, ke depan Subang akan menjadi zona industri karena Purwakarta sudah jenuh. Lahan pertanian yang produktif pun tergerus. Kehadiran tenaga kerja wanita di Subang sudah banyak ditunggu pabrikpabrik di sana. Tenaga kerja wanita itu sebagian besar adalah saudarasaudara kita dari Jawa Tengah.
Gelombang in-migration ke Jawa Barat pun seperti lautan manusia tidak bisa dibendung. Hukum besi mengatakan: Di mana ada gula, di situ ada semut. Apalagi upah tenaga kerja perempuan di sektor pertanian perdesaan Jawa hanya berkisar antara Rp20.000–Rp25.000 sehari. Bila dibandingkan upah minimum di Jawa Barat, hal itu sangat menggiurkan. Tidak mengherankan kalau data terakhir yang pernah dirilis, penduduk Jabar yang bukan etnis Sunda lebih dari 50%.
Pada umumnya mereka bergerak di sektor sekunder dan tersier yakni industri pengolahan, jasa, dan perdagangan kecil. Masa mendatang, masihkah Jabar menjadi target utama para pendatang sehingga lautan manusia semakin tidak bisa dibendung? Jawabannya sangat tergantung strategi pembangunan yang akan dikembangkan Jabar dan strategi yang dilakukan daerah asal in-migration. Belum lagi konsep pembangunan DKI yang kian memberikan kemudahan akses transportasi ke Jabar, penduduk komuter pun semakin tinggi. Inilah harga suatu proses pembangunan dan daerah penyangga ibu kota negara.
Dengan otonomi daerah, kabupaten/ kota lebih leluasa menarik investor untuk membangun daerahnya, yang pada gilirannya konon akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Kita masih berpandangan, dengan investasi yang besar dan pembangunan fisik, suatu pemerintahan dianggap berhasil. Pembangunan jalan tol, pabrik, bandara baru atau diperluas, mal dan pusat perbelanjaan, hotel yang menjulang, mobil mengilap berseliweran, rumah susun yang seperti kotak korek api dan lainnya.
Padahal, dari sisi lain, ada peradaban manusia yang hilang. Ada kearifan lokal yang tercerabut. Tidak kita dengar lagi irama ritmis ibu-ibu yang menumbuk padi karena sudah digantikan dengan huller yang memekakkan telinga. Ani-ani pun tergantikan dengan sabit dan ayunan pacul atau tarikan bajak berubah menjadi traktor mini. Kebersamaan dan gotong royong terkikis digantikan dengan individualisme.
Kesantunan menjadi barang mahal. Semua orang bergegas dan saling sikut dalam kehidupannya. Sebuah proses pembangunan manusia di negeri tercinta yang salah. Hari ini jumlah penduduk Jabar mencapai 43 juta lebih dan akan terus bertambah. Kini dalamnya sumur harus di atas 30 meter, kalau dulu 5 meter saja air sudah keluar. Kini sekolah ada siang, sore, bahkan malam. Dulu sekolah siang saja.
Kini rumah tidak dibangun menyamping, tetapi menjulang ke atas sebagai bukti betapa mahalnya harga tanah dan terkanibal untuk lainnya. Dulu sore hari di Bandung jaket tidak pernah lepas di badan. Kini malam hari pun udara begitu gerah. Jabar adalah Jabar. Sulit dibandingkan dengan daerah lainnya. Kontur tanahnya yang bergelombang dan subur telah menjadi pemikat orang suku Batak Karo datang ke Cianjur untuk bertani. Masyarakat Jabar memiliki keramahan dan kesantunan yang tinggi sehingga sangat menerima para pendatang.
Lantas bagaimana bisa membendung penduduk dari daerah lain untuk datang ke Jawa Barat? Mau cari pekerjaan, melanjutkan pendidikan, menjadi PKL, tambal ban, bank keliling, tukang kredit, warung padang, supir angkot? Semua terbuka dan sangat menjanjikan.
Allah begitu pemurah untuk Jawa Barat. Allah begitu sayang dengan Jawa Barat. Seperti kata Pak Heryawan, Gubernur Jawa Barat, di televisi. Semua ada di sini. Selamat Hari Keluarga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar