|
MEDIA
INDONESIA, 30 Juli 2013
SAAT sahur
di sebuah musala di Sampang, Madura, kita membayangkan sekelompok orang
bermunajat, memohonkan kebaikan bagi tetangga, teman, dan handai tolan. “Tuhan, kenyangkanlah setiap yang lapar di
antara kami; Gusti, lapangkanlah mereka yang sedang dalam kesulitan.”
Itu petikan
salah satu doa Imam Syiah, yang menjadi anutan mereka. Saat Ramadan, khususnya
pada setiap habis salat, doa semacam itu, yang di dalamnya selalu menyertakan
orang lain, banyak mereka lantunkan, sesuai dengan tuntunan akhlak ke-12 Imam
Syiah Istna’asyariyah.
Namun, rupanya ajaran agar berbudi
baik itu tidak cukup membuat mereka hidup tenang. Mereka dianggap sesat
sehingga harus dikucilkan dan mengungsi di negeri sendiri. Rumah dan pesantren
mereka dibakar dan aparat negara melakukan pembiaran lalu mengatakan itu karena
mereka ‘berkonflik’ dengan yang mayoritas, bukan sedang dizalimi atau ditindas.
Mereka dituduh menyeleweng, atau
kafir, sehingga mesti bertobat. Akibat tudingan model begitu, tidak
mengherankan bila dalam pertemuan dengan pengungsi Sampang di Surabaya pekan
lalu, Menteri Agama Suryadharma Ali dan ulama yang mendampinginya mengotot
meminta para pengikut Syiah itu melakukan taubatan nasuha lebih dulu sebelum
dipulangkan ke Sampang. Menurut Direktur LBH Universalia Hertasning Ichlas,
yang mendampingi pengungsi, keyakinan yang didorong tekanan dan paksaan model
itu tidak konstitusional, semu, dan memalukan bagi cara dakwah ahlus sunnah.
Tuduhan yang lain ialah bahwa
Quran Syiah berbeda. Namun, anggapan itu dibantah banyak pakar muslim, baik
dari Syiah ataupun Sunni. Dalam sebuah seminar Sunni-Syiah di Jakarta pada
1980-an, Nurcholish Madjid (almarhum) terpaksa menunjukkan dua kitab Quran
(yang dibelinya di Iran) kepada peserta seminar. Keduanya sama dengan Quran
kita. Cak Nur rupanya tak suka mayoritas muslimin yang Sunni memfitnah
saudaranya yang minoritas. Ketika bertugas ke Iran sebagai wartawan, penulis
juga membuktikan Quran yang dijual di sana sama persis dengan Quran kita. Quran
itulah yang dibaca dalam setiap Musabaqah Tilawatil Quran Internasional, yang
diikuti qari’ Sunni dan Syiah sedunia.
Sesungguhnya fitnah model begitu
bukan hal baru. Sejak dahulu politik penguasa Bani Umayah (661-750 M) dan Bani
Abbasiyah (750-1258 M) biasa mendiskreditkan para pengikut keluarga (Ahlul
Bait) Nabi, yang populer disebut Syiah, karena khawatir ‘ancaman’ yang mungkin
datang dari para pemimpin keluarga Nabi yang banyak mendapat penghormatan dan
simpati masyarakat luas baik secara terang-terang an maupun diam-diam.
Akibatnya, kelompok Syiah yang
sejak awal terbentuknya sudah selalu terjepit dan dianiaya sering menjadi
bulanbulanan musuh politik mereka, atau oleh mereka yang kurang paham mengenai
perbedaan mazhab dan perlunya sikap toleran.
Tak mengherankan bila mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam diskusi di sebuah stasiun TV
swasta belum lama ini mengatakan penganut Sunni maupun Syiah, mesti kembali
menengok sejarah.
Syiah diciptakan Abdullah bin Saba'?
Di antara sejarah yang penting
mengenai Syiah ialah adanya anggapan bahwa mazhab Syiah diciptakan Abdullah bin
Saba', seorang Yahudi yang bermaksud memecah belah Islam. Namun, banyak pakar,
baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, membantah hal itu. Menurut mereka, kisah
Abdullah bin Saba' hanya bersumber dari Saif bin Umar (hidup pada pertengahan
abad kedua Hijriah) yang diragukan kredibilitasnya.
Ilmuwan kenamaan Mesir Thaha
Husain juga menyatakan figur Bin Saba' itu hanya fiktif dan bahwa ia hasil
rekayasa musuh-musuh Syiah. Profesor Quraish Shihab mengutip itu (2007, hlm
65). Shihab juga beranggapan para penganut Syiah, pakar-pakar Sunni, dan Ibnu
Khaldun (dalam Tarikhnya) berpendapat bahwa benih Syiah muncul sejak masa Nabi
SAW, atau setidaknya secara politis benih itu muncul saat wafatnya Nabi SAW.
Sejarawan menulis, saat Nabi baru
wafat sebagian sahabat Nabi, dipimpin Umar bin Khattab RA, membaiat
(mengangkat) Abubakar RA sebagai khalifah I di balairung Tsaqifah Bani Saidah,
di pinggiran Kota Madinah. Pada waktu yang sama, keluarga Nabi SAW dan sejumlah
sahabat lain tidak ikut ke Tsaqifah, tetapi tetap berada di samping jenazah
Nabi yang belum dimakamkan.
Mereka keberatan terhadap
pengangkatan Abubakar itu, antara lain karena telah meyakini bahwa nash Alquran
dan hadis Nabi telah jelas menunjukkan penerus kepemimpinan pascaNabi ialah Ali
bin Abithalib RA. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai `pengikut' (atau
Syiah) Ali, sebagai pembeda dengan Syiah sahabat Abubakar dan Umar.
Selanjutnya Syiah berkembang dan
terpecah menjadi empat kelompok besar, Ghulat (yang ekstrem), Ismailiyah,
Zaidiyah, dan Imamiyah alias Istna’Asyariyah (12 Imam). Sebagian firqah itu
terpecahpecah lagi, sementara lainnya (seperti Ghulat) sudah punah.
Hanya dua kelompok yang terus
bertahan dan dimasukkan ke golongan umat Islam, yakni Syiah Zaidiyah (banyak
terdapat di Yaman), dan Syiah Itsna’ Asyariyah yang merupakan kelompok terbesar
dan dianut penduduk Iran, Irak, Suriah, Libanon, Kuwait, Bahrain, India,
Pakistan, Arab Saudi, Mesir, dan 3 jutaan orang di Indonesia. Sekitar 250-an
juta penganut mazhab Syiah di dunia (15%-20% dari 1,7 miliar muslimin dunia)
itu selama ini tetap melaksanakan haji dan umrah karena pemerintah Saudi tak
pernah menganggap mereka di luar Islam.
Sejarah para pendiri mazhab fi qih
juga menunjukkan mereka bertukar ilmu. Ja’far As-Shadiq, imam keenam Syiah,
misalnya, ialah guru dua pemimpin mazhab Sunni, Nu’man bin Tsabit alias Abu
Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), dan Malik (pendiri mazhab Maliki). Kemudian,
Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik, dan Imam Hambali berguru kepada
Syafi'i. Hambali dan Syafi'i (yang paling banyak diikuti di Indonesia) ialah
juga pendiri mazhab Sunni.
Maka bisa dikatakan bahwa, bila
hendak melihatnya dari sisi positif, sejatinya perbedaan yang ada di antara
kedua mazhab besar itu utamanya hanya berkisar dalam masalah sejarah dan politik
zaman dulu, yang mestinya pada era kita sekarang tidak perlu sampai membuat
permusuhan di antara keduanya.
Terlebih di Indonesia, Syiah
terbukti memiliki peran dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara zaman dulu.
NU sendiri, menurut banyak pakar, secara budaya juga dekat dengan Syiah.
Menurut tokoh asal Madura Mahfud MD, orang Sunni di Madura kerap mengucapkan
selawat yang sama dengan orang Syiah--misalnya, dalam penyebutan lima orang
yang pasti tidak masuk neraka, yakni Nabi Muhammad SAW, Ali (Al-Murtadho),
kedua anak Ali, Hasan dan Husein, serta ibu mereka Siti Fatimah, yang merupakan
putri Nabi.
Bagaimanapun, bila masih tetap
ngotot bahwa Syiah berbeda dengan Sunni, dengan kacamata positif kita tetap
bisa melihat hal itu sebagai desain Allah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar