KONSTITUSI DAN NEGARA
KESEJAHTERAAN
Kembalikan
Keadaban Publik
|
KOMPAS,
26 Desember 2012
Apa yang akan terjadi jika semangat
pragmatisme, komersialisasi, dan korupsi yang mewabah juga ikut menggerogoti
dunia pendidikan sebagai wahana penting pencetak warga negara dalam upaya
wewujudkan suatu keadaban bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Apa yang terjadi jika lembaga pendidikan
bermain mata dengan kekuasaan? Ketika secara kolektif sebagai bangsa kita
terus mengalami pendangkalan, kehilangan seluruh nalar reflektif, kemampuan
berpikir abstrak, dan hasrat bertindak? Ketika tujuan pendidikan dikuasai
nalar korporasi dan direduksi sekadar untuk penuhi tuntutan pasar?
Dunia pendidikan kita tengah menghadapi
persoalan besarnya sendiri. Akibatnya, sulit berharap lembaga pendidikan bisa
menjadi elemen penggerak masyarakat sipil dalam upaya mengimbangi kepentingan
bisnis dan kepentingan kekuasaan politik. Yang terjadi, dunia akademik justru
cenderung menjadi pelayan kekuasaan bisnis dan politik.
Dalam relasi kekuasaan politis, sulit
membayangkan masyarakat akademik menjadi penyeimbang kekuasaan ketika
pemerintah, melalui berbagai peraturan, ikut menata statuta perguruan tinggi,
proses belajar-mengajar, perekrutan serta pemindahan dosen dan peneliti.
Bagaimana bisa berharap dosen/akademisi/peneliti bersikap kritis terhadap
kekuasaan jika pemerintah punya otoritas langsung untuk memindahkan dia dari
jabatannya? Dalam relasi kekuasaan pasar, sulit berharap sikap kritis muncul
jika kurikulum dan arah penelitian ada di bawah cara pikir kepentingan dunia
bisnis dan industri.
Pragmatisme tengah menjangkiti
penyelenggaraan dunia pendidikan kita, mulai dari SD hingga perguruan tinggi.
Tujuan pendidikan yang menurut Pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegara, mengalami pendangkalan, digantikan jargon-jargon
populer seperti ”memproduksi manusia unggul, berdaya saing global, dan mampu
memenuhi tuntutan kebutuhan pasar”.
Semua itu penting, tetapi jadi persoalan
besar ketika kemudian indikator yang sangat instrumental ini mengambil alih
arah dan tujuan penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Keberhasilan
pendidikan semestinya tak hanya diukur dari kompetensi anak didik, tetapi juga
kebiasaan dalam sikap dan tindakan serta ketajaman intuisi dan nurani sebagai
wujud transformasi utuh manusia di dalam keadaban bersama.
Ketika motif dagang memasuki kawasan
pendidikan, yang terjadi adalah kolonisasi homo economicus. Alih-alih
menerapkan kriteria pendidikan, para birokrat pendidikan kita justru lebih
sibuk menerapkan nalar industri dan memburu ISO. Mutu tata kelola pendidikan
pun didefinisikan berdasarkan kepuasan pelanggan. Pasar menjadi kata penentu
dalam setiap keputusan. Momok terbesar perguruan tinggi sekarang ini adalah
jika lulusannya tak laku di pasar.
Berkuasanya nalar ekonomi membuat nalar
praktis dan epistemik tenggelam di bawah nalar instrumental. Orang diajarkan
jadi ”tukang nalar” yang tahu mencapai tujuan tetapi tak mampu menimbang
baik-buruk tujuan. Cita-cita mendidik warga negara dialihkan jadi mendidik
konsumen yang tentu saja tak diajarkan bersikap kritis, rasional, abstrak-
imajinatif-kreatif demi kebaikan hidup bersama. Sebaliknya, mereka dididik
hasratnya untuk menyerap segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar.
Lembaga pendidikan yang mempertahankan
cita-cita ideal pendidikan dianggap ketinggalan zaman. Dihadapkan pada
anggaran terbatas, mereka lebih mengutamakan penelitian dan pengembangan
bidang-bidang ilmu yang bisa memberi manfaat segera atau memenuhi tuntutan
pasar. Kurikulum pun dirombak untuk bisa menopang tujuan itu.
Tanpa strategi yang mengacu ke hakikat dan
tujuan pendidikan, bukan mustahil para peneliti-dosen didikte oleh
kepentingan bisnis dan kekuasaan. Peneliti dari bidang-bidang yang kering—
seperti penelitian dasar—beralih ke penelitian yang lebih mendatangkan
keuntungan ekonomi dan relasi dengan kekuasaan. Di bidang kesehatan, banyak
penelitian biomedis bergeser dari upaya memahami penyebab penyakit ke produksi
obat-obatan yang lebih membuahkan laba. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika
bukan hanya arah penelitian (otonomi akademik) yang didikte kepentingan
industri, melainkan juga jawaban-jawabannya (integritas akademik).
Otonomi Lembaga
Dihadapkan pada situasi seperti ini,
otonomi lembaga pendidikan menjadi amat krusial, baik otonomi dalam tata
kelola maupun otonomi akademik. Otonomi merupakan syarat mutlak agar lembaga
pendidikan tinggi dapat memenuhi fungsi sesuai misinya. Hanya melalui
kurikulum yang dirancang secara cermat pendidikan dapat menghidupkan kembali
perannya dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kurikulum ini
harus mampu menerjemahkan tujuan pendidikan ke dalam upaya menanamkan
dasar-dasar keahlian (dalam bidang keilmuan/ vokasi/ rekayasa) sekaligus
kebiasaan sikap dan tindakan yang dibutuhkan agar manusia yang sudah
menjalani pendidikan mampu menggerakkan berbagai kelembagaan dalam masyarakat
untuk mendukung cita-cita hidup bersama.
Konkretnya, mengembalikan pendidikan bukan
hanya untuk menghasilkan profesional yang terciutkan menjadi ”tukang nalar”
yang bekerja untuk memuaskan klien, kekuasaan, dan diri sendiri serta
lingkungannya, melainkan profesional dalam bidang masing-masing, menjalankan
tugas sesuai bidang keahlian, dan pada saat bersamaan menjadikan keahliannya
berkontribusi bagi hidup bersama. Yang terjadi selama ini, nalar ekonomi
telah menciutkan makna profesi dengan dampak mengerikan bagi hidup berbangsa
dan bernegara.
Masalah lain yang memengaruhi situasi
pendidikan kita adalah cuaca kultural yang kian ditandai dengan kesibukan di
dunia maya. Orang tak lagi punya cukup waktu dan malas berpikir secara
mendalam. Tanpa kemampuan berpikir mendalam, kita tak akan mampu
mengembangkan kemampuan bercakap- cakap dengan batin sendiri. Akibatnya,
korupsi kian mengganas, sementara warga masyarakat sipil kian tenggelam
memburu kepentingan sendiri-sendiri, tercerai dari kepentingan berbangsa dan
bernegara.
Untuk menghubungkan kembali pendidikan
dengan cita-cita mengembangkan kecerdasan hidup berbangsa dan bernegara,
pengembangan kemampuan berpikir abstrak dan pengembangan imajinasi menjadi
hal mendesak untuk dilakukan. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan
kemampuan berpikir abstrak tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang
negara-bangsa.
Gerakan Masyarakat Sipil
Gerakan masyarakat sipil diharapkan bukan
sekadar penyeimbang kekuatan pemerintah (dan bisnis), melainkan gerakan
menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadaban publik. Kekuasaan
pemerintah dan bisnis tanpa kontrol kritis dari masyarakat cenderung korup
dan membuahkan ketidakadaban dalam kehidupan publik. Ketidakadaban tecermin
dari menurunnya sikap dan tindakan yang merujuk ke konstitusi, UU, hukum, dan
norma-norma kepentingan hidup bersama.
Ketidakmampuan pemerintah menegakkan
konstitusi dan memberlakukan hukum secara adil bukan hanya menunjukkan
lemahnya pemerintah dan aparatus negara, melainkan juga menurunnya atau
bahkan tiadanya keadaban dalam penyelenggaraan negara. Negara ibarat rimba belantara
yang tidak memiliki hukum dan setiap orang berebut apa saja yang bisa
dijarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar