|
KORAN
TEMPO, 01 Juli 2013
Terhadap kenaikan harga BBM, paling tidak terdapat tiga
pandangan. Pertama, lima fraksi DPR, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN,
PPP, dan PKB menyetujui. Kedua, empat Fraksi, yaitu PDIP, PKS, Hanura, dan
Gerindra menolak. Partai baru, NasDem, dengan Ketua Umum Surya Paloh, di Nusa
Dua Bali (15 Juni 2013), menyatakan menolak kenaikan harga BBM. Paradoksnya,
terkait dengan kebijakan energi dalam tajuk surat kabar nasional yang dia
pimpin (2 Oktober 2000), tertulis: "Kita, sebagai komunitas bangsa yang
bernegara, terjebak dalam ketololan permanen…. Karena itu, sangat disayangkan,
kenaikan harga BBM dilawan oleh kita sendiri. Padahal, kalau mau sembuh dari
krisis, tidak ada pilihan selain menghapus sebanyak mungkin subsidi. Subsidi
adalah kanker. Ekonomi yang terbangun oleh subsidi hanya menunggu
kehancuran."
Karena kenaikan harga BBM dianggap mengorbankan rakyat,
ribuan buruh dan mahasiswa menolak dengan berunjuk rasa di Jakarta, Ternate,
Jambi, Medan, dan kota-kota lainnya. Ribuan orang yang bergabung dari berbagai
organisasi mahasiswa, pemuda, dan petani menyerbu kantor Konsulat Jenderal
Amerika Serikat di Gedung Uniland Plaza Medan (17 Juni 2013) serta menuding
naiknya harga BBM karena pengaruh AS.
Ketiga, menghapus subsidi BBM. Menurut Wakil Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo, di Jakarta, pemerintah bertekad akan
menghapus total subsidi BBM. Dana yang semestinya untuk subsidi BBM akan
dialihkan untuk anggaran pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan
rakyat, serta pembangunan berbagai infrastruktur.
Sejalan dengan pandangan itu, Jalal, aktivis dari Lingkar
Studi Corporate Social Responsibility,
dalam tulisannya di Koran Tempo edisi 26 Juni 2013 mengemukakan: "Dalam
studi IMF (2013), secara rata-rata mereka yang berada di lapisan 20 persen
terkaya menikmati 43 persen subsidi, sementara 20 persen termiskin hanya
mendapatkan 7 persen. Di Indonesia, ketimpangannya lebih parah. Koran Tempo
edisi 19 Juni 2013 menunjukkan bahwa pada 2011, 20 persen orang terkaya
menikmati 56,2 persen subsidi, sedangkan 20 persen orang termiskin hanya
mendapat 5,1 persen. Apakah kita akan meneruskan praktek subsidi yang
destruktif dalam jangka panjang ini? Seharusnya tidak. Menurut perhitungan
beberapa pakar, kita sudah semestinya memiliki rencana berjenjang untuk
menaikkan harga BBM hingga Rp 15 ribu atau bahkan Rp 18 ribu per liter pada
tingkat harga sekarang."
Anti-Pancasila
Kenapa kebijakan mensubsidi BBM harus dihapus? Sebab,
kebijakan itu, selain melabrak konstitusi, melanggar dasar negara Pancasila.
Berdasarkan UUD 1945, segenap warga negara memiliki hak konstitusional, keberadaannya
dilindungi negara, berhak memperoleh kemajuan dan kesejahteraan, serta berhak
mengupayakan kecerdasan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Namun, dalam implementasinya, terutama pada era Orde Baru
dan era reformasi seperti saat ini terkait dengan kebijakan energi, pemerintah
melakukan tindakan diskriminatif dan tidak adil. Fakta-fakta empiris
menunjukkan bahwa pemerintah lebih melindungi hak-hak golongan yang punya (the have) atau orang kaya daripada
hak-hak golongan yang lemah (the have not) atau orang miskin. Kebijakan yang
adil semestinya orang kaya yang mensubsidi orang miskin untuk lebih
dimungkinkan memperoleh hak-hak konstitusionalnya. Sebab, merekalah pengguna
sebagian besar BBM bersubsidi. Namun, dalam kenyataannya, golongan si miskin
dipaksa membiayai kenikmatan hidup golongan si kaya. Perlakuan pemerintahan
Orde Baru dan reformasi yang lebih berpihak kepada orang kaya jelas
bertentangan dengan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Analisis terhadap kebijakan energi sejak rezim Orde Baru
berkuasa menunjukkan, untuk mendapatkan dukungan masyarakat, Presiden Soeharto
tampaknya meniru "Roman Empire
Strategy". Kiat penguasa Romawi untuk mendapatkan dukungan publik dan
melanggengkan kekuasaan selama berabad-abad ialah "dengan roti dan komedi" mereka menjinakkan rakyat. Tuntutan
Tritura ketiga oleh demonstran angkatan '66 untuk menurunkan harga bensin dan
beras diakomodasi dan digunakan sebagai "doping" terhadap warga kota.
Dalam kaitan ini, Presiden Soeharto memahami benar sekitar
35 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan (urban). Sedangkan yang
tinggal di pedesaan (rural) berjumlah sekitar 65 persen. Mereka pada umumnya
petani (50 persen dari seluruh penduduk) dan nelayan. Dari komposisi penduduk itu,
yang lebih berpendidikan, lebih kritis, dan berpotensi melawan penguasa adalah
warga urban. Agar penguasa mendapatkan kesetiaan, penduduk tersebut perlu
diberi "roti dan komedi" berupa beras, BBM, dan listrik bersubsidi.
Siapa yang membayar subsidi tersebut? Jawabannya terutama
rakyat pedesaan yang adalah pengguna sebagian kecil BBM dan listrik bersubsidi.
Harga produk mereka dipatok di bawah harga riil. Anggaran itu seharusnya
menjadi hak konstitusional mereka dalam perspektif indeks quality life yang lebih baik dikurangi. Pemerintah bahkan membangun
rumah bersubsidi untuk warga kota. Kesenjangan sosial kian besar jika
kesenjangan kaya-miskin sekarang dibandingkan dengan kaya-miskin 40-an tahun
lalu. Paradoksnya, ketidakadilan tersebut masih diteruskan oleh pemerintahan
Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY.
Seandainya
Seandainya saya Presiden RI, dalam satu tahun terakhir ini
saya akan membuat sejarah dan berkorban bagi negeri. Saya akan mengubah
kebijakan pemerintah, dari orang miskin mensubsidi orang kaya menjadi orang
kaya mensubsidi orang miskin. Secara bertahap saya akan menaikkan harga BBM
menjadi Rp 15 ribu atau Rp 18 ribu per liter. Dengan kebijakan energi seperti
itu, akan tersedia dana sekitar Rp 300 triliun per tahun. Separuh dari dana itu
untuk peningkatan anggaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat.
Separuh lagi untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur, antara lain
pembukaan jalan-jalan ekonomi. Ringkasnya, program-program seperti yang sedang
dikerjakan oleh Gubernur DKI Jokowi akan dibuat menjadi program nasional.
Saya terinspirasi oleh pengalaman Presiden Prancis Giscard
d'Estaing 1974-1981. Dia melihat kemajuan Prancis jauh tertinggal ketimbang
Jerman. Di bawah Kanselir Konrad Adenauer (1949-1963), Jerman mengalami
keajaiban ekonomi, antara lain dipicu oleh modernisasi industri sebagai
pengganti industrinya yang hancur total oleh perang. Prancis memang menang
perang, tapi industrinya yang tidak mengalami kehancuran justru kalah
kompetitif. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, Giscard memodernisasi
industri. Kebijakan itu ditentang oleh buruh. Harga yang dia bayar mahal. Dalam
pemilihan presiden berikutnya, dia kalah. Namun sejarah Prancis mencatat,
berkat kepeloporan, keberanian, dan pengorbanan Giscard, kemajuan ekonomi
Prancis bisa diakselerasi menjadi setara dengan Jerman.
Seandainya saya Presiden RI, untuk mengakhiri sengkarut
yang menerpa negeri ini-orang miskin mensubsidi orang kaya-saya siap menghadapi
segala risiko dengan tidak lagi mensubsidi BBM, melainkan memajaki penggunanya.
Hasilnya digunakan untuk mensubsidi program yang berorientasi menyejahterakan
rakyat dan mengakselerasi pembangunan infrastruktur pendukung kemajuan ekonomi.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar