Jumat, 26 Juli 2013

Negara, Histeria Politik, dan Demosida

Negara, Histeria Politik, dan Demosida
Max Regus  ;   Rohaniwan Katolik Keuskupan Ruteng, Flores;
Peserta Program Doktoral Universitas Erasmus Belanda
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2013


BULAN-BULAN ini bagaikan prime time ekonomi bagi orang kebanyakan. Rakyat menghadapi tekanan beban biaya hidup yang makin meninggi. Kehidupan ekonomi masyarakat sedang berada di voltase kesulitan tertinggi. Publik dengan pendapatan ekonomi yang tidak menentu sedang tersengat oleh lonjakan biaya kebutuhan pokok. Orangtua harus memberesi tagihan uang sekolah anak-anak. Mudik Lebaran yang sebentar lagi. Harga bahan pokok yang terus mencekik leher. Semuanya memusingkan khalayak banyak yang terbatas secara ekonomi.

Sementara itu di ruang sebelah, kebijakan ekonomi-politik yang tidak ramah secara terusmenerus menampar rakyat yang semakin lemah. Sungguh beruntung bahwa rakyat yang sudah sedemikian kepepet nasibnya tidak gampang marah. Rakyat tidak seperti para pemimpin mereka yang mudah marah kalau sedang gemas dengan keadaan atau curhat saat lagi galau politik.
Rakyat tetap menekuni hidup di tengah semrawutnya koordinasi para pemimpin politik mengurus hajat hidup orang banyak (Media Indonesia, 16 Juli 2013).

Di area ini, penguasa tidak terlihat berusaha mentransformasikan rasa gundah personal mereka ke dalam tindakan politik spesifik yang konkret untuk menyelamatkan nasib rakyat. Mereka tidak punya terobosan gagah untuk membongkar kurungan ketidakpastian ekonomi yang memenjarakan rakyat.
Harga-harga bahan kebutuhan rakyat miskin terus merambat naik sementara kesadaran sosial penguasa terus merembes turun. Untungnya, rakyat sudah terbiasa mengelola kehidupan mereka di ruang tersulit pada tataran sosial-ekonomi.

Posisi kosong?

Kecemasan sosial yang semakin kuat hanya membentur konstruksi kenegaraan yang mengalami disfungsi politik. Di hari-hari ini, kocar-kacirnya pemerintah pusat--dengan hanya mengurus satu jenis harga bahan kebutuhan publik-menggambarkan latensi dari ketidaksigapan negara menebak implikasi bercabang dari kebijakan politik yang mereka lahirkan beberapa waktu sebelumnya. Tentu, terutama kebijakan penaikan harga BBM berada tepat pada bulan-bulan sulit bagi warga masyarakat.

Kita menyaksikan gap yang kian lebar. Di satu pihak, basis fungsional pada sejumlah aspek paling minimal yang harus dikerjakan negara tinggal verbalisme kekuasaan belaka. Di pihak lain, pola-pola perubahan serbacepat yang bergerak di tengah ruang publik tidak dapat dihadapi dengan solusi darurat buatan penguasa. Itulah yang menyebabkan negara kelihatannya baru hadir ketika ruang sosial sudah terjepit di antara permainan para tengkulak p ekonomi politik yang jauh dari rasa belas kasihan. Negara baru menunjukkan batang hidungnya manakala pasar sedang dikendalikan tangan-tangan para makelar ekonomi yang berkeliaran dan mengunci distribusi keadilan bagi rakyat.

Hal itu mudah ditemukan dan dicari basis justifikasinya pada kondisi terkini dari peta harga kebutuhan pokok. Misalnya, daging sapi impor yang dijamin pemerintah dengan harga cukup bersahabat ternyata tidak mudah masuk ke pasar umum. Ada tantangan dari pelaku pasar dengan memberlakukan harga yang mencekik leher. Ironisnya, negara kelihatannya gampang mengalah; mengambil mekanisme penyaluran yang lain. Mungkin tidak elok untuk mengatakan negara menyerah pada ancaman dan dikte yang sedang di mainkan para pelaku monopolistik pasar (Media Indonesia, 19 Juli 2013).

Kekosongan peran kunci negara yang tergambar pada satu ranah spesifik itu sesungguhnya menggambarkan satu kecenderungan umum yang terus membesar dan menguat. Itu makin terlihat pada banyak sisi--negara yang seharusnya memunculkan sikap dan pilihan tindakan final yang tidak tergugat oleh kepentingan-kepentingan parsial -justru berdiam diri di hadapan amuk perilaku yang mengancam hak-hak utama masyarakat.

Histeria

Tidak sulit bagi kita untuk menghubungkan keadaan semacam ini dengan sengkarut politik menjelang Pemilu 2014. Seperti biasanya, kekuatan politik membutuhkan energi politik dan ekonomi untuk mereguk kemenangan. Dengan mekanisme politik biaya tinggi seperti yang sudah terjadi selama ini, setiap kekuatan politik harus mengisi tangki ekonomi sampai penuh. Itu pasti dibutuhkan agar bisa bertahan hingga titik akhir pertarungan politik. Di level ini, kelihatan dengan jelas, demokrasi yang dikendalikan aktor-aktor politik semacam ini hanya menjadi amuba kekuasaan yang merusak kehidupan warga politik.

Para penguasa yang jadi perpanjangan kekuatan politik di ruang kekua saan negara mengalami keterpecahan fokus perhatian. Selain menyela matkan karier politik personal mereka tentu ingin mengamankan posisi kelompok politik mereka. Para menteri yang mengincar posisi di lembaga legislatif pasti mengurangi intensi politik dalam mengawal kebijakan politik pro publik. Mereka terayun di antara hasrat pribadi meraih kekuasaan dan tuntutan partai politik untuk mendukung kinerjanya di pemilu mendatang.

Itulah sebabnya, pada harihari ini, kita lebih sering mendengar para pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merilis prediksi pencapaian suara partainya dalam Pemilu 2014 ketimbang berbicara tentang kebijakan atau pembelaan politik yang harus mereka kerjakan untuk rakyat di tengah lonjakan harga saat ini. Pemilu yang masih berjarak setahun ke depan telah menggerogoti kesadaran populis para pemimpin politik di negeri ini.

Mereka tersedot ke dalam arus histeria politik yang membuat pekak pendengaran rakyat. Tidak terbantahkan, para politikus yang menghuni ruang kekuasaan tidak lebih daripada iklan-iklan politik yang berte baran di mana-mana. Juga seperti spanduk-spanduk kandidat politik yang men gotori ruang pub lik. Semuanya akan membuat kabur pengli hatan politik hatan politik rakyat. Me reka sedang menempat kan demokrasi, politik, dan kekuasaan pada tempat yang semakin rendah. Publik tidak lagi merasakan keagungan sikap para pemimpin politik yang lebih suka memilih berkiprah di kedangkalan sikap politik kekuasaan.

Ruang jagal

Dengan merujuk ke kerangka situasi semacam itu, satu simpulan penting sedang mengancam publik. Negara dan para pemangku politik kekuasaan sedang mengoperasikan mesin jagal rakyat. Itu tidak terbantahkan dengan mempertimbangkan arus perhatian dan setiap prioritas pilihan tindakan dan kebijakan politik bikinan mereka. Para pemimpin kita hampir pasti jadi para pemimpin yang mampu menciptakan kemiskinan masif dalam tempo singkat. Alasanalasan paling masuk akal dari anggapan seperti itu dapat ditemukan dengan mudah sekarang ini.

Pembantaian hidup layak publik (demosida) sedang berlangsung dalam kesenyapan. Dua titik krusial dapat diletakkan dalam konteks ini. Negara suka meluncurkan kebijakan politik yang berpeluang mencerabut rakyat dari area kemakmuran dan kesejahteraan. Rakyat kelabakan menghadapi multiefek dari kebijakan politik yang jadi primadona para penguasa. Negara tidak pernah memperhitungkan ongkos-ongkos ekonomi paling dekat dengan peta kehidupan sosial masyarakat miskin.


Bahkan negara mengajar masyarakat untuk menjadi komunitas konsumtif dengan memberi bantuan dalam nama bantuan langsung masyarakat.
Kebiasaan semacam ini akan menyimpan masalah pelik di masa depan. Penguasa tidak pernah merisaukan generasi bangsa pada hitungan satu atau dua dekade ke depan dengan basis kebijakan publik yang gemar mereka lakukan sekarang ini. Solusi jangka pendek untuk masalah-masalah fundamental yang mengerubuti publik paling miskin pasti tidak dapat menopang generasi masa datang. Di sini, para penguasa kita harus mau mengecilkan intensi politik personal-parsial mereka agar mampu melihat dan menyentuh opsi yang lebih utuh dalam menyelamatkan warga politik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar