|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Bank Indonesia memperkirakan
belanja persiapan pemilihan umum pada tahun 2013 dan pelaksanaannya pada 2014
turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, sejumlah pihak juga
menyoal makin mahalnya biaya politik yang tidak berdampak produktif dalam
jangka panjang. Bagaimana memaknai belanja pemilu tersebut secara ekonomi
politik?
Dalam berbagai kesempatan, sejumlah
pejabat Bank Indonesia (BI) mengemukakan pentingnya peranan pengeluaran
pemilihan umum (pemilu) terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dan 2014.
Sumbangan kegiatan pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan
produk domestik bruto (PDB), dinilai sebagai hal positif dari sisi ekonomi.
Direktur Eksekutif Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Budi Waluyo, di Jakarta, Jumat (14/6),
menjelaskan, khusus untuk tahun 2013 dan 2014, perekonomian domestik memang
diperkirakan mendapat tambahan daya dorong dari kegiatan pemilu.
Pola tersebut, kata Dody,
didasarkan pada pengalaman persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2009. Berdasarkan
data PDB Badan Pusat Statistik tahun 2008 dan 2009, estimasi BI menunjukkan
bahwa belanja Pemilu 2009 sekitar Rp 40 triliun dengan kontribusi terhadap
pertumbuhan PDB 2008 dan 2009, masing-masing sebesar 0,23 persen dan 0,26
persen.
”Kontribusi tersebut berperan cukup
penting dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah krisis
keuangan global yang sedang terjadi pada waktu itu,” tutur Doddy.
Dorong
kegiatan usaha
Apabila kondisi keamanan kondusif,
berbagai aktivitas terkait penyelenggaraan pemilu, mulai dari persiapan hingga
pelaksanaannya, diperkirakan mendorong kegiatan usaha melalui permintaan
terhadap barang manufaktur dan jasa swasta. Secara sektoral, belanja pemilu
tersebut akan mendorong sektor industri pengolahan, khususnya subsektor makanan
dan minuman dan sektor keuangan, real estat dan jasa, khususnya jasa
periklanan.
Belanja tersebut adalah belanja
yang digunakan untuk berbagai kegiatan pemilu, yaitu sosialisasi, iklan, dan
aktivitas pemilu lainnya. Dalam komponen PDB, belanja tersebut diperhitungkan
sebagai konsumsi swasta.
Pada tahun 2008, sebanyak 26 persen
dari total belanja pemilu digunakan pada triwulan IV-2008. Sisanya dibelanjakan
pada triwulan I dan II-2009. Dengan mengikuti pola yang sama, sekitar Rp 11,5
triliun akan dibelanjakan pada triwulan III dan IV-2013, sementara Rp 32,6
triliun akan dibelanjakan pada triwulan I dan II-2014.
Rentang belanja yang lebih panjang
menyesuaikan dengan jadwal kegiatan pelaksanaan Pemilu 2014. ”Berdasarkan
perhitungan BI, total belanja Pemilu 2014 akan mencapai Rp 44,1 triliun,” kata
Doddy.
Dengan melihat pada pola belanja
Pemilu 2009, diperkirakan dana sebesar Rp 11,5 triliun akan dibelanjakan pada
tahun 2013. Belanja tersebut akan memberikan tambahan terhadap pertumbuhan
ekonomi 2013 sebesar 0,13 persen. Pada tahun 2014, kegiatan pemilu diperkirakan
membelanjakan dana Rp 32,6 triliun dengan dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi sebesar 0,19 persen.
Perhitungan biaya tersebut
mempertimbangkan informasi/survei dari berbagai lembaga, khususnya mengenai
kebutuhan dana pemilu. Selain itu, dilakukan perbandingan dengan pelaksanaan
Pemilu 2009. Dalam perbandingan tersebut, dilakukan penyesuaian perubahan dalam
penyelenggaraan pemilu yang akan berpengaruh pada biaya yang dikeluarkan,
seperti jumlah maksimum calon anggota legislatif (caleg) dari setiap partai,
jumlah partai peserta pemilu, dan perkembangan lainnya yang relevan.
Dari sisi persentase, sebenarnya
nilainya lebih kecil, yaitu 0,26 persen pada Pemilu 2009 dan 0,19 persen pada
Pemilu 2014. Namun, dari sisi nilai belanja terjadi kenaikan belanja, pada
Pemilu 2009 sebesar Rp 40 triliun menjadi Rp 44,1 triliun pada Pemilu 2014.
”Biaya pemilu tersebut terbagi,
yaitu biaya penyelenggaraan dan biaya kandidat,” kata peneliti politik Centre for Strategic and International
Sudies, J Kristiadi. Biaya penyelenggaraan adalah biaya dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Untuk keperluan Pemilu 2009, KPU
mengajukan anggaran Rp 8,2 triliun untuk tahun anggaran 2008 dan Rp 14,1
triliun untuk keperluan tahun 2009. Untuk tahun 2014, KPU mengajukan anggaran
Rp 8 triliun, lebih rendah Rp 200 miliar dari pengajuan tahun 2009.
Biaya kandidat adalah biaya yang
dikeluarkan oleh calon anggota legislatif serta dan calon presiden dan wakil
presiden, termasuk biaya yang dikeluarkan partai politik pengusungnya.
Berdasarkan data dana kampanye partai politik yang dilaporkan ke KPU pada
Pemilu 2009, nilainya lebih dari Rp 810 miliar. Dana kampanye partai politik
terbesar dengan nilai di atas Rp 100 miliar adalah Partai Gerindra sebesar Rp
308 miliar, Partai Demokrat Rp 243,8 miliar, dan Partai Golkar Rp 164,5 miliar.
Pada Pemilu 2009, pasangan Megawati
Soekarnoputri-Prabowo Subianto melaporkan dana kampanye sebesar Rp 20 miliar.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono melaporkan dana kampanye Rp 20,3
miliar. Pasangan M Jusuf Kalla-Wiranto melaporkan dana kampanye Rp 10,25
miliar.
Biaya kampanye caleg bervariasi,
mulai dari ratusan juta rupiah hingga mencapai Rp 20 miliar. Politikus Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung Wibowo, misalnya, memaparkan,
biaya kampanye yang dikeluarkan caleg untuk duduk sebagai legislator pada
Pemilu 2009, yakni artis dan selebritas Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar. Aktivis
partai politik Rp 600 juta hingga Rp 1,2 miliar. Purnawirawan TNI Rp 800 juta
hingga Rp 1,8 miliar. Pengusaha Rp 1,8 miliar hingga Rp 6 miliar.
Namun, ada pengusaha yang
mengeluarkan biaya hingga Rp 20 miliar. Pada Pemilu 2009 itu jumlah caleg
11.301 orang. Jika dirata-rata biaya Rp 2 miliar per orang, biaya caleg
mencapai 22,602 triliun.
Berkaca dari Pemilu 2009 tersebut,
jumlah yang dapat dihitung tersebut adalah Rp 31,412 triliun. Jumlah terbesar
adalah belanja kampanye caleg sebesar Rp 22,602 triliun. Jumlah keseluruhan
belanja pemilu itu lebih kecil dari perkiraan BI yang Rp 40 triliun.
Ekonom dari Universitas Brawijaya
Malang, Ahmad Erani Yustika, juga menilai sebetulnya kontribusi pemilu
terhadap pertumbuhan relatif tidak terlalu besar. Meskipun demikian, secara
ekonomi politik, perlu dilihat bagaimana pengalokasian dana Rp 44,1 triliun
tersebut.
”Apakah alokasinya benar-benar
bermanfaat menjadi kegiatan yang produktif dan berjangka panjang atau untuk
kegiatan konsumtif yang habis pakai,” kata Erani.
Erani dan Kristiadi sepakat bahwa
belanja pemilu itu tidak berarti apa-apa jika hasil pemilu, yaitu para anggota
legislatif beserta presiden dan wakil presiden, tidak memberi prospek dapat
menyejahterakan rakyat. Jadi belanja atau biaya pemilu itu tidak ada manfaatnya
untuk rakyat. Oleh karena itu, semua pihak perlu bersama-sama mendorong agar
belanja pemilu tersebut dapat efisien dan menghasilkan pemimpin sesuai dengan
harapan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar