KORAN SINDO, 30
Juli 2013
|
Alhamdulillah, Profesor Romli Atmasasmita
berkenan menanggapi tulisan saya dengan mengusung judul “Hak Napi Bukan HAM,
tapi Napi Bukan Binatang?” (25/7).
Pilihan judul yang cenderung provokatif itu justru menjadi suplemen semangat untuk membantah argumen Profesor. Seperti juga sebelumnya, tulisan ini murni pendapat saya pribadi. Bahkan tak satu titik-koma pun ada titipan dari pimpinan Satgas. Profesor mengawali tulisan dengan mengklaim perannya ketika menyusun berbagai RUU antikorupsi, sembari mengatakan tak satu kali pun bertemu muka dengan saya dalam forum.
Profesor salah satu kampiun hukum pidana paling ternama di negeri ini. Saya tak ragu, utamanya setelah menyimak sendiri kejeniusan Profesor dalam satu sesi diskusi kecil terkait RUU Perampasan Aset di debating room Fakultas Hukum UGM. Mungkin saya bukan siapasiapa, saya hanyalah anak muda “kemarin sore”.
Tetapi jangan lupa, kebenaran bukan hanya monopoli guru besar, melainkan juga bisa hadir dari siapa saja, termasuk kontribusi anak muda yang acapkali masih orisinal. Menurut plesetan Profesor Mahfud MD, makna orisinal artinya yang berpendapat bukan sesuai pendapatan dan berlogika bukan sesuai logistik.
Argumen hukum saya dalam tulisan pertama tak akan diulangi, tetapi penambahan argumen dalam tulisan ini satu kesatuan dengan tulisan sebelumnya. Argumen tambahan pertama saya, Profesor keliru ketika menggunakan frasa pembatasan. Yang terjadi bukan pembatasan, melainkan pengetatan melalui penambahan syarat-syarat.
Siapa pun dan berapa pun napinya, sepanjang memenuhi syarat dan tata cara tetap berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, tanpa ada pembatasan. Contoh sederhana, kriteria kelulusan siswa pada pelajaran Matematika minimal harus memiliki nilai 6. Sebelum ujian guru sudah menentukan jumlah murid yang lulus pelajaran Matematika sebanyak 30 orang, tidak lebih.
Ternyata dari 50 siswa yang mengikuti ujian, jumlah nilai yang melebihi 6 sebanyak 40 orang. Itu artinya, akan ada 10 orang yang harus digugurkan karena ada pembatasan yang melanggar hak siswa untuk lulus. Berbeda dengan pembatasan, pengetatan dilakukan melalui pemberatan syarat. Kriteria kelulusan siswa yang awalnya harus memiliki nilai minimal 6 lantas dinaikkan menjadi 7.
Maka itu, siapa pun dan berapa pun siswa yang mendapatkan nilai minimal 7 harus diluluskan tanpa pembatasan. Pendekatannya lebih pada syarat dan logika inilah yang juga diterapkan pada PP 99/2012 dengan menambahkan syarat pembayaran denda, uang pengganti, dan bersedia membongkar kejahatan.
Kedua, Profesor kembali keliru memaknai hak napi mendapatkan remisi menurut PP 99/2012 dalam konstruksi HAM. PP 99/2012 hanya mengatur penambahan syarat hak napi mendapat remisi dan pembebasan bersyarat (pembinaan) bagi napi kejahatan tertentu. Saya tak mengatakan napi tidak berhak atas HAM sehingga disebut Profesor sebagai binatang meskipun dengan kalimat interogatif.
Hak asasi napi sebagai manusia tetap diakui, seperti hak hidup, hak beribadah menurut kepercayaan yang dapat dinikmati tanpa ada persyaratan tertentu, dan melekat sejak napi terlahir sebagai manusia. Saya memilah antara HAM dan hak napi mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat sesuai UUD 1945, UU HAM, dan UU Pemasyarakatan.
Membaca PP 99/2012 tidak boleh sepotong, tetapi juga perlu melihat PP 32/1999 yang juga mengakui hak berpolitik napi (hak pilih dan menjadi anggota partai) serta hak keperdataan lainnya (vide Pasal 51). PP 99/2012 justru regulasi yang sangat humanis dan seolah meluruskan adagium bahwa hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Selain pengetatan kepada napi korupsi, bandar narkoba, dan terorisme, Pasal 34C PP 99/2012 juga melonggarkan pemberian remisi napi dengan masa pidana paling lama satu tahun, berusia di atas 70 tahun, atau menderita sakit berkepanjangan. Klausul ini tentu sejalan dengan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Ketiga, terkait isu diskriminasi dan pelanggaran HAM. Profesor tak perlu jauh-jauh mengutip ICCPR karena sudah terjawab dengan Pasal 12 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyatakan “dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di lapas dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.”
Dengan begitu, dalil Profesor yang menyamaratakan pembinaan napi dan pemberian remisinya kembali keliru karena UU Pemasyarakatan justru memerintahkan pembedaan. Dengan pembedaan napi berdasarkan tindak pidana, kita mengenal ada lapas khusus narkotika, pengamanan maximum security, minimum security, dan pola pembinaan deradikalisasi untuk teroris. Jika digebyah uyah dan tidak dibedakan, apa kata dunia ketika napi kasus pencurian ayam juga mengikuti deradikalisasi, padahal bukan teroris.
Keempat, Profesor terjebak penafsiran keliru dan terlihat hanya “sibuk” menyoal prosedur bahwa justice collaborator tidak boleh diterapkan kepada napi. Seolah menempatkan kebenaran materiil menjadi urusan nomor sekian, padahal esensi keadilan dalam lingkup hukum pidana terletak di situ.
Profesor bersikukuh bahwa napi tidak boleh membantu pengungkapan kejahatan karena seharusnya dilakukan pada tahap penyidikan dan penuntutan sesuai UNCAC. Coba dicermati, Pasal 37 ayat (2) UNCAC menggunakan frasa “shall consider providing the possibility” alias wajib mempertimbangkan untuk memberi kemungkinan. Artinya, klausul itu bersifat fakultatif dan bukan imperatif.
Di sisi lain, tulisan ini lebih fokus membangun argumen bagaimana sebuah kejahatan bisa terungkap. Tesisnya sederhana, jika terpidana membantu mengungkap kejahatan, tidak ada salahnya negara memberi reward berupa remisi seperti Vincentius Amin Sutanto yang mengungkap skandal pajak PT Asian Agri senilai Rp1,2 triliun. Toh, ada dasar hukum PP 99/2012, Peraturan Bersama, dan SEMA.
UNCAC boleh saja mengatur justice collaborator diterapkan pada tahap penyidikan dan penuntutan, itu ketentuan minimal. Namun, saya berpendapat bahwa Indonesia justru selangkah lebih progresif daripada UNCAC. Mengapa? Karena UNCAC memiliki kelemahan tidak bisa menjerat justice collaborator yang baru bersedia mengungkap kejahatan setelah hakim mengetuk palu inkracht.
Kelima, dengan segala hormat, pembaca budiman dapat mengecek sendiri inkonsistensi pendapat Profesor dulu dan sekarang. Di banyak media online tanggal 17 Agustus 2008, Profesor mengatakan, “Langkah Menkumham menghapus remisi saya dukung. Kalau perlu tidak ada remisi untuk koruptor dan penjahat-penjahat lainnya. Koruptor perlu dihukum kerja sosial. Tempatkan mereka di tempat rakyat yang menderita. Tempatkan mereka di Pasar Induk Kramat Jati untuk bersih-bersih.”
Kutipan ini tentu meruntuhkan semua argumen Profesor di dua tulisan sebelumnya. Terakhir, hasil penelitian Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM menunjukkan pemberian remisi koruptor sebelum PP 99/2012 cenderung longgar. Simulasi PuKAT terhadap oknum jaksa penerima suap kasus BLBI Urip Tri Gunawan menyatakan bahwa apabila obral remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan, dan pembebasan bersyarat diteruskan, pada Juli 2016 Urip sudah bisa keluar penjara dan hanya dikenakan wajib lapor.
Itu artinya, Urip hanya perlu menghuni lapas selama delapan tahun lebih, kurang dari separuh vonis hakim selama 20 tahun. Lantas di mana rasa keadilan masyarakat? Di sinilah PP 99/2012 mencoba menjawab rasa keadilan itu. ●
Pilihan judul yang cenderung provokatif itu justru menjadi suplemen semangat untuk membantah argumen Profesor. Seperti juga sebelumnya, tulisan ini murni pendapat saya pribadi. Bahkan tak satu titik-koma pun ada titipan dari pimpinan Satgas. Profesor mengawali tulisan dengan mengklaim perannya ketika menyusun berbagai RUU antikorupsi, sembari mengatakan tak satu kali pun bertemu muka dengan saya dalam forum.
Profesor salah satu kampiun hukum pidana paling ternama di negeri ini. Saya tak ragu, utamanya setelah menyimak sendiri kejeniusan Profesor dalam satu sesi diskusi kecil terkait RUU Perampasan Aset di debating room Fakultas Hukum UGM. Mungkin saya bukan siapasiapa, saya hanyalah anak muda “kemarin sore”.
Tetapi jangan lupa, kebenaran bukan hanya monopoli guru besar, melainkan juga bisa hadir dari siapa saja, termasuk kontribusi anak muda yang acapkali masih orisinal. Menurut plesetan Profesor Mahfud MD, makna orisinal artinya yang berpendapat bukan sesuai pendapatan dan berlogika bukan sesuai logistik.
Argumen hukum saya dalam tulisan pertama tak akan diulangi, tetapi penambahan argumen dalam tulisan ini satu kesatuan dengan tulisan sebelumnya. Argumen tambahan pertama saya, Profesor keliru ketika menggunakan frasa pembatasan. Yang terjadi bukan pembatasan, melainkan pengetatan melalui penambahan syarat-syarat.
Siapa pun dan berapa pun napinya, sepanjang memenuhi syarat dan tata cara tetap berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, tanpa ada pembatasan. Contoh sederhana, kriteria kelulusan siswa pada pelajaran Matematika minimal harus memiliki nilai 6. Sebelum ujian guru sudah menentukan jumlah murid yang lulus pelajaran Matematika sebanyak 30 orang, tidak lebih.
Ternyata dari 50 siswa yang mengikuti ujian, jumlah nilai yang melebihi 6 sebanyak 40 orang. Itu artinya, akan ada 10 orang yang harus digugurkan karena ada pembatasan yang melanggar hak siswa untuk lulus. Berbeda dengan pembatasan, pengetatan dilakukan melalui pemberatan syarat. Kriteria kelulusan siswa yang awalnya harus memiliki nilai minimal 6 lantas dinaikkan menjadi 7.
Maka itu, siapa pun dan berapa pun siswa yang mendapatkan nilai minimal 7 harus diluluskan tanpa pembatasan. Pendekatannya lebih pada syarat dan logika inilah yang juga diterapkan pada PP 99/2012 dengan menambahkan syarat pembayaran denda, uang pengganti, dan bersedia membongkar kejahatan.
Kedua, Profesor kembali keliru memaknai hak napi mendapatkan remisi menurut PP 99/2012 dalam konstruksi HAM. PP 99/2012 hanya mengatur penambahan syarat hak napi mendapat remisi dan pembebasan bersyarat (pembinaan) bagi napi kejahatan tertentu. Saya tak mengatakan napi tidak berhak atas HAM sehingga disebut Profesor sebagai binatang meskipun dengan kalimat interogatif.
Hak asasi napi sebagai manusia tetap diakui, seperti hak hidup, hak beribadah menurut kepercayaan yang dapat dinikmati tanpa ada persyaratan tertentu, dan melekat sejak napi terlahir sebagai manusia. Saya memilah antara HAM dan hak napi mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat sesuai UUD 1945, UU HAM, dan UU Pemasyarakatan.
Membaca PP 99/2012 tidak boleh sepotong, tetapi juga perlu melihat PP 32/1999 yang juga mengakui hak berpolitik napi (hak pilih dan menjadi anggota partai) serta hak keperdataan lainnya (vide Pasal 51). PP 99/2012 justru regulasi yang sangat humanis dan seolah meluruskan adagium bahwa hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Selain pengetatan kepada napi korupsi, bandar narkoba, dan terorisme, Pasal 34C PP 99/2012 juga melonggarkan pemberian remisi napi dengan masa pidana paling lama satu tahun, berusia di atas 70 tahun, atau menderita sakit berkepanjangan. Klausul ini tentu sejalan dengan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Ketiga, terkait isu diskriminasi dan pelanggaran HAM. Profesor tak perlu jauh-jauh mengutip ICCPR karena sudah terjawab dengan Pasal 12 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyatakan “dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di lapas dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.”
Dengan begitu, dalil Profesor yang menyamaratakan pembinaan napi dan pemberian remisinya kembali keliru karena UU Pemasyarakatan justru memerintahkan pembedaan. Dengan pembedaan napi berdasarkan tindak pidana, kita mengenal ada lapas khusus narkotika, pengamanan maximum security, minimum security, dan pola pembinaan deradikalisasi untuk teroris. Jika digebyah uyah dan tidak dibedakan, apa kata dunia ketika napi kasus pencurian ayam juga mengikuti deradikalisasi, padahal bukan teroris.
Keempat, Profesor terjebak penafsiran keliru dan terlihat hanya “sibuk” menyoal prosedur bahwa justice collaborator tidak boleh diterapkan kepada napi. Seolah menempatkan kebenaran materiil menjadi urusan nomor sekian, padahal esensi keadilan dalam lingkup hukum pidana terletak di situ.
Profesor bersikukuh bahwa napi tidak boleh membantu pengungkapan kejahatan karena seharusnya dilakukan pada tahap penyidikan dan penuntutan sesuai UNCAC. Coba dicermati, Pasal 37 ayat (2) UNCAC menggunakan frasa “shall consider providing the possibility” alias wajib mempertimbangkan untuk memberi kemungkinan. Artinya, klausul itu bersifat fakultatif dan bukan imperatif.
Di sisi lain, tulisan ini lebih fokus membangun argumen bagaimana sebuah kejahatan bisa terungkap. Tesisnya sederhana, jika terpidana membantu mengungkap kejahatan, tidak ada salahnya negara memberi reward berupa remisi seperti Vincentius Amin Sutanto yang mengungkap skandal pajak PT Asian Agri senilai Rp1,2 triliun. Toh, ada dasar hukum PP 99/2012, Peraturan Bersama, dan SEMA.
UNCAC boleh saja mengatur justice collaborator diterapkan pada tahap penyidikan dan penuntutan, itu ketentuan minimal. Namun, saya berpendapat bahwa Indonesia justru selangkah lebih progresif daripada UNCAC. Mengapa? Karena UNCAC memiliki kelemahan tidak bisa menjerat justice collaborator yang baru bersedia mengungkap kejahatan setelah hakim mengetuk palu inkracht.
Kelima, dengan segala hormat, pembaca budiman dapat mengecek sendiri inkonsistensi pendapat Profesor dulu dan sekarang. Di banyak media online tanggal 17 Agustus 2008, Profesor mengatakan, “Langkah Menkumham menghapus remisi saya dukung. Kalau perlu tidak ada remisi untuk koruptor dan penjahat-penjahat lainnya. Koruptor perlu dihukum kerja sosial. Tempatkan mereka di tempat rakyat yang menderita. Tempatkan mereka di Pasar Induk Kramat Jati untuk bersih-bersih.”
Kutipan ini tentu meruntuhkan semua argumen Profesor di dua tulisan sebelumnya. Terakhir, hasil penelitian Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM menunjukkan pemberian remisi koruptor sebelum PP 99/2012 cenderung longgar. Simulasi PuKAT terhadap oknum jaksa penerima suap kasus BLBI Urip Tri Gunawan menyatakan bahwa apabila obral remisi umum, remisi khusus, remisi tambahan, dan pembebasan bersyarat diteruskan, pada Juli 2016 Urip sudah bisa keluar penjara dan hanya dikenakan wajib lapor.
Itu artinya, Urip hanya perlu menghuni lapas selama delapan tahun lebih, kurang dari separuh vonis hakim selama 20 tahun. Lantas di mana rasa keadilan masyarakat? Di sinilah PP 99/2012 mencoba menjawab rasa keadilan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar