Selasa, 02 Juli 2013

Seandainya Saya Presiden RI

Seandainya Saya Presiden RI
Sabam Leo Batubara ;  Wartawan Senior
KORAN TEMPO, 01 Juli 2013


Terhadap kenaikan harga BBM, paling tidak terdapat tiga pandangan. Pertama, lima fraksi DPR, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PPP, dan PKB menyetujui. Kedua, empat Fraksi, yaitu PDIP, PKS, Hanura, dan Gerindra menolak. Partai baru, NasDem, dengan Ketua Umum Surya Paloh, di Nusa Dua Bali (15 Juni 2013), menyatakan menolak kenaikan harga BBM. Paradoksnya, terkait dengan kebijakan energi dalam tajuk surat kabar nasional yang dia pimpin (2 Oktober 2000), tertulis: "Kita, sebagai komunitas bangsa yang bernegara, terjebak dalam ketololan permanen…. Karena itu, sangat disayangkan, kenaikan harga BBM dilawan oleh kita sendiri. Padahal, kalau mau sembuh dari krisis, tidak ada pilihan selain menghapus sebanyak mungkin subsidi. Subsidi adalah kanker. Ekonomi yang terbangun oleh subsidi hanya menunggu kehancuran."
Karena kenaikan harga BBM dianggap mengorbankan rakyat, ribuan buruh dan mahasiswa menolak dengan berunjuk rasa di Jakarta, Ternate, Jambi, Medan, dan kota-kota lainnya. Ribuan orang yang bergabung dari berbagai organisasi mahasiswa, pemuda, dan petani menyerbu kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Gedung Uniland Plaza Medan (17 Juni 2013) serta menuding naiknya harga BBM karena pengaruh AS.
Ketiga, menghapus subsidi BBM. Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo, di Jakarta, pemerintah bertekad akan menghapus total subsidi BBM. Dana yang semestinya untuk subsidi BBM akan dialihkan untuk anggaran pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta pembangunan berbagai infrastruktur.
Sejalan dengan pandangan itu, Jalal, aktivis dari Lingkar Studi Corporate Social Responsibility, dalam tulisannya di Koran Tempo edisi 26 Juni 2013 mengemukakan: "Dalam studi IMF (2013), secara rata-rata mereka yang berada di lapisan 20 persen terkaya menikmati 43 persen subsidi, sementara 20 persen termiskin hanya mendapatkan 7 persen. Di Indonesia, ketimpangannya lebih parah. Koran Tempo edisi 19 Juni 2013 menunjukkan bahwa pada 2011, 20 persen orang terkaya menikmati 56,2 persen subsidi, sedangkan 20 persen orang termiskin hanya mendapat 5,1 persen. Apakah kita akan meneruskan praktek subsidi yang destruktif dalam jangka panjang ini? Seharusnya tidak. Menurut perhitungan beberapa pakar, kita sudah semestinya memiliki rencana berjenjang untuk menaikkan harga BBM hingga Rp 15 ribu atau bahkan Rp 18 ribu per liter pada tingkat harga sekarang."
Anti-Pancasila
Kenapa kebijakan mensubsidi BBM harus dihapus? Sebab, kebijakan itu, selain melabrak konstitusi, melanggar dasar negara Pancasila. Berdasarkan UUD 1945, segenap warga negara memiliki hak konstitusional, keberadaannya dilindungi negara, berhak memperoleh kemajuan dan kesejahteraan, serta berhak mengupayakan kecerdasan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Namun, dalam implementasinya, terutama pada era Orde Baru dan era reformasi seperti saat ini terkait dengan kebijakan energi, pemerintah melakukan tindakan diskriminatif dan tidak adil. Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa pemerintah lebih melindungi hak-hak golongan yang punya (the have) atau orang kaya daripada hak-hak golongan yang lemah (the have not) atau orang miskin. Kebijakan yang adil semestinya orang kaya yang mensubsidi orang miskin untuk lebih dimungkinkan memperoleh hak-hak konstitusionalnya. Sebab, merekalah pengguna sebagian besar BBM bersubsidi. Namun, dalam kenyataannya, golongan si miskin dipaksa membiayai kenikmatan hidup golongan si kaya. Perlakuan pemerintahan Orde Baru dan reformasi yang lebih berpihak kepada orang kaya jelas bertentangan dengan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Analisis terhadap kebijakan energi sejak rezim Orde Baru berkuasa menunjukkan, untuk mendapatkan dukungan masyarakat, Presiden Soeharto tampaknya meniru "Roman Empire Strategy". Kiat penguasa Romawi untuk mendapatkan dukungan publik dan melanggengkan kekuasaan selama berabad-abad ialah "dengan roti dan komedi" mereka menjinakkan rakyat. Tuntutan Tritura ketiga oleh demonstran angkatan '66 untuk menurunkan harga bensin dan beras diakomodasi dan digunakan sebagai "doping" terhadap warga kota.
Dalam kaitan ini, Presiden Soeharto memahami benar sekitar 35 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan (urban). Sedangkan yang tinggal di pedesaan (rural) berjumlah sekitar 65 persen. Mereka pada umumnya petani (50 persen dari seluruh penduduk) dan nelayan. Dari komposisi penduduk itu, yang lebih berpendidikan, lebih kritis, dan berpotensi melawan penguasa adalah warga urban. Agar penguasa mendapatkan kesetiaan, penduduk tersebut perlu diberi "roti dan komedi" berupa beras, BBM, dan listrik bersubsidi.
Siapa yang membayar subsidi tersebut? Jawabannya terutama rakyat pedesaan yang adalah pengguna sebagian kecil BBM dan listrik bersubsidi. Harga produk mereka dipatok di bawah harga riil. Anggaran itu seharusnya menjadi hak konstitusional mereka dalam perspektif indeks quality life yang lebih baik dikurangi. Pemerintah bahkan membangun rumah bersubsidi untuk warga kota. Kesenjangan sosial kian besar jika kesenjangan kaya-miskin sekarang dibandingkan dengan kaya-miskin 40-an tahun lalu. Paradoksnya, ketidakadilan tersebut masih diteruskan oleh pemerintahan Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. 
Seandainya
Seandainya saya Presiden RI, dalam satu tahun terakhir ini saya akan membuat sejarah dan berkorban bagi negeri. Saya akan mengubah kebijakan pemerintah, dari orang miskin mensubsidi orang kaya menjadi orang kaya mensubsidi orang miskin. Secara bertahap saya akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 15 ribu atau Rp 18 ribu per liter. Dengan kebijakan energi seperti itu, akan tersedia dana sekitar Rp 300 triliun per tahun. Separuh dari dana itu untuk peningkatan anggaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Separuh lagi untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur, antara lain pembukaan jalan-jalan ekonomi. Ringkasnya, program-program seperti yang sedang dikerjakan oleh Gubernur DKI Jokowi akan dibuat menjadi program nasional.
Saya terinspirasi oleh pengalaman Presiden Prancis Giscard d'Estaing 1974-1981. Dia melihat kemajuan Prancis jauh tertinggal ketimbang Jerman. Di bawah Kanselir Konrad Adenauer (1949-1963), Jerman mengalami keajaiban ekonomi, antara lain dipicu oleh modernisasi industri sebagai pengganti industrinya yang hancur total oleh perang. Prancis memang menang perang, tapi industrinya yang tidak mengalami kehancuran justru kalah kompetitif. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, Giscard memodernisasi industri. Kebijakan itu ditentang oleh buruh. Harga yang dia bayar mahal. Dalam pemilihan presiden berikutnya, dia kalah. Namun sejarah Prancis mencatat, berkat kepeloporan, keberanian, dan pengorbanan Giscard, kemajuan ekonomi Prancis bisa diakselerasi menjadi setara dengan Jerman.
Seandainya saya Presiden RI, untuk mengakhiri sengkarut yang menerpa negeri ini-orang miskin mensubsidi orang kaya-saya siap menghadapi segala risiko dengan tidak lagi mensubsidi BBM, melainkan memajaki penggunanya. Hasilnya digunakan untuk mensubsidi program yang berorientasi menyejahterakan rakyat dan mengakselerasi pembangunan infrastruktur pendukung kemajuan ekonomi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar