Rabu, 31 Juli 2013

Makna Magsaysay Award bagi KPK

Makna Magsaysay Award bagi KPK
Janpatar Simamora  ;   Sedang Menempuh Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung
KORAN JAKARTA, 30 Juli 2013
  

Sejumlah tokoh juga pernah menerima, seperti mendiang Presiden Abdurrahman Wahid atau Ali Sadikin yang dikenal cukup berjasa dalam sejumlah bidang kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan.”


Semangat dan dorongan baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk secara maraton memberangus para koruptor di negeri ini, kian mendunia. Selama ini, banyak penyemangat muncul dari dalam negeri, kali ini upaya datang dari mancanegara saat The Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) memberi penghargaan.

Penghargaan bergengsi di Asia itu patut dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap keberanian, perjuangan, kerja keras, serta independensi KPK di Tanah Air dalam meringkus para koruptor yang cukup menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia. KPK telah menorehkan sederet prestasi dalam mengendus pergerakan para koruptor patut didorong untuk terus berkiprah mengukir sejarah pemberantasan korupsi. KPK juga diharapkan lebih gigih lagi dalam menuntaskan segala bentuk perkara korupsi dan menelusuri berbagai perbuatan yang terindikasi mengandung korupsi.

Ramon Magsaysay Award merupakan penghargaan tahunan kepada individu maupun kelembagaan yang dinilai memiliki konsistensi sikap dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang dipegang teguh mantan Presiden Filipina, Ramon Magsaysay. Sederet nilai kepribadian yang melekat pada mantan presiden Filipina yang meninggal dalam kasus kecelakaan pesawat itu seperti menegakkan idealisme dalam alam demokrasi, keberanian dan kesungguhan melayani publik serta integritas dalam mengemban tugas pemerintahan.

Kriteria penganugerahan Magsaysay Award sungguh luar biasa. KPK secara global sungguh layak menerimanya. Hal itu didasarkan pada sejumlah fakta bahwa KPK terus memerangi korupsi. Sejumlah tokoh juga pernah menerima seperti mendiang Presiden Abdurrahman Wahid atau Ali Sadikin yang dikenal cukup berjasa dalam sejumlah bidang kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan.

Secara sederhana, Magsaysay Award bagi KPK mengandung makna sebagai penghargaan atas prestasi luar biasa dalam membersihkan wajah bangsa dari perilaku buruk koruptor. Publik tentu paham bahwa korupsi telah menjadi penyakit akut yang mengjangkiti seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir tidak ada satu institusi pun, khususnya lembaga pemerintahan yang dapat melepaskan diri dari jeratan korupsi yang telah menyebar ke mana-mana.

Magsaysay Award juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mendorong KPK terus berkiprah dalam memberangus koruptor. Masih berat tugas KPK. Penghargaan ini sekaligus peringatan bagi KPK agar tetap teguh pada prinsip independensi, jujur, dan adil dalam menangani setiap perkara korupsi. Dia juga bisa menjadi cambuk untuk koreksi diri agar bekerja lebih keras.

Perlakukan Sama

Di sini perlu diingatkan agar ke depan, KPK semakin profesional sehingga tidak lagi ada tuduhan-tuduhan sumir bahwa lembaga itu bekerja sering membeda-bedakan perlakuan. KPK boleh saja selalu mengklaim bekerja profesional, namun masih ada yang melihat praktik diskriminasi penegakan hukum.

Misalnya, ketika KPK memeriksa sekelas mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mantan Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan mantan Menpora, Andi Mallarangeng, yang sepertinya diperlakukan lain. Bahkan, KPK datang ke Amerika untuk memeriksa Sri Mulyani terkait masalah baillout Bank Century. KPK juga pernah mengagendakan pemeriksaan salah seorang saksi di Tokyo, Jepang. Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng ditetapkan sebagai tersangka, tapi tidak ditahan. Memang kewenangan menahan seseorang dengan status tersangka merupakan kewenangan penyidik.

Semua orang tahu bahwa dalam alam penegakan hukum, salah satu asas yang sering didengung-dengungkan asas equality before the law, persamaan di depan hukum. Siapa pun sama di hadapan hukum, tanpa pengecualian. KPK, sebagai lembaga yang mendapat kepercayaan publik, semestinya tidak menerapkan diskriminasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya agar masyarakat tetap bisa menaruh harapan padanya untuk mengungkap berbagai skandal korupsi yang masih merajalela.

Kasus lain yang juga pernah mengandung berbagai keganjilan sikap KPK terkait argumen ketuanya, Abraham Samad. Dia menyebutkan bahwa lembaganya tidak berwenang memeriksa Wapres Boediono karena merupakan warga negara istimewa. Argumen demikian mestinya tidak perlu dikeluarkan. Bahkan ketika itu, Abraham Samad menyatakan yang berwenang memeriksa presiden dan wakil presiden adalah DPR.

Pandangan yang demikian jelas sebuah kekeliruan mendasar karena mencampuradukkan mekanisme politik (DPR) dengan hukum (KPK). Ranah keduanya jelas berbeda. Kalau proses pemeriksaan dilakukan legislatif menjadi proses politik, bukan hukum. Lalu, bagaimana andai wapres atau presiden sungguh-sungguh diduga korupsi miliaran rupiah? Apakah KPK masih bersikukuh bahwa perkara korupsi semacam itu bukan wewenangnya?

Semoga saja Magsaysay Award dapat menjadi pelecut KPK untuk lebih semangat dalam memberantas para koruptor serta dijadikan sebagai momen koreksi diri atas berbagai keganjilan penegakan hukum yang dituduhkan kepada lembaga tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar