Motif Politik
M Ichlas El Qudsi ; Anggota DPR RI, Fraksi PAN
|
REPUBLIKA,
26 Desember 2012
Para peramal politik memperkirakan,
pada 2013 akan terjadi peningkatan suhu politik, yang ditandai dengan
munculnya beragam tingkah laku dan kejutan- kejutan politik. Bukan sekadar
dalam debat di antara para politisi, tetapi juga kegaduhan di internal partai
politik (parpol) semakin meningkat. Juga, keterlibatan atau keterkaitan
sejumlah politisi dalam masalah-masalah hukum akan menyemarakkan politik di
Tanah Air. Hal ini bisa dimaklumi karena pemilihan umum akan digelar pada
tahun berikutnya, 2014.
Untuk melihat maksud dari beragam
kegiatan politik yang akan dihelat, perlu menyibak latar belakang pelaksanaannya.
Dalam politik praktis diungkapkan tujuan di balik perhelatannya adalah hal
paling menarik untuk ditelisik, di samping deteksi dini terhadap
kecenderungan orang atau sekelompoknya. Juga, bermanfaat bagi pengaturan
strategi dan taktik politik. Inilah yang mendasari perlunya membaca
motif politik.
Dalam kajian psikologi, motif
dimaknai sebagai alasan seseorang (manusia)
yang mendasarinyauntuk melakukan sesuatu. Motif bukanlah sesuatu yang tampak. Sebab, itu tersembunyi. Motif dapat diketahui, di antaranya dari pengakuan seseorang terhadap alasannya melakukan suatu tindakan.
Dalam dunia politik, mendapatkan kekuasaan adalah tujuan bagi para aktor
politik. Kekuasaan bukan keperkasaan dan gagah-gagahan, tapi wadah dan amanah
untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Para penguasa hakikatnya adalah manajer
yang mengatur dan mengeluarkan kebijakan yang berdampak baik maupun buruk
bagi masyarakat.
Hubungan antara kekuasaan dan karakter
orang-orang yang ingin meraih kekuasaan bukan hanya patut dicermati, tapi
juga berhubungan dengan pengetahuan tentang latar belakang seseorang yang
ingin menduduki kekuasaan.
Politik adalah media interaksi
sekaligus sistem yang menggerakkan orang-orang yang ingin berkuasa dengan
cara-cara yang terukur dan terarah. Partisipasi rakyat dalam politik tidak
semata datang mencoblos ke TPS, tetapi dan yang lebih penting adalah
pemenuhan hak dan kewajiban rakyat.
Melek politik sama artinya menolak
dan menghentikan politik uang mewabah, sekaligus selektif dalam memilih.
Selain itu, melek politik sama dengan rakyat yang aktif menuntut haknya,
seperti ketersediaan pendidikan bermutu, jaminan kesehatan, dan infrastruktur
yang memadai.
Motif dalam politik (pada konteks
meraih kekuasaan) diukur dari pandangan seseorang tentang kekuasaan. Pendapat,
argumen, dan beragam berita seseorang yang tersaji, baik melalui media cetak,
online, elektronik, maupun melalui isu-isu yang beredar di media social,
dapat menjadi sumber informasi untuk mengetahui motif politik seseorang.
Kenyataan politik (praktis)
mengharuskan seorang aktor politik tampil di depan khalayak agar dikenal dan
diketahui. Tujuannya tak lain, yaitu mendapatkan dukungan dari rakyat.
Model demokrasi di Indonesia saat
ini memberi fakta baru bahwa demokrasi telah menularkan virus narsis kepada
banyak orang. Istilah narsis atau narsisme dalam berbagai literatur
dijelaskan sebagai perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Fenomena
narsis tersebut berbanding terbalik dengan kemunculan orang di muka publik
(melalui spanduk maupun lainnya) pada waktu Orde Baru berkuasa.
Hampir setiap sudut kita jumpai
spanduk dengan beragam hajatan yang hendak dilakukan. Hal yang hampir tidak
terlihat saat Orde Baru berkuasa. Tujuannya jelas, agar populer dan itu
menjadi pintu masuk ke gelanggang politik.
Opini sebagai Instrumen
Dalam kamus Bahasa Indonesia dikemukakan
bahwa opini adalah pendapat, pikiran, atau pendirian. Opini tidak disimpan
atau disembunyikan, tapi diungkapkan sebagai jawaban atau pertanyaan terhadap
suatu masalah. Opini bisa jadi sebagai alternatif dari pendapat umum yang
berkembang. Opini dalam politik ditafsirkan sebagai sikap politik, yaitu
pernyataan tentang pilihan politik.
Dalam perkembangannya, opini
sering dijadikan sebagai instrumen untuk membaca motif politik
seseorang. Pendapat seseorang terhadap suatu masalah yang sedang
berkembang di masyarakat atau pandangan seseorang terhadap suatu lembaga
tertentu di pemerintahan dan kemudian ditangkap media sebagai ungkapan
penting, patut diduga bahwa orang tersebut memiliki motif politik. Apalagi,
jika pernyataan yang disampaikan tersebut berhubungan dengan suatu peristiwa
(politik) yang melatarbelakanginya.
Untuk membaca motif politik,
diperlukan panduan, dan media menyediakan diri sebagai alat ukur motif politik
seseorang. Biasanya, seorang aktor politik atau seseorang yang mempunyai
keinginan politik akan memberi pernyataan, baik langsung mau pun tidak,
melalui media. Waktu penyampaian opini dengan situasi politik yang
melingkupinya, dari situ dapat dirajut satu berita dengan lainnya dan
ditemukanlah motif politik.
Namun demikian, meskipun berita-berita
media bisa menjadi alat ukur, tetap tidak mudah membaca motif politik. Sebab,
terkadang motif berada di area paling dasar. Dugaan terhadap motif politik
seseorang dibenarkan untuk kesimpulan sementara, tapi tidak untuk motif
politik yang sesungguhnya.
Dalam politik praktis, menyamarkan sebuah kegiatan politik adalah kunci
keberhasilan seorang politisi untuk menggapai posisi politik.
Membaca motif politik sama halnya
dengan membaca berita di balik berita, yaitu menerjemahkan secara cerdas dan
tepat berita-berita yang dimuat media.
Berita di media umumnya telah dipilah oleh si penyampai berita (sumber berita). Berita tidak pernah utuh diceritakan, selalu sepenggal-penggal, terutama dalam berita-berita politik. Di sinilah perlunya menafsirkan berita.
Intinya, membaca motif politik
seseorang sama dengan memberikan tafsir terhadap berita-berita di media. Motif
politik umumnya diperlihatkan melalui berita-berita media. Seseorang yang
ingin mendapat posisi politik tertentu akan menggunakan media sebagai wadah
sosialisasi atau minimal mengetahui reaksi khalayak terhadap keinginan
politiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar