Tahun Sungsang
Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi
Syndicate
|
KOMPAS,
18 Desember 2012
Dalam hal ide, pandangan
Taufiq Kiemas, tokoh yang mengarsiteki sosialisasi empat pilar (Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) hampir sejalan dengan Soegeng
Sarjadi, ketua saya di kantor.
Beberapa
kali Taufiq Kiemas menyatakan kepada penulis bahwa kita perlu membangun
budaya politik baru. Partai pemenang pemilu mengusung kandidat presiden,
partai di urutan kedua menjadi calon wakil presiden, dan perolehan ketiga
menjadi calon ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara Soegeng Sarjadi
berargumen agar
Ancangan
budaya politik baru tersebut dimaksudkan untuk terciptanya stabilitas politik
dan efektivitas pemerintahan. Tentu kepingan-kepingan lain, seperti sistem
pemilu proporsional dan lahirnya generasi baru kepemimpinan nasional, turut
menjadi bagian dari konstruksi budaya politik baru itu.
Terlepas
dari substansinya yang mesti didiskusikan lebih jauh, gagasan kedua tokoh
tersebut merefleksikan lelahnya mereka menyaksikan praktik politik yang
diwarnai kontestasi tak berujung antara eksekutif dan legislatif. Seakan-akan
masing-masing saling mengunci. Akibatnya, stabilitas politik dan efektivitas
pemerintahan terganggu.
Jika
para tokoh saja merasakan kelelahan melihat praktik politik yang berlaku,
bisa dibayangkan betapa penatnya masyarakat. Mereka setiap saat disuguhi
drama politik tanpa skrip, seperti gaduhnya korupsi pengadaan Al Quran,
pemerasan terhadap badan usaha milik negara (BUMN), dan korupsi yang
dilakukan elite partai.
Semua
itu meneguhkan asumsi bahwa panggung pengambilan keputusan dipenuhi politisi
yang memainkan peran palsu. Ibarat panggung drama, mereka tidak menjadi
nurani dan suara hati rakyat, tetapi sekadar perpanjangan tangan dari partai
politik, jika tidak boleh disebut representasi kepentingan subyektif elite
partai.
Merujuk
pada diskusi internal Soegeng Sarjadi Syndicate, fenomena politik tahun ini
ditandai oleh meluasnya praktik politik sungsang. Ini bisa dilihat pada
perilaku kelompok- kelompok strategis yang menjadi aktor utama politik.
Mereka terbolak-balik dalam memaknai perannya.
Lembaga
kepresidenan, misalnya, yang seharusnya menjadi jantung tegaknya prinsip
presidensialitas, malah tidak berani mengibarkan bendera kesejahteraan. Ia
tidak berani meningkatkan subsidi benih dan mencabut subsidi bahan bakar
minyak yang jelas-jelas hanya dinikmati oleh pemilik mobil pribadi.
Posisi
sungsang itu menjadi semakin terasa ketika terjadi kegaduhan politik karena
ada sinyalemen bahwa BUMN diperas oleh anggota DPR. Selain itu, juga
munculnya dugaan kongkalikong antara anggota DPR dan tiga kementerian. Di
sini bukan prinsip presidensialitas yang ditegakkan dan mekanisme
Posisi
sungsang lembaga kepresidenan tersebut secara simbolik bisa dilihat dari
keharuman nama presiden di luar negeri yang berbanding terbalik dengan di
dalam negeri. Ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila para menteri
berinisiatif untuk berada di puncak piramida, sedangkan presiden di alas
piramida. Ia hanya akan muncul kalau situasi genting. Model ini belum berlaku
tahun ini.
Secara
obyektif, fenomena politik sungsang juga melanda DPR, partai politik, bahkan
masyarakat sipil. DPR dan partai politik yang seharusnya menjadi representasi
dari kepentingan rakyat telah jungkir balik menjadi kepentingan pribadi,
kelompok, dan partai. Mereka menderita tirani urgensi dan miskin etika masa
depan. Tidak ada mimpi untuk membangun ruang sosial demi kelangsungan hidup
bangsa.
Paling
menarik dari posisi sungsang adalah apabila itu terjadi di masyarakat sipil
seperti yang menebar tahun ini. Berbeda dengan kelompok strategis lain, pada
masyarakat sipil kesungsangan tidak selalu berarti negatif. Ini bisa dilihat,
misalnya, dari respons mereka terhadap hasil jajak pendapat.
Hampir
semua jajak pendapat mengonfirmasi bahwa figur-figur seperti Prabowo
Subianto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie mempunyai
elektabilitas cukup tinggi untuk kandidat presiden 2014. Sementara Mahfud MD,
Hatta Rajasa, Dahlan Iskan, dan Surya Paloh untuk posisi calon wakil
presiden. Itu adalah suara murni rakyat. Jika ditarik garis lurus, secara
simplistis bisa dikatakan suara rakyat itulah suara Tuhan (
Akan
tetapi, dengan sejumlah pertimbangan, khususnya yang berkaitan dengan
integritas figur tersebut, orang-orang pandai mencoba menyodorkan argumen
lain, yaitu suara orang-orang pandai adalah suara Tuhan (
Apabila
dilihat sekilas, langkah politik masyarakat sipil tersebut adalah sungsang.
Namun, hal itu tidak ada nilai negatifnya karena mereka sekadar mencari
alternatif terbaik bagi kemuliaan bangsa dan negara. Saya sendiri
berpendapat, baik
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar