Selasa, 02 Juli 2013

Reformasi Budaya di Tubuh Polri

Reformasi Budaya di Tubuh Polri
Andi Mulya ;  Magister Ilmu Kepolisian UI, Mantan Tenaga Ahli DPR RI
SUARA KARYA, 01 Juli 2013


Menyambut HUT Polri 1 Juli 2013, tidak serta-merta Polri dianggap masyarakat telah berubah, walau setiap saat pimpinan Polri selalu bicara profesionalisme. Sejarah Polri di bawah militer sudah tutup buku sejak lahirnya UU No 2 Tahun 2002, yang ditandai dengan berpisahnya Polri dari ABRI. Lama di bawah militer, sejak 1961, menyebabkan Polri - seperti Istilah Sutjipto Rahardjo - terkooptasi militer. Polisi menjadi lebih berwatak militer, walau dalam slogan mereka adalah penegak hukum, yang mengayomi dan melayani.

Kepala Polri pertama, RS Soekanto, sebenarnya menolak Polri bergabung dengan TNI menjadi ABRI, sesuai Dekrit 5 Juli 1961. Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara 1 atau disingkat 'KKN', menolak penggabungan itu. Dalam buku Awaloeddin Jamin (1999: 194) tertulis bila presiden masih memaksakan pengabungan itu maka "pengabdian sampai di sini."

Sikap profesional Kepala Kepolisian I itu merupakan tonggak profesionalisme Polri, jauh sebelum Polri mempunyai organisasi lengkap dan besar. Sikap profesional itu diperlihatkan oleh watak seorang pemimpin, yang namanya mestinya tidak hanya dikenang sebagai pendiri dan Kapolri pertama, melainkan sebagai pendiri dan sosok pemimpin Polri profesional.

Reformasi tahun 1998, yang memberi ruang tumbuh dan berkembangnya demokratisasi, membawa nasib baik bagi Polri yang profesional itu. Soekanto seakan bangkit kembali karena empat tahun setelah reformasi, tahun 2002, Polri mandiri dan lepas dari ABRI. Sekarang, setelah lebih 10 tahun mereformasi diri, Polri telah berkembang menjadi organisasi penting sekaligus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita reformasi. Polri juga mengumumkan akan berubah dalam tiga hal, yakni struktural, instituasional dan kultural (budaya). Kini, pertanyaannya, mengapa perubahan budaya sedemikian berat bagi Polri?

Teori apakah yang bisa menjelaskan tentang tarik-menarik antara kelompok yang mau berubah dan kelompok yang nyaman tanpa perubahan dalam organisasi seperti Polri? Bila dilihat secara struktural adanya kepangkatan dalam tubuh Polri, maka teori patron-klien mungkin cocok untuk mengurai perubahan tersebut.
Kepangkatan maksudnya dalam kelompok besar ada tamtama, perwira, perwira menengah dan perwira tinggi (Pati). Kepangkatan ini sejak reformasi juga dijuluki dengan pangkat yang berbeda dengan TNI. Di sisi hubungan dengan masyarakat, kepangkatan ini juga belum tersosialsasi karena masih banyak yang belum tahu bahwa AKP itu adalah Ajun Komisaris Polisi yang sama dengan Kapten dalam TNI. Atau, Kompol adalah Komisaris Polisi yang sebelumnya berarti Mayor.

Seterusnya sampai ke pangkat yang lebih rendah atau lebih tinggi di perwira menengah. Maknanya, masyarakat belum sepenuhnya mengerti polisi, kecuali kasus-kasus yang mewarnai keterlibatan mereka dalam perkembangan reformasi. Secara terus menerus perubahan ke arah lebih baik selalu menjadi buah bibir Polri. Akan tetapi secara budaya - sekali lagi secara budaya - tarik-menarik selalu terjadi antara yang mau berubah dan yang nyaman tanpa perubahan.

Tarik-menarik antar-kepentingan - antara yang mau berubah dan yang tak rela berubah itulah yang pernah 
diungkap antropolog Parsudi Suparlan. Suparlan menjelaskan bahwa perubahan terjadi atas kehendak siapa yang kuat. Patron atau klien. Sejarah mencatat masa kepenimpinan Kapolri Soetanto, judi menjadi musuh Polri, dan pemberantasannya tanpa pandang bulu. Saat itu Polri dengan kepemimpinan yang kuat telah memposisikan polisi sebagai patron. Saat itu semua kekuatan yang melindungi judi tiarap seketika. Tiada yang berani melindungi judi kala itu.

Tanpa reformasi, tidak akan pernah lahir pemberantasan judi oleh Polri sendiri, termasuk untuk menindak anggotanya bila terbukti bersalah. Pasalnya, negara pernah melegalkan pengumpulan uang yang berbau judi di masa Orde Baru yang militeristik dengan nama Porkas dan SDSB (sumbangan dana sosial berhadiah). Masa itu, bila dirujuk Rajardjo, Polri terkooptasi menjadi apa yang dimaui oleh Orde Baru yang militeristik itu.

Berbeda kini, keterbukaan telah mendorong Polri mencari sosok dirinya dalam Negara Indonesia yang demokratis. Banyak kasus terbuka ditanggapi oleh masyrakat dan secara budaya memaksa Polri menfasilitasi kemauan tersebut. Kasus Norman Kamaru, misalnya, dalam budaya yang ada mestinya Norman tidak berkutik saat ditegur bersalah secara etika karena kasus Twitter-nya. Namun Polri terpaksa mengalah karena sosial media mendukung Norman dan menuding bahwa masih banyak tugas dan PR Polri yang lebih penting dari pada menegur Norman. Norman bagaimanapun adalah kontroversi dalam tubuh Polri. Tapi, ia terpaksa 'diperhatikan' karena lingkungan strategis berubah berupa maraknya sosial media. Dan, itu adalah buah reformasi di mana kini Indonesia adalah termasuk pengguna Facebook dan Tweeter, dan blog terbesar.

Di luar kasus Norman, Polri juga terguncang dengan kasus yang menimpanya Joko Susilo yang kini masih dalam persidangan. Secara budaya perlu pula dicatat ke depan aka nada perubahan budaya baru di Polri, yakni usulan untuk mengizinkan Polwan berpakaian Muslimah. Kapolri Timur Pradopo sendiri terbuka untuk dilakukan kajian tentang sosok yang pas untuk Polwan berpakaian Muslimah. Terbukti dalam menanggapi perubahan tersebut, perwira Polri lainnya tetap mengacu sesuai aturan dan ketentuan yang telah baku sebelumnya.

Inilah makna reformasi di mana masyarakat bebas mengusulkan Polri yang mereka inginkan, bahkan terbukti partisipasi mereka di media sosial efektif dalam mendorong perubahan itu. Oleh sebab itu, saatnya perubahan budaya Polri menjadi fokus yang strategis agar Polri semakin profesional, dan sosoknya makin dicintai sekaligus dimengerti oleh rakyat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar