Senin, 01 Juli 2013

Intelektual Politisi

Intelektual Politisi
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KOMPAS, 29 Juni 2013


Experience without theory is blind,
but theory without experience
is mere intellectual play
Immanuel Kant

Tidak terlampau berlebihan kalau banyak yang mengatakan, krisis intelektualitas amat terasa di dunia politik kita saat ini. Proses, dinamika, hingga produk-produk politik banyak yang jauh dari semangat dan nilai intelektualitas. Elite yang berkuasa (the rulling elites) memang tidak didominasi kaum intelektual meski intelektualitas bukan monopoli kaum intelektual. Dalam konteks inilah intelektualisasi politisi dipandang mendasar.

Indonesia pernah mengalami masa di mana dunia politik nasional didominasi politisi-intelektual. Pada masa itu perdebatan intelektual ingar-bingar. Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno, adalah tipe politisi intelektual. Sebelum kemerdekaan, Bung Karno banyak menulis gagasan tentang bangsa, kemanusiaan, dan anti-penjajahan. Politisi zaman itu genealoginya intelektual terdidik.

Generasi kita di zaman sekarang dengan mudah menelusuri rekam jejak pemikiran politik mereka. Bung Karno, misalnya, menulis Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Hatta Demokrasi Kita, Bung Sjahrir Perjuangan Kita, Tan Malaka Madilog, Pak Natsir Capita Selekta, AH Nasution Memenuhi Panggilan Tugas, dan TB Simatupang Laporan dari Banaran. Hampir semua menulis secara otentik. Pandangan dan sikap politiknya jelas. Itulah cermin generasi politisi intelektual terdidik.

Ideologis ke teknokratis

Di zaman kita, hal itu tidak terjadi lagi. Definisi kaum intelektual lebih cair, tidak semata yang berpendidikan tinggi. Fragmentasi ideologis tidak setajam masa lalu. Karena itu, kebutuhan untuk berdebat ideologi dan berpolemik di media massa dipandang kurang relevan. Yang semarak adalah talk show di televisi yang durasinya singkat dan para politisi dituntut bisa atraktif.

Bahkan, tidak ada tuntutan intelektualitas penyusunan visi-misi ketika hendak maju sebagai pejabat politik. Tradisi menulis buku juga langka, kecuali buku- buku semi-biografi untuk kepentingan politik-pragmatis.
Kita sudah melalui fase perdebatan bertele-tele di Badan Konstituante, Dekret Presiden pada 1959, dan kemudian masuk ke era Orde Baru, di mana tradisi perdebatan intelektual bergeser drastis: dari perdebatan ideologis ke teknokratis. Para politisi di masa Orde Baru dihadapkan pada pola pikir baku pembangunanisme. Mereka yang berpikir di luar kerangka itu, misalnya perspektif dependensia, letaknya di luar arus utama kekuasaan.

Intelektualisasi politik Orde Baru, proses dan hasil akhirnya terlihat dari produk Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN adalah produk intelektual ”sakral” yang harus dijalankan oleh Presiden.
Pola pikir teknokratis juga merangsek ke DPR dan mewarnai produk-produk legislatif. Pemerintah lebih proaktif mengajukan rancangan undang-undang dan mengoptimalkan pengaruhnya sehingga DPR jadi semacam ”tukang stempel”.

Nuansa ”penyeragaman politik” terasa sekali ketika itu. Dalam logika Orde Baru, itu semua untuk kebaikan bersama: menopang stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Logika intelektualitas membuat kue besar dan kemudian terbagi rata mengemuka. Teori menetes ke bawah (trickle down effect) populer.

Reintelektualisasi

Baik intelektual zaman ideologis maupun teknokratis membentuk pengalaman masing-masing. Pada era reformasi, ketika situasi kepolitikannya lain, kaum intelektual banyak yang terakomodasi di dunia politik. Pada mulanya mereka pelopor dan dinamisator reformasi. Mereka begitu mewarnai panggung politik di era transisi meski harus berbaur dengan politisi lama sebagai konsekuensi pola politik, meminjam Huntington, transplasi.

Reformasi diterjemahkan dan kemudian mewujud pada konstitusi, sistem kepolitikan, lembaga, dan otonomi daerah yang serba baru, hingga sosialisasi gagasan empat pilar kebangsaan oleh MPR. Semua itu hadir di tengah iklim kebebasan politik dan pers mutakhir. Tidak ada lagi yang terlampau disakralkan, termasuk Pancasila yang dipandang secara rasional, bukan mitologis dan indoktrinatif.

Intelektualisasi berarti rasionalisasi. Semua produk politik bisa direvisi dengan pertimbangan ada aspek rasional yang lebih penting. Bahkan, pada praktiknya, banyak produk legislasi, terutama bidang politik selalu berubah-ubah. Terasa sekali politisi kita gagal mendesain produk legislasi yang basis akademisnya kuat dan bisa langgeng. Faktor penting lain adalah adanya Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas yang bisa ”merevisi” produk-produk legislasi itu. Masyarakat dan para intelektual di luar arus kekuasaan berpeluang ”berpolitik” melalui mekanisme uji materi (judicial review).

Banyaknya produk politik yang tidak optimal, karena prosesnya terlampau berorientasi kepentingan pragmatis, membuat nuansa intelektualitas di panggung politik nyaris tak terasa. Argumen-argumen teoretis kurang mendapat tempat.

Meminjam Immanuel Kant di atas, tampaknya kita lebih banyak merasakan  experience without theory. Sementara kaum intelektual tidak begitu berminat masuk politik. Mereka cenderung apatis karena politik bebas dirasa kurang menguntungkan bagi yang punya gagasan. Gagasan sebagai ciri kaum intelektual terbentur batas-batas kepentingan. Karena itu, produk politik bukan lagi muara gagasan, tetapi konsensus kepentingan.


Kita perlu peran lebih besar kaum intelektual dalam politik walaupun mereka tidak harus terlibat dalam politik sehari-hari. Kaum politisi pun harus membuka diri dan bekerja sama lebih erat dengan para intelektual agar terbentuk pola intelektualisasi politik yang mandiri dan kreatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar