Skenario Besar
Konflik Mesir
H Obsatar Sinaga ; Sekretaris Program Studi
Ilmu Hubungan Internasional
Pasca Sarjana FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung |
SUARA
KARYA, 26 Desember 2012
Di
permukaan, orang hanya mendengar bahwa krisis horizontal di Mesir diawali
dengan revolusi politik di negeri itu sejak 25 Januari 2011. Kondisi semakin
memburuk dengan dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 23 November 2012.
Sejak itu presiden dianggap menjalankan pemerintahan tidak demokratis.
Keputusan
mengeluarkan dekrit, di belahan dunia manapun cenderung dinilai tidak
demokratis karena dekrit memberikan kewenangan tanpa batas kepada penguasa.
Karena itu, massa oposisi yang menentang diturunkannya dekrit turun ke jalan
menggunakan alun-alun Tahrir di Pusat Kota Kairo.
Sementara
itu, Presiden Mesir Muhammad Mursi terjepit dan menggalang kekuataan massa
untuk menentang kekuatan oposisi yang terus demonstrasi menentang dekrit
presiden 22 November lalu. Ratusan ribu pendukung Mursi dari Ikhwanul
Muslimin dan Salafy turun ke jalan di Universitas Kairo. Kondisi ini
mencirikan adanya potensi terjadinya krisis horizontal di Mesir.
Lantas,
apakah memang pemicu utama dari konflik horinzontal di Mesir adalah dekrit
semata? Apakah pertikaian antara penguasa baru Mesir dengan oposisi tidak
melibatkan negara besar (greatpower)
dalam perluasan pengaruh di pemerintahan hasil revolusi Mesir?
Presiden
Mesir Muhammad Mursi mengeluarkan dekrit yang berisikan tentang : (1)
Mahkamah Konstitusi tidak berhak membubarkan dewan konstituante, (2) Lembaga
peradilan tertinggi tidak berhak meninjau semua keputusan sejak Mursi
menjabat sebagai presiden sampai konstitusi baru disahkan, (3) semua
keputusan Mursi sebagai presiden bersifat final dan tidak dapat diganggu
gugat. Substansi dekrit presiden ini mengandung makna pemberian kekuasaan
begitu kuat kepada Mursi. Akhirnya, inilah yang menimbulkan kontroversi dan
memancing kemarahan pihak oposisi untuk menggerakan massa menentang kekuasaan
Mursi.
Memang
apabila dikaji dari sisi substansi, cukup beralasan pihak oposisi melancarkan
serangan kepada pemerintah berkuasa. Tendensi kekuasaan yang dihasilkan oleh
dekrit tersebut menunjukkan bahwa Mursi menjadi penguasa yang kekuasaannya
tidak dapat digoyahkan oleh kekuatan apapun. Akan tetapi justru dekrit
tersebut muncul sebagai akibat dari pertikaian politik yang melanda negeri
itu sejak Mursi berkuasa. Pemerintahan hasil revolusi Mursi tidak dapat
bekerja maksimal karena adanya gerakan yang tidak memberikan kepercayaan
penuh kepada Mursi untuk memimpin Mesir.
Karena
itu muncul tuduhan dari pihak oposisi terhadap pemerintahan Mursi sebagai
ancaman terhadap demokrasi di Mesir. Inti Persoalannya adalah, pertama,
pemerintahan Mursi lebih mengarah kepada sistem teokrasi karena merupakan
pemerintahan dukungan ikhwanul muslimin dan Salafi sebagai kekuatan
fundamentalis Islam. Kekuatan ini dianggap akan membawa arah pemerintahan
Mesir ke sistem garis keras yang lebih tidak demokratis. Selain itu, kedua,
kekuasaan pemerintahan Mursi merupakan bahaya laten bagi pemerintahan di
negara-negara lainnya sebagai good neighbour. Karena, jika pemerintahan
dengan dasar teokrasi ini berhasil, tidak menutup kemungkinan akan merembet
ke negara-negara tetangganya. Dengan demikian, oposisi memiliki kepentingan
yang sangat kuat untuk memberikan bargaining politik kepada kubu Mursi agar
rezim kerasnya tidak mengarah ke teokrasi.
Dapat
dipahami bahwa sistem internasional tidak memberikan pola seperti pada masa
sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Saat ini sistem internasional berada
dalam peta kekuatan yang tidak berpusat pada satu negara seperti Amerika
Serikat atau Rusia. Sistem internasional membentuk kekuatan yang terbagi
secara merata dari beberapa negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan
politik. Kekuatan itu disebut greatpower
sebagai pengganti super power yang mengatur tata internasional. Kekuatan
mekanisme terletak pada kemampuan untuk mengatur mekanisme kerja antar
negara.
Sistem
dengan peran greatpower ini memberikan tekanan pada kemenangan iklim
demokrasi dalam kancah pertarungan dengan sistem komunisme Eropa Timur. Akan
tetapi, sistem komunisme meskipun mengalami kegagalan di Eropa masih
membuktikan sifat survive di Cina.
Setidaknya, negeri rumpun bambu itu mampu menyesuaikan dengan perubahan tata
dunia dengan menampilkan pola ekonomi pasar sosialis yang saat ini menjadi
trend menjanjikan pada tata dunia baru. Ini lantas disebut sebagai
neoliberalisme.
Selain
itu, kondisi greatpower memberikan
kemungkinan bagi peran dari negara-negara besar itu untuk melakukan kerja
internasional mereka secara bersama da-lam menjaga kembali sistem otokrasi
totaliter yang biasa-nya dikembangkan dalam pemikiran teokrasi. Artinya,
negara-negara besar memandang bahwa bahaya laten yang dianggap menjadi
ancaman bagi neo liberalisme adalah kekuatan teokrasi yang berasal dari kaum
fundamentalis Islam.
Persepsi
ancaman ini berlaku pula pada pemerintahan Mursi di Mesir yang dinilai
merupakan ancaman baru yang dimulai dari pusaran kekuatan studi tentang
Islam. Mesir selama ini dikenal sebagai pusat perkembangan budaya Islam yang
ditandai dengan adanya Al-Azhar University sebagai stimulator perkembangan
studi Islam. Akan tetapi, saat ini Kairo sudah tidak menyimpan kekuatan itu
lagi dengan terjadinya revolusi di Mesir.
Apabila
dipahami secara lebih mendasar, peran greatpower
untuk memporakporandakan kekuatan Islam di Mesir masih belum selesai.
Skenario awal memang dimulai dengan menggulingkan regim Hosni mubarak.
Kejatuhan Hosni Mubarak menjadi awal dari setting yang diatur untuk
menghancurkan negeri yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam di
dunia.
Skenario besar itu
berlanjut membenturkan kekuatan Mursi dengan dukungan ikhwanul muslimin yang
dianggap menjadi ancaman baru bagi negeri tetangganya, dengan kelompok kaum
oposisi yang didukung greatpower. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar