|
MEDIA
INDONESIA, 25 Juli 2013
BULAN-BULAN ini bagaikan prime time ekonomi bagi orang
kebanyakan. Rakyat menghadapi tekanan beban biaya hidup yang makin meninggi.
Kehidupan ekonomi masyarakat sedang berada di voltase kesulitan tertinggi. Publik
dengan pendapatan ekonomi yang tidak menentu sedang tersengat oleh lonjakan
biaya kebutuhan pokok. Orangtua harus memberesi tagihan uang sekolah anak-anak.
Mudik Lebaran yang sebentar lagi. Harga bahan pokok yang terus mencekik leher.
Semuanya memusingkan khalayak banyak yang terbatas secara ekonomi.
Sementara itu di ruang sebelah, kebijakan ekonomi-politik
yang tidak ramah secara terusmenerus menampar rakyat yang semakin lemah.
Sungguh beruntung bahwa rakyat yang sudah sedemikian kepepet nasibnya tidak
gampang marah. Rakyat tidak seperti para pemimpin mereka yang mudah marah kalau
sedang gemas dengan keadaan atau curhat saat lagi galau politik.
Rakyat tetap menekuni hidup di tengah semrawutnya koordinasi para pemimpin
politik mengurus hajat hidup orang banyak (Media
Indonesia, 16 Juli 2013).
Di area ini, penguasa tidak terlihat berusaha
mentransformasikan rasa gundah personal mereka ke dalam tindakan politik
spesifik yang konkret untuk menyelamatkan nasib rakyat. Mereka tidak punya
terobosan gagah untuk membongkar kurungan ketidakpastian ekonomi yang
memenjarakan rakyat.
Harga-harga bahan kebutuhan rakyat miskin terus merambat naik sementara
kesadaran sosial penguasa terus merembes turun. Untungnya, rakyat sudah
terbiasa mengelola kehidupan mereka di ruang tersulit pada tataran
sosial-ekonomi.
Posisi kosong?
Kecemasan sosial yang semakin kuat hanya membentur
konstruksi kenegaraan yang mengalami disfungsi politik. Di hari-hari ini,
kocar-kacirnya pemerintah pusat--dengan hanya mengurus satu jenis harga bahan
kebutuhan publik-menggambarkan latensi dari ketidaksigapan negara menebak
implikasi bercabang dari kebijakan politik yang mereka lahirkan beberapa waktu
sebelumnya. Tentu, terutama kebijakan penaikan harga BBM berada tepat pada
bulan-bulan sulit bagi warga masyarakat.
Kita menyaksikan gap
yang kian lebar. Di satu pihak, basis fungsional pada sejumlah aspek paling
minimal yang harus dikerjakan negara tinggal verbalisme kekuasaan belaka. Di
pihak lain, pola-pola perubahan serbacepat yang bergerak di tengah ruang publik
tidak dapat dihadapi dengan solusi darurat buatan penguasa. Itulah yang
menyebabkan negara kelihatannya baru hadir ketika ruang sosial sudah terjepit
di antara permainan para tengkulak p ekonomi politik yang jauh dari rasa belas
kasihan. Negara baru menunjukkan batang hidungnya manakala pasar sedang
dikendalikan tangan-tangan para makelar ekonomi yang berkeliaran dan mengunci
distribusi keadilan bagi rakyat.
Hal itu mudah ditemukan dan dicari basis justifikasinya
pada kondisi terkini dari peta harga kebutuhan pokok. Misalnya, daging sapi
impor yang dijamin pemerintah dengan harga cukup bersahabat ternyata tidak
mudah masuk ke pasar umum. Ada tantangan dari pelaku pasar dengan memberlakukan
harga yang mencekik leher. Ironisnya, negara kelihatannya gampang mengalah;
mengambil mekanisme penyaluran yang lain. Mungkin tidak elok untuk mengatakan
negara menyerah pada ancaman dan dikte yang sedang di mainkan para pelaku
monopolistik pasar (Media Indonesia, 19 Juli 2013).
Kekosongan peran kunci negara yang tergambar pada satu
ranah spesifik itu sesungguhnya menggambarkan satu kecenderungan umum yang
terus membesar dan menguat. Itu makin terlihat pada banyak sisi--negara yang
seharusnya memunculkan sikap dan pilihan tindakan final yang tidak tergugat
oleh kepentingan-kepentingan parsial -justru berdiam diri di hadapan amuk
perilaku yang mengancam hak-hak utama masyarakat.
Histeria
Tidak sulit bagi kita untuk menghubungkan keadaan semacam
ini dengan sengkarut politik menjelang Pemilu 2014. Seperti biasanya, kekuatan
politik membutuhkan energi politik dan ekonomi untuk mereguk kemenangan. Dengan
mekanisme politik biaya tinggi seperti yang sudah terjadi selama ini, setiap
kekuatan politik harus mengisi tangki ekonomi sampai penuh. Itu pasti
dibutuhkan agar bisa bertahan hingga titik akhir pertarungan politik. Di level
ini, kelihatan dengan jelas, demokrasi yang dikendalikan aktor-aktor politik
semacam ini hanya menjadi amuba kekuasaan yang merusak kehidupan warga politik.
Para penguasa yang jadi perpanjangan kekuatan politik di
ruang kekua saan negara mengalami keterpecahan fokus perhatian. Selain menyela
matkan karier politik personal mereka tentu ingin mengamankan posisi kelompok
politik mereka. Para menteri yang mengincar posisi di lembaga legislatif pasti
mengurangi intensi politik dalam mengawal kebijakan politik pro publik. Mereka
terayun di antara hasrat pribadi meraih kekuasaan dan tuntutan partai politik
untuk mendukung kinerjanya di pemilu mendatang.
Itulah sebabnya, pada harihari ini, kita lebih sering
mendengar para pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merilis
prediksi pencapaian suara partainya dalam Pemilu 2014 ketimbang berbicara
tentang kebijakan atau pembelaan politik yang harus mereka kerjakan untuk
rakyat di tengah lonjakan harga saat ini. Pemilu yang masih berjarak setahun ke
depan telah menggerogoti kesadaran populis para pemimpin politik di negeri ini.
Mereka tersedot ke dalam arus histeria politik yang membuat
pekak pendengaran rakyat. Tidak terbantahkan, para politikus yang menghuni
ruang kekuasaan tidak lebih daripada iklan-iklan politik yang berte baran di
mana-mana. Juga seperti spanduk-spanduk kandidat politik yang men gotori ruang
pub lik. Semuanya akan membuat kabur pengli hatan politik hatan politik rakyat.
Me reka sedang menempat kan demokrasi, politik, dan kekuasaan pada tempat yang
semakin rendah. Publik tidak lagi merasakan keagungan sikap para pemimpin
politik yang lebih suka memilih berkiprah di kedangkalan sikap politik
kekuasaan.
Ruang jagal
Dengan merujuk ke kerangka situasi semacam itu, satu
simpulan penting sedang mengancam publik. Negara dan para pemangku politik
kekuasaan sedang mengoperasikan mesin jagal rakyat. Itu tidak terbantahkan
dengan mempertimbangkan arus perhatian dan setiap prioritas pilihan tindakan
dan kebijakan politik bikinan mereka. Para pemimpin kita hampir pasti jadi para
pemimpin yang mampu menciptakan kemiskinan masif dalam tempo singkat.
Alasanalasan paling masuk akal dari anggapan seperti itu dapat ditemukan dengan
mudah sekarang ini.
Pembantaian hidup layak publik (demosida) sedang berlangsung dalam kesenyapan. Dua titik krusial
dapat diletakkan dalam konteks ini. Negara suka meluncurkan kebijakan politik
yang berpeluang mencerabut rakyat dari area kemakmuran dan kesejahteraan. Rakyat
kelabakan menghadapi multiefek dari kebijakan politik yang jadi primadona para
penguasa. Negara tidak pernah memperhitungkan ongkos-ongkos ekonomi paling
dekat dengan peta kehidupan sosial masyarakat miskin.
Bahkan negara mengajar masyarakat untuk menjadi komunitas
konsumtif dengan memberi bantuan dalam nama bantuan langsung masyarakat.
Kebiasaan semacam ini akan menyimpan masalah pelik di masa depan. Penguasa
tidak pernah merisaukan generasi bangsa pada hitungan satu atau dua dekade ke
depan dengan basis kebijakan publik yang gemar mereka lakukan sekarang ini.
Solusi jangka pendek untuk masalah-masalah fundamental yang mengerubuti publik
paling miskin pasti tidak dapat menopang generasi masa datang. Di sini, para
penguasa kita harus mau mengecilkan intensi politik personal-parsial mereka
agar mampu melihat dan menyentuh opsi yang lebih utuh dalam menyelamatkan warga
politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar