|
REPUBLIKA,
23 Juli 2013
Dalam 10
hari terakhir, publik disuguhi enam hasil survei politik. Tema yang diusung
berkisar elektabilitas partai politik dan calon presiden dan wakil presiden
pada Pemilu 2014. Keenam lembaga tersebut adalah Lingkaran Survei Indonesia
(LSI), Indonesia Research Centre (IRC), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Institute for Transformation
Studies (Intrans), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan terakhir Pusat Data
Bersatu (PDB).
Sudah
pasti terjadi perbedaan dari hasil survei. Bahkan, perbedaan hasil survei
mereka sangat mencolok. Misalnya, hasil survei LSN dan IRC tentang
elektabilitas Partai Gerindra. Menurut LSN, Gerindra dipilih 13,9 persen
responden dan berada di urutan ketiga di bawah Partai Golkar dan PDIP. Di sisi
lain, hasil survei IRC, Gerindra, hanya memperoleh 6,6 persen suara responden
dan berada di posisi keempat di bawah PDIP, Golkar, dan Demokrat.
Karena
banyak perbedaan mencolok ini pula, banyak tokoh partai yang menolak berbagai
hasil survei. Aktivis Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, Ketua Umum PKPI
Sutiyoso dan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy serentak
menolak hasil survei yang terkadang menempatkan partai mereka di posisi bawah. "Seringnya
publikasi berbeda-beda dari survei yang dilakukan pada periode samplingyang
sama menjadikan hasil survei seperti sampah informasi yang memenuhkan ruang
informasi publik," kata Romahurmuziy (Republika, 17/7). Pertanyaannya,
bagaimana kita membaca hasil survei-survei tersebut?
Setiap
survei pasti memiliki ideologi, tujuan, sumber pendanaan, metodologi, dan
kepentingan berbeda. Karenanya, wajar jika hasilnya berlainan pula. Survei yang
semula bertujuan mendapat kebenaran dan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan berbelok (dibelokkan?) menjadi partisan dan memihak parpol atau
kandidat tertentu, contohnya. Untuk tujuan dan metodologi survei, nyaris
semua pengelola lembaga survei mengemukakan alasan. Untuk kepentingan,
rata-rata mereka menjawab remang-remang. Sementara itu, yang pasti tidak pernah
dikemukakan adalah asal muasal dana. Karena sumber pendanaan selalu
disembunyikan, sudah bisa dipastikan bahwa mereka memiliki agenda tersembuyi (hidden agenda). Padahal, dalam sekali
survei bisa dipastikan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Seorang sumber
mengungkapkan, rata-rata membutuhkan Rp 600 juta per survei.
Citra politik
Dalam
negara yang menganut sistem politik demokratis, citra dan pencitraan sangat
penting. Hal ini disebabkan hadirnya persaingan atau kompetisi. Dalam
demokrasi, tidak penting suara siapa (kualitas) yang mendukung. Yang terpenting
dan menentukan adalah suara mayoritas (kuantitatif). Dalam konteks ini,
sosok calon di mata pemilih menjadi faktor penentunya. Pemilih akan memberikan
suaranya kepada yang dikenal, baik, dan membela kepentingannya. Oleh sebab itu,
dalam dunia politik di negara demokratis yang terpenting dikenal publik, bukan
moralitas pribadi atau kendaraan politik. Makanya, di negara demokratis seperti
di negara kita, popularitas yang dihasilkan oleh media massa merupakan faktor
kunci meraih pencitraan.
Menurut
pakar komunikasi politik, Anwar Arifin (2011), citra dapat didefinisikan
konstruksi atas representasi dan persepsi khalayak terhadap individu, kelompok,
atau lembaga yang terkait dengan kiprahnya di masyarakat. Sedangkan, pencitraan
berarti proses pembentukan citra melalui proses yang diterima oleh khalayak, baik
secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa.
Karena itulah citra berkaitan dengan empat hal. Yakni, (1) representasi di mana
citra merupakan cermin realitas; (2) ideologi di mana citra menyembunyikan dan
memberi gambaran yang salah tentang realitas; (3) citra menyembunyi bahwa tidak
ada realitas, dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan realitas
apa pun.
Jika
ditautkan dengan politik, citra bisa diartikan gambaran seseorang tentang
politik. Dunia politik berkaitan dengan kekuasaan, otoritas, pengaruh, dan
kerja sama, konflik, dan konsensus. Citra politik memiliki makna tidak
menggambarkan sesuatu yang sebenarnya. Dengan demikian, sesungguhnya
pencitraan bukan gambaran sejati dari sosok yang dicitrakan. Apalagi, pencitraan
yang dihasilkan media massa. Sebab, berita yang diterima dan memengaruhi khalayak
bukan realitas yang sebenarnya. Ia menjadi realitas buatan atau realitas kedua
(second hand reality). Bahkan, berita
merupakan realitas bayangan (shadow
reality). Realitas yang tidak memiliki jiwa.
Dalam
konteks citra dan pencitraan politik itulah sesungguhnya lembaga survei sedang
memproduksi realitas politik buatan atau realitas politik semu (politic pseudo-reality) yang memiliki
ideologi tertentu. Kasus kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009
dan kesuksesan pasangan Jokowi- Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 yang gagal
diprediksi berbagai survei merupakan bukti sahih bahwa survei menyimpan agenda
dan kepentingan tersembunyi.
Sebagai
catatan akhir, penulis ingin menegaskan bahwa citra politik di negeri ini adalah
segalanya. Karena itu, produk si citra politik yang dihasilkan melalui survei--baik
menggunakan metodologi kuantitatif ataupun kualitatif-- kemudian menjadi industri
yang berorientasi pasar. Ia membicarakan untung dan rugi, bukan benar dan
salah. Ideologi survei adalah modal. Bukan tidak mungkin survei di Indonesia
bergantung wani piro? (berani bayar berapa). Wallahu`alam bish shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar