|
KOMPAS,
29 Juni 2013
Experience without theory is blind,
but theory without experience
is mere intellectual play
but theory without experience
is mere intellectual play
Immanuel Kant
Tidak terlampau berlebihan kalau
banyak yang mengatakan, krisis intelektualitas amat terasa di dunia politik
kita saat ini. Proses, dinamika, hingga
produk-produk politik banyak yang jauh dari semangat dan nilai intelektualitas.
Elite yang berkuasa (the rulling elites)
memang tidak didominasi kaum intelektual meski intelektualitas bukan monopoli
kaum intelektual. Dalam konteks inilah intelektualisasi politisi dipandang
mendasar.
Indonesia pernah mengalami masa di
mana dunia politik nasional didominasi politisi-intelektual. Pada masa itu
perdebatan intelektual ingar-bingar. Presiden Republik Indonesia pertama, Bung
Karno, adalah tipe politisi intelektual. Sebelum kemerdekaan, Bung Karno banyak
menulis gagasan tentang bangsa, kemanusiaan, dan anti-penjajahan. Politisi
zaman itu genealoginya intelektual terdidik.
Generasi kita di zaman sekarang
dengan mudah menelusuri rekam jejak pemikiran politik mereka. Bung Karno,
misalnya, menulis Di Bawah Bendera
Revolusi, Bung Hatta Demokrasi
Kita, Bung Sjahrir Perjuangan Kita,
Tan Malaka Madilog, Pak
Natsir Capita Selekta, AH
Nasution Memenuhi Panggilan Tugas,
dan TB Simatupang Laporan dari Banaran. Hampir semua menulis secara
otentik. Pandangan dan sikap politiknya jelas. Itulah cermin generasi politisi
intelektual terdidik.
Ideologis
ke teknokratis
Di zaman kita, hal itu tidak
terjadi lagi. Definisi kaum intelektual lebih cair, tidak semata yang
berpendidikan tinggi. Fragmentasi ideologis tidak setajam masa lalu. Karena
itu, kebutuhan untuk berdebat ideologi dan berpolemik di media massa dipandang
kurang relevan. Yang semarak adalah talk
show di televisi yang durasinya singkat dan para politisi dituntut
bisa atraktif.
Bahkan, tidak ada tuntutan intelektualitas
penyusunan visi-misi ketika hendak maju sebagai pejabat politik. Tradisi
menulis buku juga langka, kecuali buku- buku semi-biografi untuk kepentingan
politik-pragmatis.
Kita sudah melalui fase perdebatan
bertele-tele di Badan Konstituante, Dekret Presiden pada 1959, dan kemudian
masuk ke era Orde Baru, di mana tradisi perdebatan intelektual bergeser
drastis: dari perdebatan ideologis ke teknokratis. Para politisi di masa Orde
Baru dihadapkan pada pola pikir baku pembangunanisme. Mereka yang berpikir di
luar kerangka itu, misalnya perspektif dependensia, letaknya di luar arus utama
kekuasaan.
Intelektualisasi politik Orde Baru,
proses dan hasil akhirnya terlihat dari produk Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). GBHN adalah produk intelektual ”sakral” yang harus dijalankan oleh
Presiden.
Pola pikir teknokratis juga
merangsek ke DPR dan mewarnai produk-produk legislatif. Pemerintah lebih
proaktif mengajukan rancangan undang-undang dan mengoptimalkan pengaruhnya
sehingga DPR jadi semacam ”tukang stempel”.
Nuansa ”penyeragaman politik”
terasa sekali ketika itu. Dalam logika Orde Baru, itu semua untuk kebaikan
bersama: menopang stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan
pembangunan. Logika intelektualitas membuat kue besar dan kemudian terbagi rata
mengemuka. Teori menetes ke bawah (trickle
down effect) populer.
Reintelektualisasi
Baik intelektual zaman ideologis
maupun teknokratis membentuk pengalaman masing-masing. Pada era reformasi,
ketika situasi kepolitikannya lain, kaum intelektual banyak yang terakomodasi
di dunia politik. Pada mulanya mereka pelopor dan dinamisator reformasi. Mereka
begitu mewarnai panggung politik di era transisi meski harus berbaur dengan
politisi lama sebagai konsekuensi pola politik, meminjam Huntington,
transplasi.
Reformasi diterjemahkan dan
kemudian mewujud pada konstitusi, sistem kepolitikan, lembaga, dan otonomi
daerah yang serba baru, hingga sosialisasi gagasan empat pilar kebangsaan oleh
MPR. Semua itu hadir di tengah iklim kebebasan politik dan pers mutakhir. Tidak
ada lagi yang terlampau disakralkan, termasuk Pancasila yang dipandang secara
rasional, bukan mitologis dan indoktrinatif.
Intelektualisasi berarti
rasionalisasi. Semua produk politik bisa direvisi dengan pertimbangan ada aspek
rasional yang lebih penting. Bahkan, pada praktiknya, banyak produk legislasi,
terutama bidang politik selalu berubah-ubah. Terasa sekali politisi kita gagal
mendesain produk legislasi yang basis akademisnya kuat dan bisa langgeng.
Faktor penting lain adalah adanya Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas yang
bisa ”merevisi” produk-produk legislasi itu. Masyarakat dan para intelektual di
luar arus kekuasaan berpeluang ”berpolitik” melalui mekanisme uji materi (judicial review).
Banyaknya produk politik yang tidak
optimal, karena prosesnya terlampau berorientasi kepentingan pragmatis, membuat
nuansa intelektualitas di panggung politik nyaris tak terasa. Argumen-argumen
teoretis kurang mendapat tempat.
Meminjam Immanuel Kant di atas,
tampaknya kita lebih banyak merasakan experience
without theory. Sementara kaum intelektual tidak begitu berminat masuk
politik. Mereka cenderung apatis karena politik bebas dirasa kurang
menguntungkan bagi yang punya gagasan. Gagasan sebagai ciri kaum intelektual
terbentur batas-batas kepentingan. Karena itu, produk politik bukan lagi muara
gagasan, tetapi konsensus kepentingan.
Kita perlu peran lebih besar kaum
intelektual dalam politik walaupun mereka tidak harus terlibat dalam politik
sehari-hari. Kaum politisi pun harus membuka diri dan bekerja sama lebih erat dengan
para intelektual agar terbentuk pola intelektualisasi politik yang mandiri dan
kreatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar