|
KOMPAS,
29 Juli 2013
Pulau Jawa yang luasnya hanya enam
persen dari luas daratan Indonesia telah dihuni oleh 60 persen penduduk
Indonesia.
Jumlah uang
yang beredar di Pulau Jawa, dilihat dari simpanan dan kredit saja, juga
mencapai 76 persen dan 74 persen. Sementara itu sumbangan Pulau Jawa pada
produk domestik bruto tercatat tidak kurang dari 57,6 persen (2012) atau hampir
60 persen.
Data dasar di
atas menunjukkan betapa besar beban yang harus dipikul Pulau Jawa, sehingga
tidak seimbang dengan luar Pulau Jawa. Upaya memeratakan penduduk kurang
berhasil karena semua fasilitas ada di Jawa. Sebut saja pendidikan. Tujuh dari
delapan perguruan tinggi terbaik ada di Pulau Jawa, sehingga jumlah mahasiswa
di Pulau Jawa rata-rata lebih besar daripada siswa SLTP sekalipun. Contohnya di
DKI Jakarta, jumlah mahasiswa 1,2 juta, sedangkan jumlah siswa SLTP hanya 319.000
siswa (2011).
Akibat
beratnya beban, hampir seluruh Pulau Jawa selalu dilanda banjir pada waktu
musim hujan dan kering kerontang pada musim kemarau.
Setiap tahun
selalu muncul kesulitan dan keresahan penduduk menghadapi hari raya, karena ada
arus mudik dan arus balik yang tidak dapat ditampung oleh moda transportasi
(darat, laut, dan udara).
Sebenarnya
kedua hal di atas sudah diprediksi para ahli tahun 1960-an dan 1970-an. Mereka
juga sudah menemukan solusinya, yaitu pembangunan infrastruktur dan penanganan
tata air secara terpadu di seluruh Pulau Jawa. Dulu sudah ada rencana membangun
waduk pada setiap hulu sungai besar di Pulau Jawa; perencanaan terpadu
Jagopuncur (Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur); dan master plan (rencana
induk) penanggulangan banjir di Jakarta (1973).
Sebagian
rencana pembangunan sudah dikerjakan/diwujudkan, seperti pembangunan Waduk
Jatiluhur untuk Sungai Citarum dan Waduk Karangkates untuk Sungai Brantas,
serta sebagian upaya penanggulangan banjir di Jakarta.
Namun,
pembangunan itu tidak berlanjut ke sungai-sungai lain. Bahkan yang sudah
dibangun tidak dipelihara dengan baik, sehingga banyak waduk yang dangkal dan
saluran airnya tidak lancar.
Pembangunan
jalan trans-Jawa belum juga terwujud, kecuali setelah Orde Baru, dibangun Jalan
Tol Jagorawi dan Tol Jakarta-Cikampek, yang panjangnya kurang dari 200
kilometer. Padahal Daendels saja tahun 1811 sudah membangun jalan dari Anyer ke
Panarukan sepanjang sekitar 1.000 km. Proyek-proyek besar itu dianggap sebagian
orang sebagai proyek mercusuar, sehingga banyak yang dibatalkan.
Perbaiki akses
Untuk
mengurangi beban Pulau Jawa perlu aksesibilitas melalui darat, laut, dan udara,
dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di seluruh Tanah Air dan aksesibilitas
internal pulau-pulau itu sendiri. Dengan demikian, ekonomi juga tumbuh di luar
Jawa.
Zaman Orde
Lama—tahun 1960-an—ketika penulis baru selesai pendidikan di ITB, teman-teman
di ITB sudah merencanakan jembatan Selat Sunda. Survei sudah dilakukan para
mahasiswa dengan dipimpin dosen mereka.
Pada periode
sama, Bung Karno pernah ditawari bantuan membangun jalan trans- Sumatera oleh
perusahaan otomotif terbesar di Amerika Serikat, Ford, asalkan perusahaan itu
boleh memonopoli penjualan otomotif di Indonesia. Tawaran ini ditolak Bung
Karno, tetapi rencana membangun trans-Sumatera berlanjut sampai 1970-an,
termasuk trans- Sulawesi, trans-Kalimantan, dan trans-Irian.
Suatu ketika
penulis diajak Menteri Pekerjaan Umum, ketika itu Prof Dr Ir Sutami, meninjau
pembangunan Jembatan Rantau Berangin yang menghubungkan jalan dari Sumatera
Barat ke Riau. Malam harinya, di rumah dinas Gubernur Riau Arifin Ahmad,
penulis mengobrol dengan Sutami tentang pembangunan trans-Jawa, trans-Sumatera,
trans-Sulawesi, trans-Kalimantan, dan trans- Irian.
Penulis tanya
berapa lama rencana penyelesaiannya? Jawaban Sutami tegas: Trans- Jawa 10
tahun; trans-Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan masing-masing 20 tahun; dan
trans-Irian 30 tahun.
Seandainya
semua rencana ideal Sutami ini berkelanjutan dan berkesinambungan, Indonesia
mestinya sudah memiliki aksesibilitas bertaraf high-way di setiap pulau besar (5 pulau) pada tahun 2000.
Apalagi kalau disertai peningkatan fungsi kereta api di Pulau Jawa, Sumatera,
dan pulau besar lainnya. Indonesia tentu tidak akan terlalu jauh ketinggalan
dari RRC yang sekarang sudah memilikihigh-way hampir mencapai 16.000 km
dan 6.000 km jalan kereta api high-speed,
bandara bertaraf internasional di semua kota besar, dan waduk raksasa dari
Sungai Yang Tze Kiang.
Namun, apa mau
dikata, semua rencana ideal tadi hilang tak tentu rimbanya. Muncul
rencana-rencana lokal dengan dalih otonomi daerah yang kurang terkoordinasi
dengan baik, sehingga cenderung merusak lingkungan hidup.
Biaya pembangunan
Tidak salah
kiranya kalau sekarang kita memikirkan kembali jalan keluar biaya pembangunan
proyek-proyek strategis di atas. Bukankah omzet otomotif mobil saja per tahun
(2012) lebih dari Rp 200 triliun dengan total penjualan 1,1 juta unit? Belum
lagi kendaraan bermotor roda dua yang lebih dari 7 juta unit. Sebagian besar di
Pulau Jawa.
Seandainya
proyek-proyek high-way tadi
kita teruskan, pemerintah bisa meminta para produsen otomotif menyisihkan
sebagian kecil keuntungan mereka untuk menyelesaikan pembangunan jalan trans di
lima pulau besar di Indonesia. Partisipasi berlangsung bertahap selama 10-30
tahun. ”Bayaran”-nya adalah traffic
generation yang meningkatkan demand terhadap
otomotif, baik untuk angkutan orang maupun barang.
Model
partisipasi ini ada dua: partisipasi langsung sebagai penyerta modal
(investasi) atau berupa pinjaman jangka panjang dengan bunga rendah kepada
pemerintah untuk pembebasan tanah penduduk. Dengan demikian, investor lebih
tertarik, karena pembangun jalan-jalan trans hanya memikul biaya konstruksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar