Selasa, 30 Juli 2013

Selamatkan Pulau Jawa

Selamatkan Pulau Jawa
Bun Yamin Ramto ;  Wakil Gubernur KDH DKI Jakarta 1984-01988
KOMPAS, 29 Juli 2013


Pulau Jawa yang luasnya hanya enam persen dari luas daratan Indonesia telah dihuni oleh 60 persen penduduk Indonesia.

Jumlah uang yang beredar di Pulau Jawa, dilihat dari simpanan dan kredit saja, juga mencapai 76 persen dan 74 persen. Sementara itu sumbangan Pulau Jawa pada produk domestik bruto tercatat tidak kurang dari 57,6 persen (2012) atau hampir 60 persen.
Data dasar di atas menunjukkan betapa besar beban yang harus dipikul Pulau Jawa, sehingga tidak seimbang dengan luar Pulau Jawa. Upaya memeratakan penduduk kurang berhasil karena semua fasilitas ada di Jawa. Sebut saja pendidikan. Tujuh dari delapan perguruan tinggi terbaik ada di Pulau Jawa, sehingga jumlah mahasiswa di Pulau Jawa rata-rata lebih besar daripada siswa SLTP sekalipun. Contohnya di DKI Jakarta, jumlah mahasiswa 1,2 juta, sedangkan jumlah siswa SLTP hanya 319.000 siswa (2011).
Akibat beratnya beban, hampir seluruh Pulau Jawa selalu dilanda banjir pada waktu musim hujan dan kering kerontang pada musim kemarau.
Setiap tahun selalu muncul kesulitan dan keresahan penduduk menghadapi hari raya, karena ada arus mudik dan arus balik yang tidak dapat ditampung oleh moda transportasi (darat, laut, dan udara).
Sebenarnya kedua hal di atas sudah diprediksi para ahli tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka juga sudah menemukan solusinya, yaitu pembangunan infrastruktur dan penanganan tata air secara terpadu di seluruh Pulau Jawa. Dulu sudah ada rencana membangun waduk pada setiap hulu sungai besar di Pulau Jawa; perencanaan terpadu Jagopuncur (Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur); dan master plan (rencana induk) penanggulangan banjir di Jakarta (1973).
Sebagian rencana pembangunan sudah dikerjakan/diwujudkan, seperti pembangunan Waduk Jatiluhur untuk Sungai Citarum dan Waduk Karangkates untuk Sungai Brantas, serta sebagian upaya penanggulangan banjir di Jakarta.
Namun, pembangunan itu tidak berlanjut ke sungai-sungai lain. Bahkan yang sudah dibangun tidak dipelihara dengan baik, sehingga banyak waduk yang dangkal dan saluran airnya tidak lancar.
Pembangunan jalan trans-Jawa belum juga terwujud, kecuali setelah Orde Baru, dibangun Jalan Tol Jagorawi dan Tol Jakarta-Cikampek, yang panjangnya kurang dari 200 kilometer. Padahal Daendels saja tahun 1811 sudah membangun jalan dari Anyer ke Panarukan sepanjang sekitar 1.000 km. Proyek-proyek besar itu dianggap sebagian orang sebagai proyek mercusuar, sehingga banyak yang dibatalkan.
Perbaiki akses
Untuk mengurangi beban Pulau Jawa perlu aksesibilitas melalui darat, laut, dan udara, dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di seluruh Tanah Air dan aksesibilitas internal pulau-pulau itu sendiri. Dengan demikian, ekonomi juga tumbuh di luar Jawa.
Zaman Orde Lama—tahun 1960-an—ketika penulis baru selesai pendidikan di ITB, teman-teman di ITB sudah merencanakan jembatan Selat Sunda. Survei sudah dilakukan para mahasiswa dengan dipimpin dosen mereka.
Pada periode sama, Bung Karno pernah ditawari bantuan membangun jalan trans- Sumatera oleh perusahaan otomotif terbesar di Amerika Serikat, Ford, asalkan perusahaan itu boleh memonopoli penjualan otomotif di Indonesia. Tawaran ini ditolak Bung Karno, tetapi rencana membangun trans-Sumatera berlanjut sampai 1970-an, termasuk trans- Sulawesi, trans-Kalimantan, dan trans-Irian.
Suatu ketika penulis diajak Menteri Pekerjaan Umum, ketika itu Prof Dr Ir Sutami, meninjau pembangunan Jembatan Rantau Berangin yang menghubungkan jalan dari Sumatera Barat ke Riau. Malam harinya, di rumah dinas Gubernur Riau Arifin Ahmad, penulis mengobrol dengan Sutami tentang pembangunan trans-Jawa, trans-Sumatera, trans-Sulawesi, trans-Kalimantan, dan trans- Irian.
Penulis tanya berapa lama rencana penyelesaiannya? Jawaban Sutami tegas: Trans- Jawa 10 tahun; trans-Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan masing-masing 20 tahun; dan trans-Irian 30 tahun.
Seandainya semua rencana ideal Sutami ini berkelanjutan dan berkesinambungan, Indonesia mestinya sudah memiliki aksesibilitas bertaraf high-way di setiap pulau besar (5 pulau) pada tahun 2000. Apalagi kalau disertai peningkatan fungsi kereta api di Pulau Jawa, Sumatera, dan pulau besar lainnya. Indonesia tentu tidak akan terlalu jauh ketinggalan dari RRC yang sekarang sudah memilikihigh-way hampir mencapai 16.000 km dan 6.000 km jalan kereta api high-speed, bandara bertaraf internasional di semua kota besar, dan waduk raksasa dari Sungai Yang Tze Kiang.
Namun, apa mau dikata, semua rencana ideal tadi hilang tak tentu rimbanya. Muncul rencana-rencana lokal dengan dalih otonomi daerah yang kurang terkoordinasi dengan baik, sehingga cenderung merusak lingkungan hidup.
Biaya pembangunan
Tidak salah kiranya kalau sekarang kita memikirkan kembali jalan keluar biaya pembangunan proyek-proyek strategis di atas. Bukankah omzet otomotif mobil saja per tahun (2012) lebih dari Rp 200 triliun dengan total penjualan 1,1 juta unit? Belum lagi kendaraan bermotor roda dua yang lebih dari 7 juta unit. Sebagian besar di Pulau Jawa.
Seandainya proyek-proyek high-way tadi kita teruskan, pemerintah bisa meminta para produsen otomotif menyisihkan sebagian kecil keuntungan mereka untuk menyelesaikan pembangunan jalan trans di lima pulau besar di Indonesia. Partisipasi berlangsung bertahap selama 10-30 tahun. ”Bayaran”-nya adalah  traffic generation yang meningkatkan demand terhadap otomotif, baik untuk angkutan orang maupun barang.
Model partisipasi ini ada dua: partisipasi langsung sebagai penyerta modal (investasi) atau berupa pinjaman jangka panjang dengan bunga rendah kepada pemerintah untuk pembebasan tanah penduduk. Dengan demikian, investor lebih tertarik, karena pembangun jalan-jalan trans hanya memikul biaya konstruksi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar