Selasa, 02 Juli 2013

Korupsi Ramai-ramai

Korupsi Ramai-ramai
Suhartono ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Abdullah Puteh, Gubernur Aceh, tercatat sebagai salah satu kepala daerah yang pertama kali dijebloskan ke penjara pada tahun 2004 atau setahun setelah terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia terbukti terlibat dalam korupsi pengadaan helikopter MI-2 merek PLC Rostov Rusia dan divonis hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp 500 juta.

Setelah Puteh, ratusan gubernur, bupati, dan wali kota seperti ”berlomba-lomba” menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, ataupun kepolisian akibat kasus korupsi. Sebut saja mulai dari Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin, hingga Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan.

Selain itu, Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham, Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Lalu Serinata, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, hingga Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo.

Korupsi tak berhenti. Kini, Gubernur Riau Rusli Zaenal juga ditahan karena dugaan keterlibatannya dalam korupsi, antara lain revisi peraturan daerah tentang penambahan biaya arena menembak PON Riau dan pemberian hadiah terkait perda tersebut.

Meski membantah tuduhan keterlibatannya, mantan Gubernur Sulawesi Selatan M Amin Syam juga harus diperiksa Kejaksaan Tinggi Sulselbar terkait pengadaan lahan untuk Celebes Centre.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sejak 2004 hingga awal Juni lalu, ada 295 gubernur, bupati, wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang terjerat kasus korupsi. Mereka tak hanya menyalahgunakan anggaran daerah, antara lain di pos pengadaan barang atau jasa serta belanja modal, tetapi juga proyek-proyek dan dana bantuan sosial (bansos) serta hibah yang pertanggungjawabannya kendur sehingga mudah diakali.

Tindakan koruptif kepala daerah juga menempati persentase yang tinggi di antara kasus-kasus hukum lainnya yang menimpa kepala daerah, yaitu mencapai 86 persen dibandingkan pencemaran nama baik dan kasus pidana lain.

Semua itu membuat lembaran hitam sejarah perjalanan pemerintahan daerah di Indonesia yang berlangsung sejak era reformasi pada 1998 dan era menguatnya otonomi daerah saat ini.

Dikepung korupsi

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, Jumat (21/6), mengatakan, korupsi terjadi karena ketidaktaatan pemimpin daerah menjalankan aturan perundangan, pengelolaan keuangan, dan kecenderungan pelaksanaan otonomi daerah yang salah kaprah. Hal itu mendorong penggunaan anggaran semaunya sendiri di daerah yang dipimpinnya. Faktor lain adalah konsekuensi biaya tinggi dari pelaksanaan pemilu kepala daerah (pilkada).

Bagi Djohermansyah, untuk ikut pilkada, seorang calon kepala daerah membutuhkan dana yang cukup besar. Akibatnya, setelah terpilih, ia harus mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya selama pilkada itu. ”Kalau tak bisa dikembalikan dari gajinya yang tak sebanding, pada akhirnya korupsi,” katanya, Senin (24/6).

Belum lagi kepala daerah juga harus ”merawat” tak hanya konstituennya yang telah memilihnya saat pilkada dengan bantuan sosial dan hibah, tetapi juga partai politik pengusung. ”Tidak hanya memberikan dana untuk rapat kerja atau musyawarah daerah dan nasional yang diadakan partai, tetapi juga tim sukses kepala daerah yang terus merongrong dengan minta uang dan fasilitas lain,” ujar Djohermansyah.

Pendapat itu dibenarkan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hasan Bisri. ”Ongkos demokrasi di Indonesia memang tidak kecil. Itu bisa dilihat dari biaya yang sangat besar yang dikeluarkan oleh para calon kepala daerah dengan risiko yang tinggi, mulai dari pencalonan, masa kampanye, hingga dukungan suara. Tentu mereka (para calon) akan mencari pengganti dari dana yang sudah dikumpulkan dan dikeluarkannya itu,” katanya, Senin (24/6).

Tentang otonomi daerah, yang menjadi impian dan cita-cita bersama akibat pelaksanaan pemerintahan pada masa Presiden Soeharto, yang sentralistis, diakui juga telah ”rusak”. Kini, terjadi pemahaman yang berlebihan dan cenderung tanpa batas.

”Dengan otonomi daerah, kepala daerah seenaknya mengatur keuangan daerah menurut pemahaman sendiri. Mereka merasa seperti memiliki otonomi pula dalam menjalankan keuangan daerah dengan menjauhkan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan. Padahal, mereka tidak otonom dalam penggunaan anggaran yang diperuntukkan bagi kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya,” ungkap Hasan.

Dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil yang ditransfer pusat ke daerah melalui APBN merupakan dana negara untuk kemaslahatan rakyat di daerahnya. Bukan hak kepala daerahnya, melainkan hak masyarakat. Korupsi pun tak terelakkan semakin menjadi-jadi. Sebab, pelaksanaannya di daerah kurang diawasi secara ketat.

”Sebenarnya, jika ada sistem pengawasan yang baik, pengawasan bisa berjalan sendiri. Misalnya, jika terjadi penyimpangan anggaran, sistem peringatan dini bisa berjalan. Ini harus ditopang selain dengan sistem online penganggaran, juga berjalannya sistem pengawasan internal (SPI) di daerah. Tanpa kedua hal itu, korupsi terus marak terjadi,” kata Hasan lagi.

Sistem online dalam penganggaran juga menjadi penting ketika diperlukan link and match antarlembaga untuk mengawasi dana masuk dan keluar sehingga menutup peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran. Menurut Ketua BPK Hadi Purnomo, korupsi marak terjadi karena belum adanya perangkat dan sistem link and match (saling berhubungan dan berkesesuaian) sehingga dana yang masuk dan keluar di suatu instansi, termasuk daerah, belum terpantau oleh otoritas keuangan dan lembaga pengawasnya, seperti BPK. 

Idealnya, uang masuk dan keluar tak hanya bisa dibaca oleh Kementerian Keuangan, tetapi juga oleh BPK.
”Sistem link and match ini akan menutup potensi penyimpangan anggaran karena setiap saat kita semua bisa mengontrolnya, dari mana anggaran datang dan ke mana saja anggaran itu keluar,” kata Hadi.
Melawan korupsi memang harus sistematis karena kecenderungan sebagian masyarakat yang semakin permisif terhadap korupsi. Sayangnya, tak hanya elite-elite di daerah bersifat mendua menyikapi korupsi yang semakin masif sekarang ini, tetapi juga sebagian masyarakat.

”Suatu saat, elite kita bisa bersuara keras untuk menyatakan komitmennya memberantas korupsi. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa ketika kelompoknya, rekannya, atau dirinya sendiri melakukan korupsi,” tambah Hasan.

Dikembalikan ke DPRD

Semua itu, bagi Ketua KPK Abraham Samad, berpulang pada integritas dan moral seorang pejabat, termasuk kepala daerah. ”Memang harus ada perangkat sistem pengendalian internal yang berjalan efektif untuk meminimalkan korupsi, tetapi hal itu tak akan berjalan jika tidak ada integritas dan moral yang melandasi komitmen pribadi setiap pejabat daerah. Apalagi jika sanksi hukumnya main-main,” ujarnya.

Agar korupsi di daerah bisa diminimalkan, KPK tak akan pandang bulu. ”Siapa pun, berapa pun keuangan daerah yang disalahgunakan dalam rentang aturan KPK, tak akan dibiarkan. Jangankan korupsi kepala daerah, untuk kasus Bank Century dan Hambalang pun KPK tak akan membiarkan pelakunya lolos,” ucapnya.

Mungkin perlu juga prosedur pemilu kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dikembalikan lagi dari pemilihan langsung menjadi perwakilan di DPRD, seperti yang tengah didorong Kementerian Dalam Negeri untuk mencegah biaya tinggi dalam pilkada. Nantinya, pilkada hanya ada di tingkat provinsi.


Kalau prosedur dan penegakan hukumnya sudah dilakukan untuk mencegah korupsi, semoga ditemukan pula cara lain yang lebih efektif untuk mencegah para kepala daerah menjadi pesakitan di sejumlah rumah tahanan negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar