Mengakhiri
Pembiaran Sastra
Taufik Ikram Jamil ; Sastrawan
|
KOMPAS,
29 Desember 2012
Jauh dari perhatian publik, akhir November
lalu terjadi dua peristiwa kesusastraan yang patut mendapat catatan di
Indonesia. Hanya berselang lima hari setelah pendeklarasian Hari Puisi
Indonesia di Pekanbaru, 22 November, di Makassar berlangsung Pertemuan
Pengarang Indonesia pada 25-27 November.
Dua peristiwa tersebut dapat dikatakan
sebagai upaya pemartabatan sastra dengan segala ironi yang
melatarbelakanginya.
Tentu saja berbagai persoalan di dalam
sastra Indonesia cukup mengemuka pada kedua kegiatan tersebut, misalnya hal
yang berkaitan dengan estetika sebagai inti kreativitas. Akan tetapi, estetika
yang pada gilirannya berujung sebagai ranah pribadi sastrawan yang terus
bergerak ternyata tertindih oleh hal-hal kontekstual sastra dalam kehidupan
berbangsa saat ini.
Lama Dibiarkan
Adalah suatu kenyataan, sejak lama negara
membiarkan sastra Indonesia, tidak hanya pada masa Orde Baru, tetapi juga
masa reformasi dan kini pada masa yang entah apa lagi namanya. Tengoklah
pembelajaran sastra di sekolah sebagai contoh, yang masih saja dianggap
sebagai lampiran kecil dari pelajaran Bahasa Indonesia. Contoh lain adalah
ketiadaan suatu ketentuan, katakanlah semacam undang-undang yang dapat
melindungi sekaligus mewadahi kepengarangan seseorang, baik secara
kreativitas maupun wujudnya sebagai warga negara.
Di sisi lain, sastrawan alias pengarang
senantiasa tidak memiliki jaminan hidup. Ketika sakit seperti dialami
beberapa sastrawan terkemuka dan sudah berusia di atas 60 tahun beberapa
waktu lalu, misalnya, tidak ada lembaga yang mengurus mereka secara
sistematis sebagai suatu kewajiban formal.
Tentu saja contoh-contoh di atas terkesan
ironis, manakala kita menyadari bahwa bangsa ini sebenarnya mewarisi kekayaan
sastra sebagai jiwa kemanusiaan sejak ratusan tahun lalu. Dalam karya sastra
yang ditulis Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ronggowarsito, dan banyak lagi—bahkan
sampai pada masa kini—kehidupan berbangsa tidak saja diabadikan, tetapi juga
menjadi ”mata-mata” bagi jiwa kemanusiaan.
Bukankah ungkapan Raja Ali Haji dalam
”Gurindam Duabelas”, misalnya, dapat menjadi renungan kehidupan bernegara
sampai saat ini, seperti ”Betul hati kepada rakyat, tanda raja memperoleh
inayat”.
Mungkin juga ramalan Ronggowarsito tentang
masa edan mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan
di tengah kegaduhan sosial berkepanjangan.
Tindakan Negara
Tak dapat dimungkiri bahwa kesusastraan dan
kepengarangan terus berlangsung dalam pembiaran oleh negara. Jumlah komunitas
dan kelompok yang melibatkan sastra tak bisa dihitung dengan jari tangan.
Contohnya deklarasi hari puisi yang minim dana, sementara Pertemuan Pengarang
Indonesia (PPI) memperoleh biaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebenarnya, yang lebih diperlukan adalah
bagaimana negara menempatkan sastra sebagai bagian dari pembangunan. Secara
sederhana, hal ini dapat diterjemahkan dengan bagaimana melaksanakan program
kesusastraan sebagai tanggung jawab negara secara berkelanjutan.
Dengan demikian, pembangunan kesusastraan
dapat dievaluasi dan memiliki landasan yuridis formal. Jadi, pendekatannya
bukan berdasarkan ”selagi ingat” dan suka atau tidak suka pada suatu situasi
dengan pribadi-pribadi tertentu. Terlebih lagi, gerakan sastra tentu saja
tidak sekadar bagaimana menghabiskan anggaran yang kebetulan memang tersisa.
Oleh karena itulah diperlukan seperangkat
ketentuan, misalnya undang-undang yang berpihak pada hakikat kesusastraan.
Arahnya jelas, yakni pemuliaan terhadap manusia sebagai warga negara yang
berimplementasi pada perlakuan yang lebih baik dan penuh penghargaan terhadap
sastrawan dan karyanya. Maka, penciptaan situasi berkesusastraan seperti
penyelenggaraan berbagai kegiatan sastra, termasuk upaya penerjemahan,
menjadi sesuatu yang niscaya bagi negara.
Patut diakui, tidak begitu mudah mewujudkan
hal di atas. Jaringan sastrawan yang sederhana—tidak seperti halnya dengan
film yang memiliki sinergi produser dan distributor jalin-menjalin—barangkali
belum memiliki energi untuk mengantarkannya sampai ke sidang-sidang di
Senayan. Tak pelak lagi, sastrawan harus bersatu padu untuk ini semua sebab
perubahan yang benar adalah sesuatu yang datang dari dalam diri sendiri.
Barangkali, apa yang dilakukan melalui Hari
Puisi Indonesia dan PPI, sebagaimana dikemukakan di atas, dapat menjadi satu
tapak bagi peletakan sastra dalam kehidupan bernegara. Tentu saja kita
memerlukan tapak-tapak lain sebagaimana wujudnya komunitas-komunitas sastra
yang tersebar di Tanah Air selama ini.
Akan tetapi, yang lebih penting lagi dari
semua itu adalah jangan berputus asa dengan keadaan sastra sekarang. Kita
pasti punya waktu, insya Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar