|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Abdullah Puteh, Gubernur Aceh,
tercatat sebagai salah satu kepala daerah yang pertama kali dijebloskan ke
penjara pada tahun 2004 atau setahun setelah terbentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi. Ia terbukti terlibat dalam korupsi pengadaan helikopter MI-2 merek PLC
Rostov Rusia dan divonis hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp 500 juta.
Setelah Puteh, ratusan gubernur,
bupati, dan wali kota seperti ”berlomba-lomba” menjadi tahanan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, ataupun kepolisian akibat kasus
korupsi. Sebut saja mulai dari Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, Gubernur
Bengkulu Agusrin M Najamuddin, hingga Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan.
Selain itu, Gubernur Kalimantan
Timur Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham, Wali
Kota Tomohon Jefferson Rumajar, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Lalu
Serinata, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, hingga Bupati Boven Digul Yusak
Yaluwo.
Korupsi tak berhenti. Kini,
Gubernur Riau Rusli Zaenal juga ditahan karena dugaan keterlibatannya dalam
korupsi, antara lain revisi peraturan daerah tentang penambahan biaya arena
menembak PON Riau dan pemberian hadiah terkait perda tersebut.
Meski membantah tuduhan
keterlibatannya, mantan Gubernur Sulawesi Selatan M Amin Syam juga harus
diperiksa Kejaksaan Tinggi Sulselbar terkait pengadaan lahan untuk Celebes Centre.
Berdasarkan data Kementerian Dalam
Negeri, sejak 2004 hingga awal Juni lalu, ada 295 gubernur, bupati, wakil
bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang terjerat kasus korupsi. Mereka
tak hanya menyalahgunakan anggaran daerah, antara lain di pos pengadaan barang
atau jasa serta belanja modal, tetapi juga proyek-proyek dan dana bantuan
sosial (bansos) serta hibah yang pertanggungjawabannya kendur sehingga mudah
diakali.
Tindakan koruptif kepala daerah
juga menempati persentase yang tinggi di antara kasus-kasus hukum lainnya yang
menimpa kepala daerah, yaitu mencapai 86 persen dibandingkan pencemaran nama
baik dan kasus pidana lain.
Semua itu membuat lembaran hitam
sejarah perjalanan pemerintahan daerah di Indonesia yang berlangsung sejak era
reformasi pada 1998 dan era menguatnya otonomi daerah saat ini.
Dikepung korupsi
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, Jumat (21/6), mengatakan,
korupsi terjadi karena ketidaktaatan pemimpin daerah menjalankan aturan
perundangan, pengelolaan keuangan, dan kecenderungan pelaksanaan otonomi daerah
yang salah kaprah. Hal itu mendorong penggunaan anggaran semaunya sendiri di
daerah yang dipimpinnya. Faktor lain adalah konsekuensi biaya tinggi dari
pelaksanaan pemilu kepala daerah (pilkada).
Bagi Djohermansyah, untuk ikut
pilkada, seorang calon kepala daerah membutuhkan dana yang cukup besar.
Akibatnya, setelah terpilih, ia harus mengembalikan dana yang telah
dikeluarkannya selama pilkada itu. ”Kalau tak bisa dikembalikan dari gajinya
yang tak sebanding, pada akhirnya korupsi,” katanya, Senin (24/6).
Belum lagi kepala daerah juga harus
”merawat” tak hanya konstituennya yang telah memilihnya saat pilkada dengan
bantuan sosial dan hibah, tetapi juga partai politik pengusung. ”Tidak hanya
memberikan dana untuk rapat kerja atau musyawarah daerah dan nasional yang
diadakan partai, tetapi juga tim sukses kepala daerah yang terus merongrong
dengan minta uang dan fasilitas lain,” ujar Djohermansyah.
Pendapat itu dibenarkan Wakil Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hasan Bisri. ”Ongkos demokrasi di Indonesia
memang tidak kecil. Itu bisa dilihat dari biaya yang sangat besar yang
dikeluarkan oleh para calon kepala daerah dengan risiko yang tinggi, mulai dari
pencalonan, masa kampanye, hingga dukungan suara. Tentu mereka (para calon)
akan mencari pengganti dari dana yang sudah dikumpulkan dan dikeluarkannya
itu,” katanya, Senin (24/6).
Tentang otonomi daerah, yang
menjadi impian dan cita-cita bersama akibat pelaksanaan pemerintahan pada masa
Presiden Soeharto, yang sentralistis, diakui juga telah ”rusak”. Kini, terjadi
pemahaman yang berlebihan dan cenderung tanpa batas.
”Dengan otonomi daerah, kepala
daerah seenaknya mengatur keuangan daerah menurut pemahaman sendiri. Mereka
merasa seperti memiliki otonomi pula dalam menjalankan keuangan daerah dengan
menjauhkan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan. Padahal, mereka tidak otonom
dalam penggunaan anggaran yang diperuntukkan bagi kepentingan pembangunan dan
kesejahteraan rakyatnya,” ungkap Hasan.
Dana alokasi umum, dana alokasi
khusus, dan dana bagi hasil yang ditransfer pusat ke daerah melalui APBN
merupakan dana negara untuk kemaslahatan rakyat di daerahnya. Bukan hak kepala
daerahnya, melainkan hak masyarakat. Korupsi pun tak terelakkan semakin
menjadi-jadi. Sebab, pelaksanaannya di daerah kurang diawasi secara ketat.
”Sebenarnya, jika ada sistem
pengawasan yang baik, pengawasan bisa berjalan sendiri. Misalnya, jika terjadi
penyimpangan anggaran, sistem peringatan dini bisa berjalan. Ini harus ditopang
selain dengan sistem online penganggaran, juga berjalannya sistem
pengawasan internal (SPI) di daerah. Tanpa kedua hal itu, korupsi terus marak
terjadi,” kata Hasan lagi.
Sistem online dalam
penganggaran juga menjadi penting ketika diperlukan link and
match antarlembaga untuk mengawasi dana masuk dan keluar sehingga menutup
peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran. Menurut Ketua BPK Hadi Purnomo,
korupsi marak terjadi karena belum adanya perangkat dan sistem link and match (saling berhubungan
dan berkesesuaian) sehingga dana yang masuk dan keluar di suatu instansi,
termasuk daerah, belum terpantau oleh otoritas keuangan dan lembaga
pengawasnya, seperti BPK.
Idealnya, uang masuk dan keluar tak hanya bisa dibaca
oleh Kementerian Keuangan, tetapi juga oleh BPK.
”Sistem link and match ini akan menutup potensi penyimpangan anggaran
karena setiap saat kita semua bisa mengontrolnya, dari mana anggaran datang dan
ke mana saja anggaran itu keluar,” kata Hadi.
Melawan korupsi memang harus
sistematis karena kecenderungan sebagian masyarakat yang semakin permisif
terhadap korupsi. Sayangnya, tak hanya elite-elite di daerah bersifat mendua
menyikapi korupsi yang semakin masif sekarang ini, tetapi juga sebagian
masyarakat.
”Suatu saat, elite kita bisa
bersuara keras untuk menyatakan komitmennya memberantas korupsi. Namun, dia tak
bisa berbuat apa-apa ketika kelompoknya, rekannya, atau dirinya sendiri
melakukan korupsi,” tambah Hasan.
Dikembalikan
ke DPRD
Semua itu, bagi Ketua KPK Abraham
Samad, berpulang pada integritas dan moral seorang pejabat, termasuk kepala
daerah. ”Memang harus ada perangkat sistem pengendalian internal yang berjalan
efektif untuk meminimalkan korupsi, tetapi hal itu tak akan berjalan jika tidak
ada integritas dan moral yang melandasi komitmen pribadi setiap pejabat daerah.
Apalagi jika sanksi hukumnya main-main,” ujarnya.
Agar korupsi di daerah bisa
diminimalkan, KPK tak akan pandang bulu. ”Siapa pun, berapa pun keuangan daerah
yang disalahgunakan dalam rentang aturan KPK, tak akan dibiarkan. Jangankan
korupsi kepala daerah, untuk kasus Bank Century dan Hambalang pun KPK tak akan
membiarkan pelakunya lolos,” ucapnya.
Mungkin perlu juga prosedur pemilu
kepala daerah di tingkat kabupaten/kota dikembalikan lagi dari pemilihan
langsung menjadi perwakilan di DPRD, seperti yang tengah didorong Kementerian
Dalam Negeri untuk mencegah biaya tinggi dalam pilkada. Nantinya, pilkada hanya
ada di tingkat provinsi.
Kalau prosedur dan penegakan
hukumnya sudah dilakukan untuk mencegah korupsi, semoga ditemukan pula cara
lain yang lebih efektif untuk mencegah para kepala daerah menjadi pesakitan di
sejumlah rumah tahanan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar