|
KOMPAS,
29 Juli 2013
Sejak zaman Orde Lama sampai
sekarang, wacana kemandirian (ketahanan) pangan melalui diversifikasi selalu
didengungkan pemerintah. Faktanya, Indonesia makin rawan pangan karena hanya
bergantung pada beras, bahkan gandum.
Memang ada juga diversifikasi
pangan dari singkong dalam bentuk bakso dan pempek hingga produksi nasional
komoditas ini naik. Sejak 2011, Indonesia berada pada peringkat kedua penghasil
singkong dunia, di bawah Nigeria yang berada pada peringkat pertama. Indonesia
berhasil menggeser Thailand, yang turun ke peringkat ketiga.
Namun, di lain pihak, Indonesia
juga tumbuh jadi konsumen gandum (terigu) dalam bentuk mi dan roti. Tahun 2012,
impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk mencapai 6,2 juta ton dengan nilai
Rp 21 triliun. Indonesia dicatat oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai
negara pengimpor gandum terbesar nomor lima di dunia.
Di Indonesia, diversifikasi bahan
pangan karbohidrat dari beras bukan mengarah ke jagung, sorgum, umbi-umbian,
atau sagu dan sukun, melainkan ke gandum yang harus terus diimpor. Beda dengan
Nigeria. Negeri ini juga mengimpor gandum, sebanyak 3,9 juta ton, dengan nilai
Rp 9,9 triliun. Akan tetapi, mereka tetap memperhatikan bahan pangan lokal.
Iklim Nigeria relatif kering dibandingkan Kamerun, Gabon, Kongo, Republik
Demokratik Kongo, dan Uganda. Bagian utara negeri ini sudah berbatasan dengan
Gurun Sahara. Dengan kondisi iklim seperti ini, Nigeria tidak mungkin menanam
padi dengan hasil optimum.
Maka, Nigeria pun menanam jagung.
Tahun 2013, hasil jagung negeri ini diprediksi oleh Kementerian Pertanian
Amerika Serikat hanya 7,2 juta ton, dan berada pada peringkat ke-13 dunia.
Nigeria berada satu level di bawah Indonesia, yang tahun ini diprediksi
menghasilkan 7,7 juta ton jagung, dan berada pada peringkat ke-12 dunia. Selain
jagung, produk serealia yang masih bisa dibudidayakan di Nigeria hanyalah
sorgum. FAO mencatat tahun 2011 Nigeria menghasilkan 6,8 juta ton biji sorgum,
dan berada pada peringkat kedua penghasil sorgum dunia setelah India sebagai
peringkat pertama dengan hasil tujuh juta ton.
Tanaman semusim
Meski demikian, volume hasil jagung
dan sorgum Nigeria masih relatif kecil untuk mengenyangkan 170 juta
penduduknya. Maka, pemerintah negeri ini berpaling ke umbi-umbian: singkong,
uwi (yam,Dioscorea alata) ubi jalar, keladi, dan pisang olahan (plantain, Musa
x paradisiaca). Di dunia internasional, selain keladi, juga ada
talas, sénthé (giant taro, Alocasia macrorrhizos), dan pulaka (swamp
taro, Cyrtosperma merkusii).
Uwi, talas, dan pisang olahan
merupakan bahan pangan penting dunia. Indonesia punya sangat banyak spesies dan
varietas uwi, yang kondisinya telantar. Spesies Dioscorea yang
dikenal dan dibudidayakan masyarakat Indonesia secara terbatas hanya gembili
(Dioscorea aculeata) dan gadung (Dioscorea hispida). Sénthé dan
pulaka memang hanya dikonsumsi masyarakat Pasifik Selatan (Samoa, Vanuatu,
Tuvalu). Pisang olahan (pisang tanduk, dan pisang kepok) juga bahan pangan
penting yang disebut plantain. Komoditas ini sangat populer di Afrika dan
Amerika Tengah/Selatan.
Uganda merupakan penghasil plantain nomor
satu dunia. Tanaman penghasil karbohidrat ini diperhatikan luar biasa di
Afrika, termasuk di Nigeria. Pemerintah Nigeria demikian serius memperhatikan
komoditas-komoditas ini demi mengupayakan ketercukupan pangan bagi penduduknya.
Upaya ini berhasil baik, hingga Nigeria dicatat oleh FAO sebagai penghasil
singkong terbesar dunia. Tahun 2011, hasil singkong negeri ini 52,4 juta ton.
Indonesia berada pada ranking kedua dengan hasil hanya 24 juta ton. Nigeria
juga produsen uwi dan keladi nomor satu dunia, dengan hasil 37,1 dan 3,2 juta
ton, serta ubi jalar nomor tiga dunia, dan plantain nomor lima dunia
dengan volume masing-masing 2,7 juta ton.
Di negeri kita uwi, talas, dan
keladi telah dilupakan. Dibandingkan talas dan keladi, nasib uwi paling
menyedihkan. Terutama uwi sejenis gembili, berukuran besar, yang di Jawa Tengah
dan DIY disebut gembolo. Di Jepang, umbi jenis ini disebut nagaimo (mountain yam,
Dioscorea oposita), dan dimasak menjadi bubur, sup, serta kuah udon.
Nagaimo dibudidayakan dengan serius di Jepang, dan umbi segar maupun gapleknya
bisa dengan mudah dijumpai di pasar Tokyo, bahkan di New York. Taiwan juga
membudidayakan uwi secara massal,
mengolahkan jadi cake dan
menyajikannya sebagai dessert di
restoran bintang lima.
Selain sumber pangan tanaman
semusim, Indonesia juga masih punya komoditas suweg (Amorphophallus
paeoniifolius), iles-iles (Amorphophallus
muelleri), ganyong (Canna indica), dan garut (Maranta arundinacea). Empat tanaman ini
sama sekali tak terperhatikan dengan baik. Suweg justru dikembangkan dengan
serius di India. Umbi konjak (Amorphophallus
konjac), yang masih sagu genus
dengan iles-iles dibudidayakan secara
massal di Jepang, RRC, dan Korea untuk bahan konyaku. Di Jateng dan Jatim,
masyarakat sudah mulai membudidayakan iles-iles untuk diekspor ke Jepang
sebagai substitusi umbi konjak.
Sampai sekarang, masyarakat di
sekitar Jakarta masih ada yang membudidayakan kimpul plècèt atau tales
dempel (satoimo, Colocasia esculenta
var. antiquorum). Sekitar 2.000 SM, kimpul plècèt ini bermigrasi dari Asia
Tenggara ke Jepang dan di sana disebut satoimo. Setelah 4.000 tahun beradaptasi
dengan iklim temperate, tahun
2005 ada pengusaha mendatangkan satoimo
ke Indonesia untuk dibudidayakan sebagai ”komoditas ekspor”. Para pengusaha ini
tidak tahu bahwa satoimo berasal dari
Indonesia. Dengan sistem plasma, para petani diminta menanam ”talas jepang”,
dengan iming-iming akan diberi harga tinggi. Talas yang sudah akrab dengan
salju ini tentu tidak mau lagi hidup di iklim tropis. Proyek satoimo ini gagal.
Selain aneka komoditas tanaman
semusim tadi, Indonesia masih punya tiga andalan tanaman pangan berupa pohon,
yakni aren, sagu, dan sukun. Aren menghasilkan tepung dari empelur batang, gula
merah, kolang-kaling, dan ijuk. Aren juga nyaris punah di Jawa karena
penebangan untuk diambil tepungnya. Kalau aren nyaris punah, sagu justru belum
pernah dieksplorasi, apalagi dibudidayakan. Di Jawa, sagu yang juga dikenal
sebagai rumbia lebih banyak dipanen daunnya sebagai bahan atap.
Secara umum dikenal dua jenis sagu,
yakni rumbia yang tak berduri dan sagu berduri. Selama ini sagu hanya dikenal
sebagai bahan pangan penduduk Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Sukun juga merupakan bahan pangan
penting bagi masyarakat Pasifik, yang di Indonesia juga masih sebatas
dimanfaatkan sebagai camilan. Padahal, buah inilah yang pernah menyelamatkan
awak kapal Ferdinand Magellan ketika mereka kehabisan pangan di Pasifik, selama
pelayaran mengelilingi dunia: 1519–1522.
Biji
bayam RRC
Yang cukup rendah hati mau belajar
dari negara lain tampaknya RRC. Tersebutlah, tahun 1970-an, Meksiko tertarik
pada cerita tentang biji bayam, yang pernah dibudidayakan orang Maya dan Aztec
sebelum kedatangan bangsa Eropa. Oleh orang Aztec, tepung (pati) biji bayam
dicampur madu, dibentuk menjadi patung dewa Huitzilopochtli.
Dalam sebuah ritual, patung ini dipotong dan dibagi-bagi untuk dimakan. Ritual
ini dianggap oleh para imam Katolik mirip dengan pembagian hosti (komuni) dalam ritual misa. Sejak itu penanaman bayam
dilarang sama sekali.
Meksiko pun menemukan sisa-sisa
komoditas ini di pelosok Pegunungan Andes di Peru. Sejak itu, bayam kembali
dibudidayakan sebagai bahan pangan. RRC sangat tertarik pada komoditas ini,
lalu pada 1980-an, dengan bantuan USAID, negeri ini mengumpulkan spesies bayam
dan varietasnya dari seluruh dunia. Terkumpullah sekitar 1.400 varietas bayam.
Dari 1.400 plasma nutfah itu, RRC menemukan beberapa spesies liar yang bisa
digunakan untuk menciptakan hibrida baru, hingga produktivitas bayam bisa lebih
tinggi. RRC lalu mengirimkan varietas-varietas bayam itu untuk diuji coba di 70
negara di dunia.
RRC melakukan itu semua karena
pernah menderita kelaparan. Dengan populasi penduduk terbesar di dunia (1,3
miliar), RRC paling rentan masalah pangan. Maka, mereka pun membuat semua nomor
satu. Saat ini RRC penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar nomor satu
di dunia. Selain itu, RRC juga penghasil jagung nomor dua setelah AS, dan talas
nomor dua setelah Nigeria. Ini semua mereka lakukan agar tak pernah terjadi
”bencana nasional”. Sebab, begitu RRC gagal panen, seluruh cadangan pangan
dunia tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan RRC. Itulah sebabnya, meskipun
semua sudah nomor satu, RRC masih juga gencar mengurus biji bayam.
Dengan melihat fakta-fakta ini,
mestinya Indonesia segera ”bertobat”, lalu mulai membudidayakan semua tanaman
penghasil pangan. Untuk itu, kita layak belajar dari Nigeria yang berhasil
hidup tanpa beras. Memang bisa saja kita berdalih bahwa Nigeria bisa menghasilkan
singkong, uwi, dan keladi nomor satu di dunia justru karena tidak bisa menanam
padi. Mencari-cari kambing hitam untuk mengelak dari pekerjaan memang sudah
sejak lama menjadi keahlian para petinggi di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar