Selasa, 18 Desember 2012

Tahun Sungsang


Tahun Sungsang
Sukardi Rinakit ;  Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 18 Desember 2012



Dalam hal ide, pandangan Taufiq Kiemas, tokoh yang mengarsiteki sosialisasi empat pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) hampir sejalan dengan Soegeng Sarjadi, ketua saya di kantor.
Beberapa kali Taufiq Kiemas menyatakan kepada penulis bahwa kita perlu membangun budaya politik baru. Partai pemenang pemilu mengusung kandidat presiden, partai di urutan kedua menjadi calon wakil presiden, dan perolehan ketiga menjadi calon ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara Soegeng Sarjadi berargumen agar presidential threshold ditetapkan setinggi-tingginya, misalnya 40 persen. Dengan demikian, semua partai dipaksa untuk berkoalisi. Kesombongan partai otomatis akan mengempis.
Ancangan budaya politik baru tersebut dimaksudkan untuk terciptanya stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan. Tentu kepingan-kepingan lain, seperti sistem pemilu proporsional dan lahirnya generasi baru kepemimpinan nasional, turut menjadi bagian dari konstruksi budaya politik baru itu.
Fenomena Kesungsangan
Terlepas dari substansinya yang mesti didiskusikan lebih jauh, gagasan kedua tokoh tersebut merefleksikan lelahnya mereka menyaksikan praktik politik yang diwarnai kontestasi tak berujung antara eksekutif dan legislatif. Seakan-akan masing-masing saling mengunci. Akibatnya, stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan terganggu.
Jika para tokoh saja merasakan kelelahan melihat praktik politik yang berlaku, bisa dibayangkan betapa penatnya masyarakat. Mereka setiap saat disuguhi drama politik tanpa skrip, seperti gaduhnya korupsi pengadaan Al Quran, pemerasan terhadap badan usaha milik negara (BUMN), dan korupsi yang dilakukan elite partai.
Semua itu meneguhkan asumsi bahwa panggung pengambilan keputusan dipenuhi politisi yang memainkan peran palsu. Ibarat panggung drama, mereka tidak menjadi nurani dan suara hati rakyat, tetapi sekadar perpanjangan tangan dari partai politik, jika tidak boleh disebut representasi kepentingan subyektif elite partai.
Merujuk pada diskusi internal Soegeng Sarjadi Syndicate, fenomena politik tahun ini ditandai oleh meluasnya praktik politik sungsang. Ini bisa dilihat pada perilaku kelompok- kelompok strategis yang menjadi aktor utama politik. Mereka terbolak-balik dalam memaknai perannya.
Lembaga kepresidenan, misalnya, yang seharusnya menjadi jantung tegaknya prinsip presidensialitas, malah tidak berani mengibarkan bendera kesejahteraan. Ia tidak berani meningkatkan subsidi benih dan mencabut subsidi bahan bakar minyak yang jelas-jelas hanya dinikmati oleh pemilik mobil pribadi.
Posisi sungsang itu menjadi semakin terasa ketika terjadi kegaduhan politik karena ada sinyalemen bahwa BUMN diperas oleh anggota DPR. Selain itu, juga munculnya dugaan kongkalikong antara anggota DPR dan tiga kementerian. Di sini bukan prinsip presidensialitas yang ditegakkan dan mekanisme checks and balances yang dipraktikkan, melainkan sekadar inisiatif pribadi menteri. Akibatnya, hanya kegaduhan yang terjadi.
Posisi sungsang lembaga kepresidenan tersebut secara simbolik bisa dilihat dari keharuman nama presiden di luar negeri yang berbanding terbalik dengan di dalam negeri. Ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila para menteri berinisiatif untuk berada di puncak piramida, sedangkan presiden di alas piramida. Ia hanya akan muncul kalau situasi genting. Model ini belum berlaku tahun ini.
Secara obyektif, fenomena politik sungsang juga melanda DPR, partai politik, bahkan masyarakat sipil. DPR dan partai politik yang seharusnya menjadi representasi dari kepentingan rakyat telah jungkir balik menjadi kepentingan pribadi, kelompok, dan partai. Mereka menderita tirani urgensi dan miskin etika masa depan. Tidak ada mimpi untuk membangun ruang sosial demi kelangsungan hidup bangsa.
Paling menarik dari posisi sungsang adalah apabila itu terjadi di masyarakat sipil seperti yang menebar tahun ini. Berbeda dengan kelompok strategis lain, pada masyarakat sipil kesungsangan tidak selalu berarti negatif. Ini bisa dilihat, misalnya, dari respons mereka terhadap hasil jajak pendapat.
Suara Tuhan
Hampir semua jajak pendapat mengonfirmasi bahwa figur-figur seperti Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie mempunyai elektabilitas cukup tinggi untuk kandidat presiden 2014. Sementara Mahfud MD, Hatta Rajasa, Dahlan Iskan, dan Surya Paloh untuk posisi calon wakil presiden. Itu adalah suara murni rakyat. Jika ditarik garis lurus, secara simplistis bisa dikatakan suara rakyat itulah suara Tuhan (vox populi vox Dei).
Akan tetapi, dengan sejumlah pertimbangan, khususnya yang berkaitan dengan integritas figur tersebut, orang-orang pandai mencoba menyodorkan argumen lain, yaitu suara orang-orang pandai adalah suara Tuhan (vox cognitoris vox Dei). Dengan istilah lain, suara elite adalah suara Tuhan. Berbeda dengan suara rakyat, suara elite tersebut menghasilkan figur-figur seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani Indrawati, dan Hidayat Nur Wahid sebagai figur-figur unggulan untuk Pemilu 2014.
Apabila dilihat sekilas, langkah politik masyarakat sipil tersebut adalah sungsang. Namun, hal itu tidak ada nilai negatifnya karena mereka sekadar mencari alternatif terbaik bagi kemuliaan bangsa dan negara. Saya sendiri berpendapat, baik vox populi maupun vox cognitoris adalah vox Dei. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar