Selasa, 02 Juli 2013

Pekerjaan Rumah yang Jauh dari Selesai

Pekerjaan Rumah yang Jauh dari Selesai
M Clara Wresti ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013 


Shin (57) bergegas mengemasi barang-barangnya. Kapal Motor Tidar sudah tiba di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, Maluku, dan akan segera berangkat ke Banda dan Tual. Tidak mudah bagi perempuan setengah baya ini untuk bisa naik ke kapal itu. Sambil membawa barang-barang, dia harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya agar bisa mendapatkan secuil ruang di kapal yang bakal penuh sesak itu.

Perjalanan dengan kapal di Maluku jangan dibayangkan seperti naik kapal pesiar yang serba bersih, nyaman, aman, dan teratur. Semua bayangan itu masih sedikit tersisa di kamar kelas I. Adapun untuk kelas-kelas di bawah itu penumpang harus bisa berdamai dengan kondisi yang ada.

”Jika saja ada pesawat terbang yang bisa mengangkut kami, kami lebih memilih pesawat terbang. Namun, di sini jarang ada pesawat terbang,” kata Shin.

Kapal merupakan pilihan satu-satunya infrastruktur transportasi yang bisa diandalkan di Indonesia timur. Pesawat terbang memang tersedia, tetapi jadwalnya sangat tidak pasti karena bergantung pada kondisi cuaca. Kondisi ini tentu saja menyulitkan masyarakat dan pengembangan pariwisata yang sebenarnya menjadi potensi yang sangat besar bagi kawasan ini.

Persoalan infrastruktur tidak hanya menjadi persoalan di kawasan Indonesia timur. Secara keseluruhan, infrastruktur menjadi persoalan besar yang menghambat pertumbuhan Indonesia.

Dalam indeks daya saing global yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati posisi ke-78 dari 144 negara di bidang ketahanan infrastruktur. Rendahnya ketahanan infrastruktur Indonesia membuat pertumbuhan Indonesia tidak bisa maksimal.

Jika infrastruktur di Indonesia baik, diperkirakan pertumbuhan Indonesia bisa mencapai 9-10 persen. Saat ini karena keterbatasan infrastruktur, pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 6,0 hingga 6,5 persen.
Bank Dunia juga mencatat pertumbuhan Indonesia akan terhambat jika pemerintah tidak memberikan fokus yang mendalam pada persoalan infrastruktur.

Tekanan infrastruktur itu sebenarnya sudah terasa pada tahun 2012. Pertumbuhan produk domestik bruto pada tahun 2012 menurun dibandingkan dengan tahun 2011. Jika pertumbuhan tahun 2011 mencapai 6,5 persen, pada tahun 2012 hanya 6,2 persen.

Dalam evaluasi triwulan I-2013, Bank Dunia menyoroti lima hal yang bisa menjadi sumber tekanan terhadap pertumbuhan. Kelima sumber itu adalah perlambatan pertumbuhan investasi, kemungkinan implikasi dari perlambatan penjualan riil dan pertumbuhan PDB nominal, tren-tren pada neraca eksternal, berlanjutnya beban subsidi bahan bakar minyak, serta melambatnya laju penurunan kemiskinan.

Stefan Koeberle, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, mengatakan, ”Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang sesuai terhadap tekanan itu. Kebijakan yang tepat adalah investasi infrastruktur publik dan penekanan kepada daya saing perdagangan, serta reformasi subsidi BBM.”

Daya saing rendah

Saat ini daya saing produk Indonesia tidak terlalu baik. Hal ini karena ongkos produksi di Indonesia lebih tinggi daripada produk negara lain. Tingginya ongkos produksi ini dipengaruhi biaya logistik yang cukup tinggi. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, biaya logistik produk Indonesia mencapai 14 persen dari biaya produksi, sedangkan di negara lain ongkos produksi di bawah 10 persen. 
Bahkan, di Singapura hanya sekitar 5 persen.

Tingginya biaya logistik ini karena infrastruktur yang belum memadai. Indonesia sebagai negara kepulauan ongkos angkutan lautnya lebih mahal ketimbang ongkos angkutan darat. Hal ini karena infrastruktur pelabuhan dan sarana di Indonesia timur belum bagus. Industri tidak dikembangkan di Indonesia timur sehingga setiap barang harus dipasok dari kawasan barat. Dan setiap barang yang dikirim ke Indonesia timur akan dibebani biaya lebih mahal karena kapal akan kembali dalam kondisi kosong.

Di pelabuhan, kapal juga tidak bisa langsung bongkar muat karena keterbatasan dermaga. Infrastruktur yang tidak memadai ini berimbas pada ongkos logistik yang tinggi.

Biaya pengiriman barang di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, menuju Makassar, Sulawesi Selatan, tercatat Rp 4,5 juta-Rp 7 juta per peti kemas ukuran 20 kaki (TEU). Adapun biaya pengiriman Surabaya-Sorong (Papua) tercatat Rp 13 juta-Rp 17 juta per TEU. Bandingkan dengan biaya pengiriman dari Surabaya ke Malaysia yang hanya 350 dollar AS (sekitar Rp 3,5 juta) per TEU atau biaya pengiriman Surabaya-Beijing (China) sekitar 400 dollar AS (sekitar Rp 4 juta) per TEU.

Ini baru biaya angkut, belum termasuk biaya bongkar muat di pelabuhan.  Dwelling time (lama waktu bongkar muat) di Pelabuhan Tanjung Priok masih sekitar enam hari. Saat ini sedang diupayakan untuk dipercepat lagi, tetapi masih belum secepat dwelling time di negara-negara ASEAN lainnya.

Biaya angkut yang mahal dan lamanya proses bongkar muat di pelabuhan membuat biaya logistik melalui laut jauh lebih mahal daripada melalui darat. Akibatnya, hampir 80 persen kegiatan logistik memilih melalui darat. Hal ini tentu saja akan membuat beban di darat sangat berat.

Banyak jalan yang rusak karena selalu dilintasi truk-truk yang bermuatan berlebihan. Hujan yang banyak turun di wilayah Indonesia juga mempercepat proses rusaknya jalan. Jalan rusak ini tentu saja berkontribusi pada ongkos logistik yang tinggi.

Rendahnya infrastruktur di Indonesia tidak hanya dalam segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas. Banyak pejabat negara ditahan karena korupsi dalam pembangunan infrastruktur. Anggaran infrastruktur dikorupsi sehingga infrastruktur dibangun dengan kualitas seadanya dan rawan rusak.

Kurangnya infrastruktur itu tidak hanya pada infrastruktur darat seperti jalan dan jembatan, tetapi juga infrastruktur ringan seperti pendidikan dan kesehatan. Saat ini pemerintah telah membuat program pendidikan sembilan tahun dan mengejar pendidikan usia dini. Di bidang kesehatan telah diselenggarakan pula jaminan kesehatan masyarakat.

Meski demikian, angka kematian ibu dan bayi masih cukup tinggi. Kementerian Kesehatan mencatat, angka kematian ibu dan bayi mencapai 228 dari 100.000 kelahiran di awal tahun ini. Dengan angka ini, organisasi Save the Children menempatkan Indonesia di posisi 106 dari 130 negara-negara berkembang, di bawah China dan Vietnam, tetapi di atas Filipina dan Timor Leste.

Tingginya angka kematian ibu dan bayi tersebut bukan karena layanan kesehatan yang buruk, melainkan akses untuk mencapai layanan kesehatan yang masih buruk. Sekali lagi ini masalah infrastruktur.
Pekan lalu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM yang artinya mengurangi subsidi BBM. Anggaran yang selama ini dikucurkan untuk subsidi BBM nantinya dikucurkan langsung ke sasaran yang tepat, yakni masyarakat miskin. Selama ini subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat kelas menengah perkotaan.

Kementerian Pekerjaan Umum yang mendapat tugas pertama untuk mengucurkan subsidi kepada masyarakat miskin. Anggaran sebesar Rp 6 triliun dikucurkan untuk pembangunan infrastruktur dasar permukiman di kawasan miskin. Selain itu, akan dibangun pula infrastruktur untuk air bersih di kampung nelayan miskin serta infrastruktur air baku untuk irigasi dan embung bagi masyarakat miskin dan daerah tertinggal.

Apa yang dilakukan pemerintah agaknya sudah pada jalurnya. Namun, masih harus ditinggikan lagi kecepatannya. Anggaran infrastruktur harus di atas 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) juga harus ditepati anggaran dan jadwal pembangunannya di enam koridor. Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur dasar harus lebih luas lagi karena masih banyak kawasan miskin di pelosok yang belum terjamah pembangunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar